Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Setelah meninggalkan RSJ, Regi dan Dona berjalan menuju mobil. Udara di luar jauh lebih hangat daripada suasana hati Regi yang masih diselimuti rasa bersalah setelah menatap wajah Ardina.
Dona sudah masuk ke jok belakang masih memeluk bonekanya, anak itu terlihat sedikit lebih lega, mungkin karena sudah bertemu sang ibu yang sudah beberapa Minggu tidak bersamanya.
"Makasih Papa," ucap Dona di saat Regi menutup pintu mobilnya.
Regi hanya mengangguk lalu berjalan menuju jok kemudi, di saat ia hendak memegang setir mobil tiba-tiba saja handphone bergetar, nama yang muncul di layar membuat hatinya terkejut.
Pengacara Lama — Pak Rano.
Regi menjawab sambil memalingkan tubuh agar Dona tidak mendengar.
“Halo, Pak?”
“Regi…” suara Rano terdengar berat, nyaris seperti orang yang bingung harus mulai dari mana. “Ada kabar penting. Dan… tidak menyenangkan.”
Regi mencengkeram ponselnya. “Tentang apa?”
“Kau tahu ayahmu, Pak Halik…” jeda panjang di ujung sana. “…dia mengajukan banding tentang putusan hak asuh.”
Seluruh tubuh Regi menegang, seolah dunia berhenti sesaat, ia tahu badai itu cepat atau lambat pasti datang, namun ia tidak setiap kemarin, jika kemarin ia masih punya segalanya termasuk jabatan dan sekarang.
“Apa?” suaranya rendah, tajam, nyaris berbisik. “Banding untuk hak asuh Dona? Bukankah sidang sudah selesai? Putusan sudah keluar?”
Rano menghela napas panjang, seolah tidak habis pikir dengan Halik yang Setega itu terhadap anak dan cucunya sendiri.
“Benar. Tapi beliau memecatmu secara resmi kemarin. Dengan alasan tidak layak memegang tanggung jawab keluarga. Ini bisa dipakai untuk memperkuat banding.”
Regi menutup mata. Tangan kirinya meremas pinggiran mobil.
“Dia benar-benar mau mengambil Dona dariku…?”
“Kemungkinan itu ada,” jawab Rano jujur. “Apalagi kalau dia bisa memutarbalikkan keadaan dan menyudutkan kondisi ibunya Dona. Dia bisa gunakan kondisi Ardina sebagai amunisi juga.”
Regi memalingkan wajah ke arah RSJ, menatap bangunan putih itu dari jauh. Dalam hatinya tersisa ketakutan yang belum sempat ia akui. Kalau Ardina belum stabil, bukti itu bisa dipakai melawan mereka berdua.
“Apa ada yang bisa aku lakukan sekarang?” tanya Regi lirih, tapi tegas. Suaranya seperti titik balik seorang ayah yang dipaksa bertarung.
“Jaga semuanya tetap tenang,” ucap Rano. “Bangun bukti bahwa lingkungan Dona aman. Jangan sampai ada konflik dengan keluarga. Dan… pastikan Ardina benar-benar dalam pemulihan. Itu akan sangat membantu.”
Regi mengangguk, meski tidak terlihat. “Baik, Pak. Terima kasih sudah memberi tahu.”
Saat panggilan berakhir, Regi menyandarkan punggung ke sandaran mobil. Sejenak ia hanya menatap langit pagi dari dalam mobil. Ada rasa marah tapi lebih banyak ketakutan.
"Tuhan ... beri aku kekutan," ucapnya seraya meminta.
Dona mengintip dari kaca spion dalam mobil terlihat jelas wajah ayahnya yang begitu cemas dan ketakutan.
“Papa… kenapa wajah Papa pucat?”
Regi tersadar. Ia memaksa tersenyum. “Papa cuma kaget, sayang. Tapi semuanya baik-baik saja.”
Dona mencondongkan badan, memegang sandaran kursinya.
“Papa nggak bohong?”
Regi menoleh, menatap mata anaknya sendiri, dan seketika janji pada Ardina di ruang RSJ kembali menggaung.
“Jangan pernah sakiti Dona.”
Tidak ada pilihan lain selain menguatkan diri, dan berjuang, lebih kuat lagi untuk melawan sang ayah.
“Papa janji akan jaga kamu,” ucapnya. “Apa pun yang terjadi, Papa akan perjuangkan kamu Nak.
Dona mengangguk pelan, tidak terlalu mengerti, tapi percaya. "Makasih, sudah datang di kehidupan Dona, meskipun terlambat, tapi Dona merasa Allah masih Sayang karena menghadirkan sosok pelindung untukku."
Regi memutar tubuhnya ke belakang sambil mencium kening anaknya, hatinya mencelos mendengar ucapan Dona yang selalu menghangatkan hatinya, meskipun dunianya saat ini sedang tidak baik-baik saja, tapi memiliki anak yang pengertian seperti Dona seolah menjadi obat penyemangatnya.
