Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikrar senja sang perwira
Matahari bulan Juli sedang menggantung rendah di ufuk barat Lembah Tidar, seolah enggan menuntaskan tugasnya. Sinar keemasannya membelai lembut barisan pohon beringin tua yang berdiri kokoh di sudut Akademi Militer.
Hari itu, bukan hanya akhir dari bulan yang terik, namun juga penanda paripurna dari empat tahun pengabdian Ramdan, seorang Taruna Akademi Militer, yang kini telah menggenggam pangkat Sersan Mayor Satu Taruna (Sermatutar), pangkat tertinggi yang dikenakan sebelum menjadi Perwira. Esok hari, ia akan melangkah tegap menuju Istana Merdeka, menerima titah suci dalam Upacara Prasetya Perwira, sebuah ritual sakral yang akan menyematkan pangkat Letnan Dua di pundaknya, menobatkan dirinya sebagai Perwira TNI Angkatan Darat yang sah.
Di bawah kanopi rindang pohon beringin yang daunnya bergetar perlahan ditiup angin senja, tempat yang menyimpan memori akan sebuah teguran keras dan hukuman disiplin di masa lalu, Ramdan menunggu. Di tempat inilah, ia pernah menyaksikan Kalea, seorang Taruni Tingkat Satu (Kopral Taruna/Koptar), yang wajahnya selembut sutra, dihukum push up karena sebuah kelalaian kecil, namun melaksanakannya dengan ketegasan baja yang memukau.
Tak lama, sosok yang ditunggu muncul. Kalea, kini Taruni Tingkat dua yang menyandang pangkat Sersan Taruna (Sertar), berjalan dengan langkah yang tak lagi gentar, namun tetap memancarkan keanggunan seorang ksatria putri.
Begitu tiba di hadapan Ramdan, insting kemiliterannya bekerja sempurna. Punggungnya lurus, dagunya terangkat, tangan kanannya dengan sigap memberi hormat, sebuah gerakan presisi yang mencerminkan kedisiplinan yang telah mendarah daging.
"Santai saja, Taruni Aswangga," ujar Ramdan, membalas hormatnya dengan senyum yang sangat ringan, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan selama empat tahun di kawah candradimuka itu. "Saya bukan lagi siswa Akmil. Secara hirarki, status Taruna saya telah berakhir."
Kalea menurunkan tangannya, namun sikapnya tetap tegap. Matanya yang bening menatap lurus, memancarkan hormat yang mendalam.
"Siap, namun Anda lebih daripada itu sekarang, Senior. Anda adalah calon Perwira sah yang esok akan dilantik. Sesuai budaya dan etika kita, Anda lebih harus dihormati. Bahkan sinar mentari pun tampak tunduk pada aura kedewasaan yang Anda pancarkan, Senior."
Ramdan tertawa kecil, tawa yang tak pernah ia biarkan terdengar nyaring di balik tembok akademi. Suara tawa itu, meski pelan, bagaikan melodi yang memecah kesunyian senja, menghujam langsung ke ulu hati Kalea. Gadis itu terpana. Selama ini, yang ia kenal hanyalah Ramdan, sosok Senior Tertua yang berwibawa, tegas, dan tak tersentuh, seorang pemimpin yang kata-katanya adalah titah.
"Kamu benar, Taruni," balas Ramdan, suaranya mengandung kehangatan yang tak terduga. "Namun hari ini, detik ini, saya menemuimu bukan sebagai Sersan Mayor Satu Taruna, bukan pula sebagai calon Letnan Dua, melainkan sebagai seorang Ramdan. Hanya seorang manusia biasa yang ingin berbicara dari hati ke hati, tanpa terikat oleh lilitan pangkat dan chevron di lengan."
Kalea mengerutkan kening, bingung. "Maksud Senior?"
Ramdan menghela napas, seolah mengambil seluruh keberanian yang ia simpan selama empat tahun. Ia menatap Kalea, tatapan yang kini bukan lagi tatapan komando, melainkan tatapan pengakuan.
