NovelToon NovelToon
DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa / Office Romance
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. SETELAH HALAL

Nadhifa masih ingat pagi itu. Azan Subuh baru saja selesai terdengar, udara masih dingin, tapi genggaman tangan Renzo terasa hangat. Ia tidak menarik atau memaksa, hanya seolah bertanya lewat diam. 

“Boleh, ‘kan?”

Mereka sudah sah jadi suami istri, tapi tetap saja tubuh Nadhifa sedikit bergetar. Bukan karena takut, melainkan karena ini adalah pertama kalinya ia benar-benar membuka dirinya untuk seseorang.

Renzo mendekat perlahan, seakan tidak ingin membuatnya kaget. Nadhifa menutup mata, mencoba merasakan setiap hal kecil. Nafasnya, sentuhan yang hati-hati, bahkan derit ranjang yang pelan. 

Semua terasa baru.

Ada rasa malu, ada degup yang cepat, tapi juga ada rasa lega. Seakan selama ini ia hanya menunggu pintu yang akhirnya terbuka dengan kunci yang tepat.

Ketika akhirnya selesai, Renzo menariknya ke dalam pelukan. Nafas mereka masih belum seirama, tapi Nadhifa tersenyum kecil. Ia tahu, mulai hari itu dirinya bukan hanya seorang perempuan yang menanti. 

Ia kini seorang istri, yang dicintai, dan diterima sepenuh hati.

Kaki Nadhifa terasa berat saat melangkah ke dapur, tapi ia berusaha pura-pura tidak peduli. Padahal jelas, setiap gerakan tubuhnya masih mengingatkan pada pagi tadi. Tentang bagaimana ia benar-benar membuka diri, bukan hanya secara batin tapi juga seluruhnya.

Namun hidup harus berjalan. Perutnya lapar, dan ia pikir, mungkin Renzo juga begitu.

Rambutnya masih agak basah. Ia hanya mengenakan gamis rumah warna krem, tanpa kerudung, tanpa riasan. Dirinya yang paling sederhana, paling apa adanya. Tapi ia tahu, Renzo tidak melihatnya sekadar sebagai perempuan, melainkan sebagai seorang istri.

Nadhifa memotong sayur bayam perlahan. Tangan kanannya agak lemas setiap membayangkan keintiman pagi tadi dengan suaminya.

Saat ia membungkuk untuk menaruh ikan ke penggorengan, tubuhnya refleks menegang. Ada rasa perih yang belum benar-benar hilang. Aneh, karena bukannya menyesal, ia justru sedikit bersyukur atas rasa sakit yang lahir dari sesuatu yang suci.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Langkah cepat terdengar, lalu suara Renzo muncul tak jauh darinya.

“Nadhifa,” panggilnya rendah, terdengar seperti teguran lembut.

Nadhifa menoleh. Renzo sudah berganti baju, rambutnya basah dan harum sabun. Tatapannya tajam, tapi bukan marah. Lebih seperti khawatir.

“Kamu ngapain sih?” tanyanya sambil menghampiri. Ia langsung mengambil spatula dari tangan Nadhifa.

“Aku cuma mau masak. Kamu pasti lapar, ‘kan?” jawabnya cepat, sedikit gugup, seolah tertangkap basah.

“Tapi kamu jalan aja masih nahan sakit…” Renzo menatap ke arah kakinya. “Kamu pikir aku senang kalau kamu maksa kayak gini?”

Nadhifa tertawa kecil. “Aku cuma pengen bikin sarapan. Katanya, istri yang baik itu—”

“—tahu kapan harus istirahat,” potong Renzo lembut. Tangannya memegang pinggang Nadhifa, membantu menopangnya. “Kamu nggak harus buktiin apa-apa ke aku.”

Hatinya langsung mencair, mungkin karena Renzo menyebut namanya dengan suara nyaris berbisik.

Ia mematikan kompor, lalu memandu istrinya ke meja makan dan menyuruhnya duduk.

“Kalau kamu maksa hari ini … gimana aku bisa bangga bilang ke Allah bahwa aku menjaga amanah-Nya dengan baik?” katanya lirih.

Nadhifa menatapnya, matanya berair meski tak sampai menetes. Bukan hanya karena tersentuh, tapi karena ia sadar. Cintanya pada Renzo bukan lahir dari sentuhan tubuh semata, melainkan dari caranya menjaga jiwa lebih dulu.

Kini mereka duduk berdampingan di meja makan. Renzo sendiri yang menyiapkan piring, menuangkan nasi, sayur, dan sepotong ikan goreng yang sempat dimasak Nadhifa tadi. Wajah istrinya terlihat kikuk, seakan menolak diperlakukan istimewa.

“Aku bisa makan sendiri,” ucap Nadhifa, menahan senyum, meski tangannya tak sungguh-sungguh menyingkirkan gerakan suaminya.

