Safeea dan ibunya sudah lama hidup di desa. Setelah kematian ibunya, Safeea terpaksa merantau ke kota demi mencari kehidupan yang layak dan bekerja sebagai pelayan di hotel berbintang lima.
Ketika Safeea tengah menjalani pekerjaannya, ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh William yang mabuk setelah diberi obat perangsang oleh rekan rekannya.
Karena malam itu, Safeea harus menanggung akibatnya ketika ia mengetahui dirinya hamil anak laki laki itu.
Dan ketika William mengetahui kebenaran itu, tanpa ragu ia menyatakan akan bertanggung jawab atas kehamilan Safeea.
Namun benarkah semua bisa diperbaiki hanya dengan "bertanggung jawab"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
“Aku tidak menginginkan dia ada di sini. Suruh dia keluar, sekarang juga!” ucap William sembari menahan amarahnya terhadap keputusan yang diambil oleh papanya. Namun suara Pak Prawira semakin tegas saat menolak permintaan William.
“Cukup, William! Papa sudah muak dengan sikapmu yang selalu menolak dan terlalu pilih-pilih dalam urusan pasangan. Kau tidak pernah benar-benar serius dengan wanita manapun. Sampai kapan papa harus menunggu cucu darimu?"
William terdiam, kedua matanya menyipit tajam. Nafasnya memburu, tapi ia memilih untuk mendengarkan setiap perkataan papanya.
“Sherlyn adalah pilihan yang tepat. Dia cantik, pintar, berasal dari keluarga baik-baik, dan papa yakin dia bisa memberimu pewaris yang layak untuk keluarga kita. Keluarga Prawira membutuhkan penerus, William. Dan papa tidak akan berkompromi lagi.”
Kalimat itu membuat dada William terasa sesak. Pandangannya beralih pada Sherlyn yang masih berdiri tak jauh darinya dengan senyum puas, seolah menikmati setiap patah kata yang keluar dari mulut ayahnya.
William mengepalkan tangannya semakin erat. Ia ingin membuat papanya mengerti kalau ia benar benar tidak mau menerima Sherlyn di dalam hidupnya.
“Papa, dengarkan aku! Aku tidak—”
Belum sempat William menyelesaikan kalimatnya, pak Prawira langsung mengakhiri sambungan telepon itu secara sepihak, yang mana hal itu membuat William semakin putus asa.
“SIAL!!!” bentak William dengan keras sembari melempar ponsel ke atas meja hingga menghantam permukaan kayu dengan suara keras yang menggema di ruangan. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun menahan amarah yang nyaris meledak.
Sherlyn yang berdiri tak jauh darinya justru semakin tersenyum puas. Ia melangkah pelan, mendekati William dengan tatapan penuh kemenangan.
“Kau lihat, William? Bahkan ayahmu pun menginginkan aku di sisimu. Berhentilah melawan. Sebaiknya kau terima saja keputusan yang sudah diambil oleh ayahmu dan terimalah aku sebagai istrimu.” ucap Sherlyn dengan lembut namun sarat oleh ambisi.
Sorot mata William langsung berubah dingin. Dalam sekejap, ia melangkah maju, tangan besarnya langsung mencengkeram wajah Sherlyn dengan kasar.
“Akhh… William! Sakit!” rintih Sherlyn, tubuhnya refleks menegang karena cengkeraman tangan William yang begitu kuat.
William menunduk, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Sherlyn. Tatapannya menusuk, suaranya berat penuh tekanan saat memperingatkan Sherlyn.
“Dengarkan aku baik-baik, Sherlyn. Sekalipun seluruh dunia memaksaku, aku tidak akan pernah menjadikanmu istriku. Jadi jangan pernah kau bermimpi untuk menjadi istriku.”
Sherlyn terperanjat, matanya melebar, namun William belum selesai. Nafasnya memburu, kata-katanya sarat dengan luka lama yang kembali ia ingat.
“Kau pikir aku sudah lupa dengan apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Beberapa tahun lalu aku datang padamu dengan niat serius. Aku melamar mu, Sherlyn! Tapi apa yang kau lakukan? Kau menolak ku mentah-mentah hanya karena mimpimu menjadi balerina lebih penting daripada aku. Kau bahkan meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang.”
Sherlyn terdiam, senyum puasnya memudar, berganti dengan raut wajah bersalah. Ia meraih tangan William, mencoba melonggarkan cengkeraman itu.
“William… aku… aku menyesal. Aku mohon tolong maafkan aku. Waktu itu aku terlalu bodoh, aku tidak tahu betapa berharganya dirimu bagiku.” ucap Sherlyn dengan suara bergetar.
Namun William melepaskan cengkeramannya dengan kasar dan membuat Sherlyn hampir terjatuh ke belakang. Tatapannya terlihat dingin, nadanya menusuk tanpa belas kasihan.
“Permintaan maafmu sudah terlambat, Sherlyn. Luka yang sudah kau berikan padaku tidak akan pernah sembuh. Dan aku tidak akan pernah memberimu kesempatan lagi.”
panggil sayang aja gitu/Sneer/
cinta William milik kamu sekarang