"Saya telah memperhatikanmu, Taruni Kalea. Sejak hari pertama kamu menginjakkan kaki di Lembah Tidar ini. Wajahmu tampak sangat lembut, seperti porselen yang rentan pecah. Saya pikir kamu akan menangis, akan menyerah dalam satu bulan. Kamu tahu, betapa kejamnya dunia pendidikan militer bagi jiwa selembut dirimu."
Kalea hanya tersenyum simpul, sebuah senyum yang lebih menenangkan daripada menjawab, mencoba menyimak setiap helai kalimat yang diucapkan oleh Ramdan.
"Lalu," Ramdan melanjutkan, suaranya sedikit merendah, "Saya menyadari sesuatu. Hari itu, di lereng bukit curam saat latihan navigasi darat. Kamu terjatuh. Kakimu cedera, saya melihatnya, namun kamu bangkit tanpa setetes pun air mata. Kamu terus berjalan, bahkan ketika langkahmu terseok. Jiwa yang lembut itu ternyata menyimpan kekuatan baja yang luar biasa. Sebuah kontradiksi yang paling indah yang pernah saya saksikan."
Kalea mengangguk, membenarkan kejadian yang telah lama terkubur itu. Ia ingat, hari itu Ramdan, sebagai Senior Tertua yang sedang mengawasi, hanya melewatinya dengan tatapan dingin, namun kini ia tahu, Ramdan melihat lebih dari sekadar cedera fisik.
"Saat itu saya sadar, saya melihatmu bukan lagi hanya sebagai seorang Taruni koptar yang berprestasi, bukan hanya sebagai pewaris nama besar 'Aswangga' yang legendaris itu. Saya melihatmu, Kalea yang seutuhnya."
Ramdan melangkah satu jengkal lebih dekat, membiarkan jarak di antara mereka terasa begitu tipis.
"Saya mencintaimu, Taruni Aswangga," ucapnya, kalimat yang meluncur begitu saja, tanpa komando, tanpa keraguan, murni dari relung hati seorang ksatria yang akan segera berjuang di garis depan.
"Bukan karena nama besar yang kau sandang, melainkan karena jiwamu yang bersih, tulus, dan kekuatan yang kau sembunyikan di balik kelembutan itu. Kau adalah badai yang terperangkap dalam vas bunga."
Kata-kata itu bagai panah emas yang menembus pertahanan Kalea. Ia, yang selalu tegar menghadapi tempaan fisik dan mental, kini merasakan getaran hebat di dadanya.
"Senior, saya..." Kalea tergagap. Lidahnya terasa kelu, tak mampu merangkai satu pun kalimat yang sopan dan sesuai etika keprajuritan untuk merespon pengakuan yang begitu berani dan tak terduga ini.
Ramdan kembali tertawa, kali ini lebih lepas. Tawa itu menghapus segala ketegangan, membuat wajahnya tampak begitu muda, begitu manusiawi, jauh dari citra Taruna elit yang selalu ia perlihatkan. Kalea terpana, mendapati bahwa di balik kedisiplinan Ramdan yang setajam silet, tersimpan kehangatan yang memabukkan.
"Kamu tidak perlu menjawab sekarang, Taruni Aswangga," ujar Ramdan, menenangkan. "Saya tahu, waktu dan tempat ini tidak tepat untuk sebuah jawaban. Jawablah nanti, ketika kita telah sama-sama menemukan pijakan yang lebih kokoh."
Pemuda itu merogoh saku seragam dinas harian (PDH)-nya. Ia mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua, kotak yang tampak begitu kontras dengan ketegasan seragamnya. Kotak itu ia ulurkan kepada Kalea.
"Senior, ini..." Ucap Kalea, matanya terpaku pada kotak tersebut.
"Taruni Aswangga, saya tidak memaksamu menjawab hari ini," tegas Ramdan, nadanya kembali berubah menjadi komando yang lembut, penuh harap. "Terima saja. Nanti, suatu hari nanti, kalau takdir Tuhan mempertemukan kita lagi, mungkin di Aceh, atau di mana pun itu. Cincin ini akan menjadi simbol penantian dan jawaban."