Renzo mengambil sendok, menyendok nasi dan kuah bening. Ia menoleh lalu berkata, “tapi aku yang mau nyuapin. Dan kamu, sebagai istri yang baik, nggak boleh menolak suami.”

Nadhifa tertawa kecil, menyerah dalam senyum. “Itu manipulatif banget.”

“Halal,” balas Renzo singkat, sebelum menyuapkan sesendok pertama ke mulutnya.

Nadhifa membuka mulut perlahan, matanya menunduk, wajahnya tampak damai. Namun Renzo tak bisa menahan diri memperhatikan bagaimana tubuhnya sedikit bergeser, berusaha mencari posisi duduk yang lebih nyaman agar tidak menambah rasa perih di bagian bawah.

Renzo langsung meletakkan sendok. “Sakitnya masih kerasa?” tanyanya lembut.

Nadhifa sempat ragu sebelum menjawab, “sedikit. Tapi bisa ditahan.”

Renzo menggeleng pelan, lalu mengusap punggung istrinya. Tangannya menyibakkan beberapa helai rambut hitam yang jatuh ke pipi Nadhifa. Rambut itu tebal, jatuh sebahu lebih, belum sepenuhnya kering. Tanpa kerudung, tanpa riasan. Ini pertama kalinya Renzo benar-benar melihatnya dalam wujud penuh, tanpa batas.

Dan anehnya, Renzo tak merasakan dorongan ingin memiliki. Yang ia rasakan hanyalah keinginan untuk menjaga.

“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa,” ucapnya lirih.

Nadhifa mencibir manja. “Masa suami segitunya ngitung duduk istri.”

Renzo menunduk, mengecup lembut puncak kepalanya. “Karena aku ngitung kamu. Selalu.”

Nadhifa terdiam. Tapi Renzo tahu, istrinya mendengar dan menyimpannya di hati.

Nadhifa sempat mengira makan bersama tadi akan jadi akhir dari manja-manjaan pagi itu. Ternyata tidak.

Baru saja ia menyandarkan kepala ke bahu Renzo—berniat membereskan piring nanti setelah punggungnya tidak terlalu pegal—lelaki itu mendadak berdiri dan membungkuk di depannya. Kedua lengannya menyelip ke belakang lutut dan punggung Nadhifa.

“Eh, Mas, jangan—”

Refleks, tangannya langsung menggenggam bahu suaminya. Renzo sudah mengangkat tubuhnya, seakan ia hanyalah bantal kecil di ruang tamu.

“Aku bisa jalan,” protesnya.

“Tapi sakit,” jawab Renzo santai.

“Enggak parah…”

“Lututmu bahkan gemetar waktu ambil ikan goreng tadi.”

Nadhifa mendengus. Kadang menyebalkan betapa perhatiannya lelaki ini. Renzo membaca tubuhnya lebih cepat daripada ia sendiri.

Kepalanya bersandar di dada Renzo saat ia dibawa menuju kamar. Langkah Renzo mantap. Pelan. Hanya suara detak jam dinding dan detak jantungnya sendiri yang terdengar semakin tidak beraturan.

Setelah meletakkannya perlahan di atas kasur, Renzo duduk di belakangnya. Tangannya mengangkat rambut Nadhifa ke satu sisi, lalu mulai menyisirnya dengan jemari. Tidak dengan sisir sungguhan, tapi cukup rapi dan lembut untuk menggantikannya.

“Ini belum kering semua …,” gumam Renzo sambil menyibak rambutnya.

“Aku tadi buru-buru,” jawab Nadhifa sambil memejamkan mata. Hangat sekali rasanya. Lembut. Tenang.

Tiba-tiba, sesuatu menyentuh kulit lehernya.

Dingin.

Nadhifa membuka mata. “Apa ini?”

“Nggak berat, ‘kan?” Suara Renzo terdengar kalem.

Tangannya menyentuh benda itu. Sebuah liontin mungil tergantung di rantai tipis. Bentuknya sederhana, tapi kilaunya mewah. Terlalu mewah.

“Mas,” gumamnya curiga. “Kamu ngasih aku … berlian?”

Renzo tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menyandarkan dagunya di pundaknya.

“Ini … ini mahal banget, ya? Kamu beli di mana? Kenapa—”

“Nggak usah panik.”

“Aku harus panik! Ini pasti mahal! Kita baru belum sempat nyusun budget keluarga, dan kamu udah ngasih—”

“Nadhifa…” Renzo menyentuh dagu istrinya, memutar wajahnya. Tatapannya lembut. “Aku anggota Alverio Group. Kamu tahu siapa kakak sepupuku, ‘kan?”

Nadhifa memelototinya. “Justru karena itu! Harusnya kita kasih contoh gaya hidup wajar, bukan malah boros kayak—”

“Ini bukan soal boros.” Renzo mengecup ujung hidungnya pelan. “Ini soal … aku ingin sesuatu yang melekat sama kamu, kaya aku. Sesuatu yang mengingatkanmu bahwa kamu berharga. Bukan karena nilai berlian, tapi karena siapa yang memakainya.”

