Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantrum
Devan tidak merasakan dinginnya air ketika tubuhnya menembus permukaan kolam yang dinginnya seperti es itu. Ia hanya merasakan satu hal, ketakutan yang begitu pekat hingga menyesakkan dadanya. Gerakan tangannya cepat dan kuat, tapi ada getaran panik yang jelas dalam setiap kayuhan. Dia tidak pernah mengalami ketakutan seperti ini sebelumnya.
"GAURI!" suaranya pecah, meski tak ada gunanya berteriak pada tubuh kecil yang sudah menghilang di bawah permukaan.
Air kolam terasa lebih berat daripada biasanya, seperti menarik tubuh Devan ke bawah. Namun ia menyelam dalam satu hentakan, mata terbuka luas meski airnya perih. Dalam keburaman air biru, ia menangkap sosok mungil dengan rambut terurai yang mengambang lemah, perlahan tenggelam lebih dalam.
"Tidak… tidak, jangan …" Devan bergerak lebih cepat, paru-parunya seperti robek menahan napas. Tangannya meraih lengan Gauri, dingin, lembek, tidak bergerak.
Begitu kulit mereka bersentuhan, perasaan mengerikan menyambar jantung Devan.
Dia terlambat. Tuhan… jangan bilang dia terlambat.
Ia menarik tubuh Gauri ke dadanya dan menendang kuat ke atas, memecah permukaan air dengan satu teriakan tercekat.
"Bantu aku! Gino!!"
Suara pintu kaca berderak terbuka keras. Gino muncul paling depan bersama seorang teman laki-laki mereka, Bram. Keduanya langsung berlari begitu melihat Devan mengangkat tubuh Gauri ke permukaan.
"DEVAN, SINI!" Gino menjulurkan tangan.
Devan mengangkat tubuh Gauri ke arah pinggir kolam, tangannya gemetar. Bram menahan pinggang Devan agar tidak terpeleset saat mengangkat gadis itu naik ke lantai. Begitu Gauri sampai di pinggir, Gino langsung mengangkatnya ke dadanya.
"YA AMPUN… GAURI!" suara beberapa wanita alumni terdengar menjerit.
Rombongan yang tadinya sibuk menyiapkan barbecue kini berlari masuk dengan wajah panik. Dalam hitungan detik, ruangan kolam dalam ruangan itu penuh oleh teriakan, kecemasan, dan langkah kaki tergesa-gesa.
Diana juga datang, menutup mulut dengan kedua tangannya, berpura-pura terkejut. Namun matanya memandangi Devan, bukan Gauri. Tepatnya, menatap Devan yang basah kuyup, panik, dan seperti kehilangan jiwa.
'Taruh dia di lantai!"seru Devan.
Gino menurunkan Gauri dengan hati-hati. Gadis itu terbaring lemas, matanya tertutup rapat, bibirnya memucat. Tidak ada suara, tidak ada batuk, tidak ada gerakan kecil sekalipun dari dada mungilnya.
"Gauri… Gauri, dengar akun…" suara Devan bergetar parah. Ia menepuk lembut pipi gadis itu, tapi tidak mendapat respons apa-apa.
Hening seketika, dan ketakutan merayap di wajah semua orang.
"DEVAN, CEPET LAKUKAN SESUATU!' Gino berteriak, suaranya putus. Dia juga panik luar biasa.
Tanpa menunggu sedetik pun, Devan langsung menjatuhkan dirinya berlutut di sisi Gauri. Tangannya, meski gemetar, langsung bergerak dengan otomatis, sesuai setiap pelatihan pertolongan pertama yang pernah ia pelajari.
Ia meletakkan kedua tangannya di atas dada Gauri yang kecil, lalu mulai menekan ritmis.
"Bangun, Gauri… ayolah… ayo… ayo…"
Tekanan pertama. Kedua. Ketiga.
Tidak ada respons. Devan menekan lagi, lebih dalam, lebih cepat. Ia melirik wajah gadis itu, masih pucat, masih diam, seperti boneka yang tidak bernyawa.
"CEPET, VAN!" seru Bram. Semuanya panik karena ini masalah nyawa seseorang. Terkecuali Diana, tentu saja.
"Aku tahu!!" Devan hampir membentak, bukan marah, tapi panik.
Ia menunduk, memposisikan kepala Gauri, lalu memberikan napas buatan. Dada gadis itu sedikit terangkat … lalu turun kembali. Tidak ada reaksi lain.
"Bangun, kumohon …" bisik Devan, suaranya pecah.
Diana menggigit bibir keras-keras melihat pemandangan itu. Devan menatap Gauri seperti dunia bisa runtuh jika gadis itu tidak bangun. Ia membenci bagaimana Devan terlihat begitu hancur … untuk seseorang seperti Gauri.
"Van, terusin! Jangan berhenti!" Gino berseru, suaranya lirih karena menahan takut.
Dan Devan melanjutkan. Tekanan dada. Napas buatan. Tekanan lagi. Waktu terasa seperti melambat. Setiap detik yang berlalu menusuk dada Devan.