Ramdan mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya kini berbisik namun tegas, seolah sedang memberi instruksi militer yang paling penting dalam hidupnya.
"Jika hatimu tidak bergetar dan kamu merasa ini salah, kau bisa mengembalikan cincin ini saat kita bertemu lagi. Tapi jika 'iya' yang menjadi jawabanmu, jika kamu juga merasakan apa yang saya rasakan, pakailah cincin ini nanti. Dan percayalah, saya akan datang untukmu, memberi hal yang jauh lebih baik, dan membuat ikrar yang lebih besar di hadapan keluarga dan negara."
Kalea menerima kotak beludru itu. Jemarinya yang biasanya cekatan, kini gemetar saat menggenggam benda kecil tersebut. Kotak itu terasa dingin, namun janji yang tersimpan di dalamnya terasa begitu hangat. Ia menggenggamnya erat, seolah menggenggam sebuah janji suci yang dikukuhkan di bawah sumpah perwira.
"Kalau begitu, saya pamit, Taruni Aswangga," Ramdan mengambil langkah mundur, kembali ke jarak yang sesuai dengan etika Taruna dan Perwira. "Jaga diri baik-baik. Ingat, sekarang kamu bukan lagi Kopral Taruna Tingkat 1, tapi akan jadi Sersan Mayor Dua Taruna Tingkat 3, dua langkah lagi kau akan menyusul saya. Ingat satu hal, Taruni Aswangga. Di mana pun kamu menginjakkan kaki kelak, tetap jaga nama baik Akmil, jaga kehormatan Korps Taruna, dan junjung tinggi nama besar Tentara Nasional Indonesia. Jadilah Perwira sejati yang berhati nurani."
"Siap, Senior! Instruksi akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya!" jawab Kalea dengan suara yang mantap, namun tatapan matanya menyimpan ribuan makna yang tak terucapkan.
Ramdan memberi hormat kali ini, sebuah tanda perpisahan resmi. Kalea membalas hormatnya dengan sempurna. Di senja yang semakin pekat itu, Ramdan berbalik, meninggalkan bayangannya di bawah pohon beringin, dan berjalan menjauh menuju pintu gerbang yang akan membawanya ke takdir seorang Letnan Dua.
Kalea tersenyum hangat, hatinya dipenuhi haru. Ia melepaskan Taruna yang selama ini tanpa sadar telah menuntun jalannya, sosok yang selalu mengulurkan tangan ketika ia terjatuh dalam bentuk teguran keras yang membangun. Ramdan, pemuda itu, seolah telah menggantikan peran Byantara, menjadi pelindung tak kasat mata dalam setiap langkahnya di Lembah Tidar.
Bulan-bulan berikutnya, setelah Ramdan resmi dilantik dan memulai tugas pertamanya di Tanah Rencong, nama Kalea mulai menggema, bukan hanya di lingkungan Resimen Korps Taruna Akmil, tetapi bahkan menyeberang ke akademi-akademi lain. Ia, Sersan Mayor Dua Taruna Kalea Aswangga, menjelma menjadi ikon. Ia adalah Taruni yang memiliki kecerdasan setajam pedang, kepemimpinan sekuat karang, dan kepiawaian dalam berbahasa asing yang membuatnya selalu menjadi delegasi terdepan di setiap konferensi taruna militer internasional.
Dinding asrama dan lorong-lorong pendidikan yang sepi seringkali menjadi saksi bisu betapa kerasnya ia menempa diri, mengikuti jejak para Senior Tertua-nya. Statusnya sebagai Taruni tingkat tiga, yang sudah menyandang pangkat Sermadatar, memberinya otoritas dan tanggung jawab yang besar dalam membina dan mengasuh adik-adik angkatannya, para Sersan Taruna (Sertar) dan Kopral Taruna (Koptar).
Ia adalah cerminan dari trilogi nilai Akmil: Tanggap, Tanggon, Trengginas.
Bahkan Gubernur Akmil pun, sang pemegang tongkat komando tertinggi di Lembah Tidar, mulai sering mendengar nama Kalea di setiap laporan prestasi dan ajang kompetisi.
