Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam-diam Perhatian
Satya mengepalkan telapak tangannya, rahangnya mengeras menahan amarah begitu mendengar cerita Dirga. Mengetahui orang-orang mulai menghina adiknya dia tentu saja tidak terima. Siapa pun itu, entah laki-laki maupun perempuan Satya pastikan akan membuat perhitungan dengan mereka.
“Mereka juga tahu kau bahkan tak datang menjenguknya di rumah sakit.”
“Omong kosong apa itu, dari mana mereka bisa tahu. “
Dirga mengangkat kedua bahunya. Tidak tahu.
Guru perempuan masuk ruang kelas berjalan menuju meja kerjanya. Menatap seisi ruangan untuk memastikan semua murid telah masuk ruangan sebelum dia duduk.
“Hanin masih belum masuk?” tanya wanita setengah baya dengan rambut di sanggul modern dan berkaca mata itu pada semua siswa. Seketika menjatuhkan pandangannya ke arah Satya setelah tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. “Satya, kapan kira-kira adikmu mulai mengikuti pelajaran? “ lanjutnya.
Satya yang tidak tahu info apa pun mengenai Hanin menjadi kebingungan saat mendapatkan pertanyaan itu.
“Saya belum tahu, Bu, mungkin sekitar satu minggu, “ jawab Satya asal.
“Bagaimana dia bisa tahu, menengok adiknya saja dia tidak pernah,“ celetuk seorang siswi.
Satya hanya bisa diam tanpa membalas ucapan siswi itu yang memang benar adanya. Seketika guru pun percaya dan merasa heran. Namun, dia mengabaikan masalah itu dan melanjutkan dengan kegiatan belajar.
•••
Lima hari Hanin berada di rumah sakit. Dia merasa sedikit terhibur dengan kehadiran beberapa teman sekolah yang datang menjenguknya di rumah sakit.
“Cepat sembuh, Hani, kami sudah rindu kamu masuk sekolah kembali. Tak ada dirimu yang cerewet kelas terasa sepi, “ ucap Mitha, salah satu temannya.
“Benar, jangan biarkan anak-anak centil itu merasa senang kamu tidak masuk sekolah.” Remaja lain menambahkan.
“Mereka merasa bebas mendekati kakakmu semenjak dirimu tak ada di sekolah, “ celetuk Nuki.
“Benarkah Kak Satya masuk sekolah? Aku dengar dia ...,”
“Dengar apa?” Tukas Nuki.
“Bukan apa-apa. Saat ini untuk menjaga kakakku dari gangguan mereka, aku serahkan pada kalian saja, aku tidak tahu kapan bisa masuk sekolah kembali.”
Melihat Hanin kembali bersedih dan merasa putus asa, ke tiga anak perempuan itu memeluk Hanin untuk memberikan semangat. Dua teman laki-laki hanya memperhatikan tanpa bisa ikutan melakukan apa pun. Tidak mungkin juga ikut memeluk mereka.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti dirasakan Hanin. Begitu semua teman sekolah pergi, Hanin kembali merasakan sunyi, baik di dalam ruangan itu maupun di dalam hatinya.
Saat ini di dalam ruangan hanya ada dirinya dan Miranda. Wanita itu tengah merapikan meja kecil untuk buket bunga buah tangan dari teman-teman sekolah Hanin dan juga sekeranjang parsel buah.
“Mah, Kak Satya masuk sekolah, apakah dia sudah pulang ke rumah?” tanya Hanin tiba-tiba.
“Sudah tiga hari yang lalu, tapi dia jarang di rumah. Pergi pagi-pagi sekali, pulang sekolah pergi lagi. Saat pulang pun sudah larut. Entah apa yang dilakukan anak itu di luar sampai tak mau menggantikan papa menemanimu di sini. “
“Hani ingin pulang, Mah,” celetuk Hanin.
Mendengar permintaan Hanin, Miranda merasa tersentuh. Dia paham betul apa yang dirasakan putrinya yang mungkin merasa jenuh dengan suasana rumah sakit. Meskipun mereka memilih ruangan VIP sekalipun.
“Dokter baru mengizinkanmu pulang besok, sabar ya,” ujar Miranda.
“Tidak, Mah, Hani maunya pulang hari ini.”
Tepat saat mereka tengah berdebat, Dokter Mario memasuki ruangan di jam sore itu untuk melakukan pemeriksaan. Hanin seketika merengek mirip anak kecil kepada Dokter Mario minta dipulangkan.
“Aku ingin pulang, Dok, bisa kan Dokter memberikan izinnya?” tanya Hanin.
Dokter Mario tersenyum, dia memberikan isyarat pada Hanin untuk berbaring supaya dia bisa melakukan pemeriksaan. Disampingnya, perawat mencatat setiap apa yang dikatakan Dokter tentang hasil pemeriksaannya.
