NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:314
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Elesa yang tak sengaja dekat

Pintu ruang kerja Markno setengah terbuka; aroma kopi yang mendingin berbaur dengan bau logam dari rak senjata. Solerom—Rom—duduk di sofa sudut, menekuk kepala pada jam analog di pergelangan. Kulit gelangnya kaku, pengaitnya licin, terus meleset setiap ia coba menautkannya. Pikirannya melayang, wajah Lina muncul seperti bayang di kaca buram: senyumnya yang dulu hangat, caranya membungkuk memeriksa pasien di Kencana Permata Indah, aroma antiseptik yang melekat di seragamnya. Lina, selingkuhannya dulu, sebelum suaminya membawanya pindah tugas ke kota lain. Rom mengusap ibu jari ke pengait jam, kesal, tapi matanya tertarik ke layar komputer Markno di meja seberang.

Thumbnail video bertanda *Kencana Permata Indah* berderet, beberapa disensor, potongan gambar vulgar yang tak asing. Video itu kembali tersebar—porsinya lebih sedikit dari kemarin, tapi cukup membuat urat di leher Rom menegang. Ia mengerang pelan, suara hampir tak terdengar. “Jadi mereka punya salinan videonya…,” gumamnya, nadanya kering. “Kupikir aku sudah menghapus total video saat di gedung tua dekat sawah kemarin.”

Pengait jam melorot lagi. Rom mendengus, jari-jarinya bergerak lebih kasar, mencoba memaksa logam kecil itu patuh. Matanya, bagaimanapun, tak lepas dari layar—gambar-gambar itu seperti duri, mencuri fokusnya. Setiap kali ia menekan pengait, pandangannya melayang ke monitor, dan tangannya goyah.

Langkah cepat mendekat. Markno masuk, seragamnya rapi, ekspresinya datar seperti biasa. Di belakangnya, Elesa melangkah dengan map tipis di tangan, alisnya sedikit terangkat saat menangkap pandangan Rom ke layar. Markno langsung duduk di depan komputernya, jari-jarinya menari di atas tombol, menggeser tab video vulgar itu ke latar komunikasi internal Militaryum. Peta digital, log pesan, dan grafik muncul, menggantikan gambar-gambar tadi.

Elesa berhenti dua langkah dari sofa, tangan memeluk map, matanya menajam ke arah Rom. “Merem—tega juga kamu,” katanya, suara datar tapi ada nada menusuk. “Kenapa ditonton?”

Rom menoleh, hanya separuh wajahnya bergerak, matanya masih setengah ke layar. “Markno yang harus disalahkan,” balasnya, nada santai tapi dengan sengatan kecil. “Kenapa meninggalkan komputer saat video itu masih berjalan?”

“Alesan,” tukas Elesa. Ia melangkah mendekat, meletakkan map di meja dengan gerakan tegas, lalu menarik karet rambutnya, mengikat cepol lebih kencang. Jari-jarinya bergetar sekilas sebelum ia lipat di depan dada. “Aku tidak tahu,” lanjutnya, suaranya turun setengah oktaf, “kenapa musuh amatiran kayak mereka bisa sejauh ini.”

Rom memandangnya, kali ini penuh. “Mereka lebih besar dari yang kita kira, El—eh, Bu.” Ia tergelincir, hampir memanggil “Elesa,” tapi mengoreksi diri dengan cepat.

Elesa menjentikkan pandangan, alisnya naik lebih tinggi. “Panggil saja Elesa,” katanya, nada setengah perintah. “Aku lebih muda darimu.”

Rom mengangguk tipis, sudut mulutnya melengkung kecil. “Oke, jika itu maumu. Jangan menyesal kalau kulakukan, Elesa.”

Elesa menarik napas, bahunya turun sedikit. Ia melangkah ke meja Markno, mencondongkan tubuh, jari telunjuknya menelusur grafik di layar. “Semua ini membuatku pusing,” katanya, suara lebih pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Aku merasa gagal di posisiku.”

Rom memandangnya dari sofa, jari-jarinya berhenti mengutak-atik jam. “Baik,” katanya, nada datar tapi dengan sengatan main-main, “aku akan kabarkan pada seluruh tim bahwa kau merasa gagal dan tak pantas dipanggil ‘Bu’.”