Pagi itu, udara Magelang terasa dingin menusuk tulang, namun semangat para Taruna tak pernah padam. Di pelataran Main Hall yang megah, Kalea sedang berjalan tegap menuju perpustakaan, tempat ia sering menghabiskan waktu di antara jadwal latihan yang padat.
"Taruni Aswangga!" panggil sebuah suara berat dari belakangnya, suara yang menandakan tingkat senioritas tertinggi di Resimen Korps Taruna, seorang Sermatutar.
Kalea, tanpa menunda satu detik pun, menghentikan langkah, membalikkan badan dengan gerakan militer yang luwes, dan segera memberi hormat dengan kesempurnaan etika. Pria yang memanggilnya adalah Sersan Mayor Satu Taruna Riko Panjaitan, salah satu seniornya di Tingkat Empat yang dikenal memiliki prestasi di bidang navigasi udara. Dan, juga anak dari seorang perwira tinggi TNI AL. Ia yang kerap kali kena hukuman karena kecerobohannya.
"Siap, Senior!" ujar Kalea dengan suara lantang dan tegas.
Riko membalas hormatnya, seulas senyum bangga tersungging di bibirnya.
"Selamat ya, Taruni. Atas keberhasilanmu merebut juara satu dalam kejuaraan tembak internasional. Sebuah kado indah bagi Korps kita menjelang Praspa kami tingkat 4."
"Siap, terima kasih banyak, Senior! Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi saya bisa membawa nama baik Akademi Militer," jawab Kalea, matanya berbinar, namun ia tetap menjaga kerendahan hati.
"Kau memang yang paling membanggakan di angkatan kita, Taruni," puji Riko, sorot matanya penuh kekaguman. "Prestasi akademikmu setinggi langit, dan kemampuan fisikmu seolah tak berbatas. Kau adalah berlian yang paling bersinar di Tidar ini."
"Siap, Senior. Senior terlalu berlebihan. Kita semua sama-sama Taruna pilihan yang berprestasi. Jalan rezeki, spesialisasi, dan bidang kompetensi kita saja yang berbeda, Senior. Setiap Taruna di sini adalah calon Perwira unggulan," elak Kalea dengan tutur bahasa yang santun, menolak pujian yang terlalu berlebihan, sesuai dengan norma kerendahan hati prajurit.
Riko mengangguk, menghargai sikap Kalea. Seorang pemimpin yang sejati adalah dia yang mampu merangkul rekan seperjuangan, bukan menonjolkan diri sendiri.
"Kau mau ke kelas, Taruni?" tanya Riko.
"Siap, tidak, Senior. Saya bermaksud menuju perpustakaan. Ada beberapa referensi studi pertahanan yang harus saya tinjau sebelum apel malam," jawab Kalea.
"Baik, lanjutkan! Tetap jaga motivasi dan jadilah contoh yang baik bagi junior-junior di bawahmu, Taruni Aswangga!" komando Riko.
"Siap, Senior! Instruksi akan dilaksanakan!"
Kalea memberi hormat, Riko membalasnya. Setelah Riko berbalik, Kalea melanjutkan langkahnya, menuju ruang hening yang menyimpan segudang ilmu. Di dalam tasnya, kotak beludru kecil pemberian Ramdan ia simpan dengan rapi. Cincin itu masih tertutup rapat, sebuah janji yang masih menunggu waktu, sebuah teka-teki hati yang akan ia bawa hingga ia menjejakkan kaki di medan tugas, menyusul Ramdan sebagai Perwira.
Ia tahu, medan juang seorang Perwira tak hanya ada di medan perang, tetapi juga dalam hati yang harus teguh memilih antara cinta dan tugas. Dan bagi Kalea, sebagai Ksatria Putri Lembah Tidar, ia bertekad untuk menyelaraskan keduanya, menjadikan tugas sebagai kehormatan, dan cinta sebagai kekuatan. Empat ribu kata yang terukir di benaknya bukanlah sekadar kisah, melainkan sebuah ikrar. Ikrar untuk menjadi Perwira yang tangguh, dan wanita yang setia pada janjinya.