“Kenapa buru-buru ingin pulang, sudah tidak betah ya?” sindir Dokter Mario.
“Mana ada orang yang betah tinggal di rumah sakit, Dok, tidak menyenangkan,” jawab Hanin polos.
“Oh ya? Kenapa? Apa perawat di sini menyebalkan? Atau makanannya tidak enak? Atau dokternya yang kurang tampan? “ Seketika mendengar pertanyaan dokter yang tak terduga itu Hanin berubah salah tingkah. Semuanya memang benar kecuali tentang dokternya. Hanin tiba-tiba memperhatikan dokter di hadapannya itu lebih lama. Dalam hati dia memberikan penilaian kalau Dokter Mario cukup tampan.
“Dokter bicara apa? Hani hanya ingin istirahat di rumah,” ucap Hanin untuk mengalihkan pikirannya gara-gara perkataan dokter di hadapannya itu.
“Aku tahu, Hanin. Apa yang aku katakan biasanya itu keluhan pasien kecuali yang terakhir itu aku hanya bercanda.”
“Jadi aku sudah bisa pulang, Dok?” Hanin mengulangi kembali pertanyaannya. Miranda hanya geleng-geleng kepala melihat sikap Hanin.
Dokter Mario terdiam lebih lama tanpa memberikan jawaban, serius berbicara dengan perawat seakan sengaja membuat Hanin menunggu dengan penasaran. Namun, melihat raut memelas Hanin, Dokter Mario tidak tega juga.
“Baiklah, aku akan jadwalkan pulang hari ini, satu atau dua minggu kau harus datang untuk terapi dan cek perkembangan keadaan kakimu,” kata Dokter Mario. “Sus, buatkan laporannya untuk mengurus kepulangan Hanin hari ini dan siapkan jadwal juga hari untuk kontrolnya. “
“Baik, Dok. “
“Sehat ya Hani, dan jangan lupa semangat untuk sembuh. Karena semua itu tergantung pada dirimu juga.“ Nasihat Dokter Mario.
Hanin menganggukkan kepala dan tersenyum senang. Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dokter Mario sebelum dokter itu pergi.
Sebelum magrib, Hanin sudah dijemput Elvan dan meninggalkan rumah sakit. Di pintu keluar saat Hanin dibopong ayahnya dan beberapa perawat laki-laki masuk ke dalam mobil, sepasang mata mengamati mereka diam-diam dari tempat parkir.
Satya hanya bisa memandang Hanin dan kedua orang tuanya dari jauh, sampai mobil yang membawa mereka meninggalkan halaman rumah sakit.
‘Maafkan Kakak, Hani, aku masih tidak tega melihat keadaanmu seperti ini. Kakak masih merasa bersalah,‘ batin Satya dengan wajah murung. Dia pun bergegas meninggalkan tempat parkir menggunakan motor temannya, lantaran motor milik Rio.
“Terima kasih, Rio, sudah meminjamkan motor dan mengizinkanku tinggal di sini, “ kata Satya berpamitan.
“Jadi, kau sudah berani menemui adikmu? Tapi itu memang sudah seharusnya. Kau tidak perlu menghindarinya sampai seperti ini. Dia itu adikmu bukan pacarmu, dia tidak mungkin menyalahkanmu karena semuanya adalah kecelakaan.”
“Aku tidak tega melihat keadaannya. “
“Kau justru sudah tega tidak pernah datang menjenguknya di saat teman-teman menjenguknya di rumah sakit. Kau orang terdekatnya malah menghilang, sungguh aneh. “
Sebenarnya bukan Satya tak mau datang menemani Hanin di rumah sakit. Dia justru selalu ada di sana setiap hari semenjak mengetahui Hanin bermasalah dengan kakinya. Hanya saja Satya tidak mau menunjukkan diri di hadapan Hanin secara langsung. Diam-diam Satya menemui Hanin saat adiknya itu benar-benar sendirian dan tengah tertidur. Hanya sekedar untuk melihat wajah Hanin, mengusap kepala gadis remaja itu. Satya tak berani berlama-lama di dalam ruangan takut ketahuan Miranda dan Elvan.
Satya menjaganya selama Hanin tidur, lalu pergi beberapa waktu kemudian dan menunggu di luar ruangan di ruang tunggu lain tanpa Elvan ketahui. Sampai saat menjelang subuh Satya baru meninggalkan rumah sakit itu.
Satya berangkat ke sekolah pagi-pagi pun untuk menghindari teguran Miranda yang mungkin akan memarahinya dan mencecarnya dengan banyak pertanyaan karena menolak menjaga Hanin.