Nadhifa terdiam. Matanya masih menatap liontin itu di jari, tapi hangat di dadanya tidak datang dari kilau perhiasan.

Melainkan dari lelaki di sampingnya.

Ia tahu, tak ada satupun harga yang bisa menggantikan perasaan aman seperti ini.

Nadhifa tahu waktunya salah. Mungkin sangat salah. Tapi bagaimana cara memberi tahu seorang pria yang baru saja dinikahi, bahwa dirinya tidak benar-benar sendiri selama ini?

Tangannya gemetar ketika menggenggam tangan Renzo. “Ada sesuatu yang harus kamu tahu,” ucapnya pelan.

Renzo menoleh. Wajahnya tetap sabar, bahkan senyum tipisnya belum sepenuhnya hilang. “Tentang apa?”

“Anak…” Nadhifa menarik napas panjang. “Aku punya anak adopsi.”

Senyum itu perlahan surut, seperti air laut yang ditarik kembali oleh pasang. Sorot mata Renzo berubah—bukan tajam, melainkan kosong. 

Menunggu.

“Dulu, waktu aku umur dua puluh empat, aku mengadopsi seorang anak laki-laki. Umurnya empat tahun waktu itu. Sekarang … dia sudah sembilan belas.”

Ia sempat menghitung ulang dalam hati, seolah ingin memastikan. 24 + 15 \= 39. Sama dengan usianya sekarang.

Renzo tetap diam. Tapi Nadhifa tahu, pikirannya berputar cepat. Terlalu cepat.

“Kamu … baru bilang sekarang?” tanyanya lirih. Suaranya rendah, tapi jelas ada kekecewaan di sana. Seperti retakan pertama di dinding yang selama ini diyakini kokoh.

“Aku takut kamu salah paham,” bisik Nadhifa. “Tapi dia anak baik. Nurut. Dia tinggal di kos sekarang. Tapi aku mau … dia tinggal bersama kita.”

“Serumah?” Renzo mendadak berdiri. “Kamu mau anak laki-laki, umur 19, tinggal serumah sama kita? Setelah kita baru menikah? Dan kamu baru cerita sekarang?”

Nadhifa menggigit bibirnya. “Aku tahu ini berat. Tapi dia sudah anggap aku Ibu, Mas. Dan aku…”

Kata-kata itu menggantung, tenggelam oleh rasa bersalah yang menyesakkan.

Tatapan Renzo menancap. Bukan marah, tapi kecewa dan itu jauh lebih menusuk.

“Selama ini aku kira aku sudah tahu semua tentang kamu,” ucapnya perlahan. “Tapi kabar sepenting ini … kamu simpan sampai sesudah akad?”

Ia melangkah ke pintu kamar. Tangannya menggenggam kenop dengan kuat. “Nadhifa, ini bukan soal kamu punya anak atau nggak. Ini soal kejujuran. Soal ruang di antara kita yang kamu biarkan tetap gelap.”

Pintu itu terbuka, lalu tertutup keras di belakangnya. Bukan bentakan, tapi cukup untuk membuat hati Nadhifa remuk seketika.

Ia kembali terduduk di ranjang, sendirian. Kalung berlian pemberian Renzo masih menggantung di lehernya, tapi kali ini terasa dingin. Jauh lebih dingin daripada udara pagi.

Dan entah kenapa, sakit itu justru terasa lebih perih daripada luka pertamanya bersama Renzo pagi tadi.

1
Esti Purwanti Sajidin
syemangat kaka,sdh aq vote👍
Marsshella: Makasi semangatnya Kaka, makasi udah mampir ya. Selamat datang di kisah Renzo dan Nadhifa 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
najis bgt tau mual q thor/Puke/ kok bs alarik suka ma cwok pdhl dia bersistri apakah dia lavender marrige
Marsshella: di Alunala Alaric dia udah tobat kok dan punya anak kesayangan. Ini giliran ceritanya si Renzo 😭😭😭😭😭
total 1 replies
kalea rizuky
njirr kayak g ada perempuan aja lubang ta.... *** di sukain jijik bgt
kalea rizuky
gay kah
Wina Yuliani
tah ge ing ketahuan jg brp umur.mu nak
Marsshella: dah jadi pria matang ya 😭
total 1 replies
Wina Yuliani
emangnya mereeka beda berapa tahun ya thor?
Marsshella: seumuran mereka 😄. Kakeknya Renzo tuh punya simpanan muda dan itu Nadhifa anaknya Kakek Renzo ... ikutin terus ceritanya, ya, ada plot twist besar-besaran 🥰
total 1 replies
Wina Yuliani
ternyata ada kisah cinta terlarang yg nambahin kerumitan hidup nih
Marsshella: ada plot twist ntar 🔥
total 1 replies
Wina Yuliani
baru baca tapi udah seru, keren
Marsshella: Welcome to kisah Renzo dan Nadhifa, Kak. Ikutin terus ceritanya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!