Mata Elesa membelalak, kilat kemarahan melintas di wajahnya. Ia melangkah mendekat, tangan kanannya terkepal di sisi tubuh. “Kamu siap ditampar, atau mau dipasung?” ancamnya, suara rendah tapi tajam.

Rom mengangkat bahu, tak bergeming. “Aku hanya patuh pada instruksimu sebelumnya.”

Markno, yang selama ini diam, menghela napas dari kursinya. “Fokus,” katanya tanpa menoleh, jari-jarinya masih mengetik. “Tiga mirror baru sejak pagi. Mereka pakai proxy, sisipkan ajakan donasi palsu. Sumbernya masih kabur.”

Elesa menoleh ke layar, alisnya mengerut. Ia menelusur grafik waktu dengan jari, gerakannya lambat, penuh konsentrasi. “Setiap ledakan besar diikuti sepuluh unggahan kecil dalam 37 menit,” ujarnya, suara datar tapi pasti. “Tiga siklus dalam 24 jam—metronom.”

Rom mengangguk, mengakui. “Kalau ada ritme, ada dirigen. Kita cari orangnya, bukan nadanya.”

Elesa menarik napas panjang, lalu tiba-tiba duduk menjejeri Rom di sofa, gerakannya cepat tapi terkendali. Ia menatap pergelangan Rom, di mana jam itu masih terlepas separuh. “Jangan bergerak,” katanya ringan, hampir seperti perintah dokter. Tangannya meraih pergelangan Rom, jari-jarinya bekerja cepat: memutar pengait, menyesuaikan lubang, menekan hingga terdengar *klik* kecil. Ia menepuk punggung tangan Rom sekali, gerakan profesional tapi dengan kelembutan yang tak sengaja.

Hening sejenak. Lampu monitor berkedip, memantul di mata Elesa. Ia menunduk, jari-jarinya menggosok pinggiran map di pangkuannya, gerakan kecil yang seolah menenangkan dirinya sendiri. “Kamu tahu, Rom,” katanya tiba-tiba, suaranya rendah, seperti napas yang lolos tanpa kendali, “kadang aku merasa seperti orang asing di tim ini. Mereka semua punya pengalaman lapangan bertahun-tahun, dan aku? Baru 25, naik jadi instruktur sebelah Markno karena satu keberuntungan analisis data. Tapi sekarang, dengan mafia pencuri data ini—mereka bukan amatiran lagi, kan? Mereka tahu celah kita, bocorin video-video itu dari Kencana Permata Indah, bikin korban seperti perawat dan satpam jadi sasaran fitnah. Aku yang harusnya jaga sistemnya, tapi malah… aku yang bikin lubangnya lebih lebar.”

Rom memandangnya, matanya tak berkedip, mendengarkan tanpa menyela. Ia melihat bagaimana jari Elesa berhenti menggosok map, bagaimana bahunya merosot lebih dalam, seolah beban itu baru saja diturunkan separuh. “Kamu bilang gagal,” katanya pelan, suaranya seperti jangkar, “tapi apa yang kamu lihat di grafik itu—pola 37 menit—itu bukan keberuntungan. Itu karena kamu tak pernah berhenti gali, meski malam-malam pulang sendirian, merangkum log sampai subuh. Aku tahu, karena aku lihat kamu di ruang arsip kemarin, mata merah tapi grafiknya sudah rapi.”

Elesa menoleh, matanya melebar sedikit, kejutan bercampur lega melintas di wajahnya. Ia menggigit bibir bawahnya sekilas, gerakan kecil yang jarang ia lakukan di depan orang lain. “Kamu… perhatikan itu?” gumamnya, suaranya hampir hilang. “Aku pikir aku sendirian. Maksudku, setelah kebocoran itu, aku nggak bisa tidur. Bayangin aja, perawat yang dulu aku kenal dari laporan—mereka sekarang dipecat gara-gara video palsu itu. Satpam yang difitnah sebagai dalang, keluarganya malu. Dan aku? Duduk di sini, instruktur muda yang seharusnya pintar, tapi malah merasa seperti anak kecil yang main-main dengan data orang. Kenapa mereka bisa lolos, Rom? Kenapa aku nggak bisa prediksi lebih cepat? Setiap kali pola muncul, rasanya seperti pukulan—kita telat lagi.”