"Makasih banyak Sayang, Papa bahagia memiliki anak sebaik dan selembut kamu."
Regi pun kembali menghadap ke depan, menyalakan mesin mobil, ia sadar perang akan di mulai namun kekuatan di hatinya tidak akan goyah sedikit pun.
☘️☘️☘️☘️☘️
Senja mulai turun perlahan ketika Regi kembali ke RSJ di hari yang sama. Ia tidak berniat mengganggu Ardina terlalu lama, hanya ingin menyampaikan sesuatu yang harus diketahui wanita itu karena ini menyangkut Dona.
Dari balik kaca ruang perawatan, Regi melihat Ardina sedang duduk di ranjang, memegang buku gambar kecil yang tadi siang diberi Dona. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun kecil… tapi nyata, dan hal itu membuat Regi merasa sedikit lega.
Regi mengetuk pelan.
Tok. Tok.
Ardina menoleh.
“Kau kembali?” suaranya datar, tapi tidak lagi dingin seperti tadi pagi. "Anakku dimana?"
Regi masuk perlahan. “ Anak kita ada di montel, aku sudah menyuruh staf untuk menjaganya," sahut Regi. "Aku datang cuma mau menyampaikan sesuatu… yang penting.”
Ardina menutup buku gambar itu dan meletakkannya di pangkuan. Ada firasat buruk di matanya. “Tentang apa?”
Regi tidak tahu harus mulai dari mana.
Tangan besar itu menegang di samping pahanya, sedikit tarikan napas ringan, lalu ia mulai berbicara dengan tenang.
“Dina…” ia menatapnya dalam-dalam. “Papaku… Halik… dia mengajukan banding untuk mengambil hak asuh Dona.”
Wajah Ardina langsung berubah. Pucat.
Senyum tipis yang tadi masih tersisa lenyap seketika, dan beberapa detik Ardina hanya diam, lalu ia mulai membuka suaranya.
“Dia mau ambil Dona… dari kita?” suaranya hampir tak keluar.
Regi menelan air liur. “Iya. Dia pakai kondisimu… sebagai alasan. Juga fakta kalau aku dipecat.”
Ardina memegang ujung ranjang erat-erat, seperti butuh sesuatu untuk bertahan.
“Kau bilang… kau ingin aku sembuh. Karena itu?”
“Bukan,” jawab Regi cepat, tulus. “Aku ingin kamu sembuh karena kamu ibunya Dona. Karena Dona butuh kamu. Bukan karena banding itu.”
Ardina memejamkan mata, dadanya naik turun. Ada badai yang ditahan di dalam sana.
Lalu matanya membuka perlahan dan ada sesuatu yang berbeda yang mulai bangkit. Bukan putus asa. Bukan marah, tapi sebuah tekad yang tanpa ia sadari tumbuh.
“Regi,” suaranya lebih stabil. “Dengar aku.”
Regi menatapnya, tidak berkedip.
“Aku mungkin masih di tempat ini… aku mungkin belum sembuh sepenuhnya…” Ardina memegang dada, seakan menegaskan pada dirinya sendiri. “…tapi aku tidak akan biarkan Halik atau siapa pun menyentuh Dona.”
Regi merasakan seperti ada benda tajam yang menusuk hatinya bukan karena sakit, tetapi karena bangga sekaligus terluka melihat kekuatan yang baru tumbuh dalam diri wanita itu.
“Aku tidak takut dipenjara RSJ ini,” lanjut Ardina lirih tapi tegas. “Tapi aku takut satu hal… kalau Dona jauh dariku.”
Matanya kembali berkaca-kaca. Bukan histeris seperti dulu lebih terkontrol, lebih sadar.
Regi mendekat selangkah. “Aku akan lawan banding itu. Tapi aku butuh kamu tetap kuat.”
Ardina mengangguk.
“Untuk Dona, aku akan berjuang. Apa pun yang terjadi.”
Lalu ia menatap Regi, tatapan yang mengguncang. “Aku tidak percaya padamu sepenuhnya. Luka itu masih ada. Tapi untuk kali ini… aku ikut.”
Regi mengangguk, perlahan.
“Cukup. Itu sudah lebih dari cukup.”
Ardina mengusap lunglai buku gambar di pangkuannya, lalu meremasnya erat.
“Jika Halik pikir aku masih wanita yang dulu, yang dia injak kehormatannya… dia salah.”
Regi menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia percaya bahwa Ardina benar-benar ingin kembali.
Dan mereka… satu kali ini… berada di pihak yang sama. Sama-sama ingin berjuang demi anak meskipun dalam suatu keterbatasan.
Bersambung ....
Sore Kakak ... Semoga suka ya!
tingginya gunung masih ada langit.diatas halik masih bayak yg lbh kaya d berkuasa.halik hanya kaya d berkuasa di kampungnya di pesisir krn hasil laut tp lautan sangatlah luas dg kekuatany yg tersembunyai sangatlah dasyat. bs menghempaskan d menyapu bersih apa yg dimiliki halik.