"Jangan mati, Gauri… jangan pergi… bukan gini caranya…" Gino mengucapkan kalimat yang membuat Devan menatapnya tajam.
Rombongan alumni ada yang sudah menangis. Ada yang menutup wajah, ada yang komat-kamit berdoa. Gino berkali-kali memegangi kepala, berjalan lingkaran kecil penuh frustrasi. Bram menahan salah satu lengan teman yang hampir mau ikut membantu tapi justru akan mengganggu.
Sementara Diana berdiri di belakang mereka, wajahnya muram, tapi hatinya berdebar aneh. Ada bagian dirinya yang puas karena rencananya berhasil… namun juga panik karena ia tidak pernah ingin ini sejauh ini. Karena jika Gauri mati… Devan tidak akan pernah memaafkan siapa pun. Dan yang paling buruk, dia sudah membunuh seseorang secara sengaja. Di sini tidak tidak ada cctv kan? Tiba-tiba Diana langsung terpikirkan cctv. Ia kalap tadi jadi tidak berpikir panjang.
Ketika ia melihat Devan menunduk lagi memberi napas buatan, semakin intens, semakin putus asa, rasa kesalnya membesar kembali.
Kenapa harus sejauh ini?
Kenapa harus seromantis itu?
Kenapa harus sepeduli itu? Kenapa?
Sudah hampir sepuluh menit berlalu sejak Devan memulai pertolongan pertama. Keringat menetes dari pelipisnya meski tubuhnya basah oleh air kolam. Tangannya mulai kram dan lemah, tapi ia tidak peduli. Ia tidak akan berhenti. Tidak selama Gauri masih belum merespons.
"Devan, istirahat sebentar. Kau sudah ..."
"TIDAK!" Devan membentak.
"Dia butuh aku!"
Devan menekan dada Gauri lagi.
Lagi, dan lagi.
Dan saat Devan menurunkan wajahnya untuk memberi napas buatan berikutnya, Gauri tersedak keras.
"UH-KHH-KHHH!"
Tubuh mungil itu tiba-tiba terangkat sedikit dari lantai. Air memancar keluar dari mulutnya, berceceran di lantai, membasahi lengan Devan. Gauri terbatuk lagi, tubuhnya bergetar hebat.
"GAURI!!" seruan serempak dari semua orang menggema.
Devan langsung menopang kepala gadis itu, tangannya memeluk punggung Gauri erat-erat.
"Gauri, dengar aku? Ini aku, Devan … lihat aku …"
Napas Gauri tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat sekali. Matanya membuka perlahan, berair, bingung, takut. Namun seketika itu juga ia menoleh ke samping.
Dan melihatnya.
Boneka beruang pemberian Devan, kesayangannya… basah kuyup… terapung tak berdaya di kolam.
Gauri membeku.
Lalu…
Tangisnya meledak seperti badai.
"B-Bon… be… be… B-ON…EKAAA!!" ia menjerit histeris.
"Jangan!! Jangan mati!! Jangan tenggelam lagi!! JANGAAAAN!!"
Semua orang kebingungan.
Tubuh Gauri menggelepar panik, mencoba bangun lalu meraih kolam meski masih lemas. Devan harus memeluknya dari belakang agar gadis itu tidak terjatuh lagi.
"Gauri, tenang! Tenang sayang, kakak di sini!" Devan berseru sambil menahan tubuhnya. Ia bahkan tidak sadar memanggil Gauri sayang.
Namun Gauri tidak bisa mendengar. Ia meraung, menangis sekeras yang ia sanggup. Suaranya pecah, ketakutan menguasai seluruh dirinya. Gino langsung berlari mengambil boneka itu dari kolam lalu menyerahkannya ke Gauri.
"Ini! Ini bonekanya!"
Begitu boneka itu berada dalam jangkauan, Gauri langsung merebutnya, memeluk erat seolah memeluk nyawa terakhir di dunia. Tangisnya tidak mereda, justru semakin histeris karena boneka itu basah, berat, dan tidak bergerak.
"BANGUN… bangun dong… jangan mati… jangan mati…" suaranya pecah berkeping-keping.
Devan, dengan wajah basah, entah oleh air kolam, keringat, atau air mata, memeluk Gauri kuat-kuat. Namun gadis itu semakin tantrum parah.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
MENDING INSAF DAN HILANGIN AMBISIMU WAT MILIKI DEVAN.DEVANYA AJA G MAU MA ELOH...
Apa mereka kecelakaannya tenggelam ya.
Sari - curiga sama Diana. Apa lagi Sari mendapat video dari ponsel Bram - Diana masuk ke area kolam - di jam yang sama ketika Gauri jatoh ke kolam. Semakin layak dan pantas dicurigai.
Bukan hanya tidak melihat Gauri jatoh, Sari... Tapi Diana yang mendorong - gitu lho Sari 😁
Devan.... kemarahanmu kek apa ini nanti ??? Bayangin dululah 🤔
kudu kau rasa nya