Rom mengangguk pelan, tangannya menyentuh pinggir sofa, dekat tapi tak menyentuh Elesa, memberi ruang. “Karena kamu manusia, Elesa. Bukan mesin. Dan mafia itu? Mereka besar karena mereka main kotor—proxy, donasi palsu, semuanya untuk bikin kita ragu. Tapi kamu yang nemuin metronomnya, yang bikin kita punya senjata besok. Usia 25 bukan beban; itu keuntungan. Orang seumurmu biasanya masih belajar dasar, tapi kamu sudah bikin Markno bergantung. Aku? Aku cuma eksekutor lapangan, hapus video di sawah itu sendirian. Kamu yang bikin rencananya berguna.”

Elesa menarik napas dalam, rahangnya yang tadi tegang mulai kendur. Ia menyandarkan punggung ke sofa, matanya menatap langit-langit ruangan, seolah kata-kata Rom baru saja membuka pintu yang selama ini terkunci. “Mungkin… mungkin iya,” katanya, suaranya lebih ringan sekarang, dengan nada yang tak lagi penuh tuduhan diri. “Tapi kadang aku iri sama kalian yang bisa langsung turun tangan. Aku di sini, di balik layar, tapi rasanya tanganku yang berdarah kalau ada korban baru. Seperti Lina dulu—bukan, bukan soal itu—maksudku, korban seperti dia, yang terjebak di rumah sakit itu sebelum pindah. Aku takut, Rom, kalau pola ini nggak berhenti, kita kehilangan lebih banyak lagi. Aku nggak mau jadi alasan tim pecah.”

Rom tersenyum tipis, pertama kalinya malam itu, tapi senyumnya hangat, bukan sarkastik. Ia memiringkan tubuh sedikit ke arah Elesa, suaranya tetap tenang. “Kamu nggak akan. Karena kamu yang pegang benangnya sekarang. Besok, kita ikuti ritme itu—kamu pimpin analisisnya, aku yang kejar dirigennya. Dan soal iri? Aku iri sama kamu yang bisa lihat pola sebelum jadi kekacauan. Kita saling lengkapi, Elesa. Bukan gagal, tapi tim.”

Elesa diam sejenak, matanya kembali ke jam di pergelangan Rom, jari-jarinya menyentuhnya lagi, memeriksa pengait seolah itu ritual kecil untuk menenangkan. “Jamnya pas sekarang,” gumamnya, tapi kali ini dengan senyum samar yang muncul di sudut bibirnya, seolah pengertian Rom baru saja mencairkan es di dadanya. Ia menarik tangan, tapi gerakannya lebih lambat, lebih percaya diri. “Terima kasih, Rom. Aku… nggak nyangka kamu paham gini.”

“Selalu,” jawab Rom sederhana, matanya bertemu miliknya, penuh keyakinan yang tak perlu dibuktikan.

Markno batuk pelan dari mejanya, memecah hening. “Kalau sudah, pola baru muncul. Besok pagi kita susun rencana.”

Elesa mengangguk, bahunya tegak lagi, tapi kali ini dengan energi baru. “Kalau pola sudah jelas,” katanya, suara lebih tegas, “besok kita kejar dirigennya. Malam ini… kepalaku butuh istirahat.”

Rom menoleh, nada setengah bercanda tapi tulus. “Makan malam? Kau pilih tempat. Aku bayar seluruh pesanannya.”

Elesa menoleh, matanya menyipit, menimbang dengan senyum kecil yang masih tersisa. Ia membetulkan lengan seragam, dagunya sedikit terangkat. “Kalau aku pesan semua yang pedas, ditambah dessert?” tanyanya, nada datar tapi dengan sengatan main-main, seperti menguji tapi sudah tahu jawabannya.

Rom menyeringai tipis. “Setuju. Aku bayar semuanya, Elesa.”

Elesa mengangguk singkat, gerakan final tanpa drama. “Besok jam sembilan, aku di sini,” katanya, menautkan janji kerja. “Sekarang… makan.”

Mereka berhenti di situ. Jam di pergelangan Rom berdetak mantap, bunyi kecilnya seperti ritme yang menenangkan. Elesa melirik layar Markno sekali lagi, lalu menutup map dengan gerakan tegas. Cerita berakhir di persetujuan itu—Rom mengajak, Elesa setuju dengan syarat, tanpa langkah lebih jauh, tanpa keberangkatan.

!

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!