Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianat di Balik Lencana
Amara melajukan motornya dengan kencang, angin menerpa wajahnya, namun pikirannya jauh lebih gaduh dari suara mesin yang meraung. Kata-kata Raditya bergema di kepalanya, Lucian. Nama yang selama ini hanya berupa bayangan, kini memiliki wajah. Wajah yang kini melekat erat pada pikirannya.
Amara menepi di sebuah jalan kecil, mematikan mesin motor, lalu membuka helmnya.
Ia menatap kartu nama yang masih ia genggam sejak pagi. Nama Fairuz Wirantama tertulis jelas, tapi benaknya hanya bisa mengaitkannya dengan satu nama lain, Lucian.
“Kenapa kau…?” gumamnya, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Ponselnya berdering. Nama Raditya muncul di layar. Amara hampir mengangkatnya, tapi sesuatu menahannya. Ia menekan tombol ignore, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia butuh waktu.
Namun belum sempat ia menenangkan diri, sebuah pesan singkat masuk. Nomor tak dikenal.
"Transaksi akan segera dilakukan. Jangan terlambat!"
Amara menelan ludah. Jari-jarinya bergetar saat membuka lampiran lokasi. Sebuah gudang tua di pinggir pelabuhan.
“Ini gila,” desisnya.
Amara menutup helmnya kembali, tangannya mencengkeram stang motor erat-erat, ia lalu menyalakan motornya dan melaju menuju arah pelabuhan.
Gudang tua di pelabuhan itu tampak sepi dari luar, catnya mengelupas, pintu besinya berkarat. Namun dari dalam, cahaya lampu redup berkedip samar. Amara memarkir motornya jauh di balik tumpukan kontainer, lalu bergerak mendekat, napasnya tertahan.
Ia menemukan celah kecil di pintu geser. Dengan hati-hati, ia mengintip ke dalam.
Pemandangan yang ia lihat membuat darahnya berdesir.
Komandan Alfian berdiri di sana, dikelilingi beberapa pria asing berjas gelap. Di depannya, koper besar terbuka berisi uang dolar. Sementara di sisi lain, tumpukan paket putih berbentuk bata dikeluarkan dari salah satu kontainer. Paket-paket itu kemudian ditata rapi, lalu dimasukkan kembali ke kontainer lain bersama tumpukan kardus barang dagangan.
“Pastikan setiap kontainer berangkat malam ini,” suara Alfian bergema, dingin dan penuh tekanan. “Tidak boleh ada kesalahan. Barang-barang ini harus lolos sampai tujuan. Sekali ada yang berani bocor, kalian tahu akibatnya.”
Amara menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha menahan napas agar tidak bersuara.
Tiba-tiba, salah satu pria mengarahkan lampu senter ke arah pintu. Cahaya menyorot tepat ke celah tempat Amara bersembunyi. Jantungnya seolah berhenti. Ia merunduk cepat, punggungnya menempel ke dinding besi dingin.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat.
Amara panik. Jika tertangkap, semuanya berakhir. Tangannya bergetar saat meraih Glock 17 di sakunya, bersiap menembak jika terpaksa.
Namun sebelum pria itu sempat keluar, suara deru mobil keras memecah keheningan. Klakson dibunyikan panjang, lampu sorot mobil menerangi halaman gudang.
“Bos! Ada yang datang!” teriak salah satu anak buah Alfian.
Pria yang tadi hendak membuka pintu langsung menoleh. Semua perhatian di dalam gudang teralihkan ke arah luar.
Amara menoleh cepat, dan matanya membelalak. Raditya turun dari mobil hitamnya dengan langkah mantap, wajahnya penuh kewaspadaan.
"Radit… apa yang kau lakukan di sini?" Amara bergumam pelan.
Amara berlari kecil ke arah kontainer tempat motornya disembunyikan. Tapi sebelum ia sempat menyalakan mesin, suara Raditya muncul tepat di belakangnya.
“Amara!”
Amara membeku, lalu menoleh. Raditya menatapnya penuh tanya. “Sebenarnya apa yang kau lakukan?”
Melihat Raditya yang bingung Amara menurunkan waspada. ”Kau sendiri, kenapa ada di sini?”
”Aku terus menghubungimu, tapi kau tidak menjawab. Jadi aku mengikuti jejak GPS motor mu, makanya aku di sini! ”
Setelah tahu Raditya juga dalam bahaya, Amara menyeretnya keluar perlahan. “Tidak ada waktu! Cepat ikut aku!” desis Amara, suaranya tegang.
Tanpa banyak protes, Raditya menurut. Mereka naik ke motor, Amara memutar kunci, dan mesin meraung keras. Dalam sekejap mereka melesat keluar dari pelabuhan, meninggalkan gudang itu di belakang.
Raditya berpegangan erat, berusaha menahan rasa penasaran yang membuncah. “Amara, jelaskan! Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku tidak bisa memberi tahu mu sekarang,” sahut Amara cepat, matanya fokus pada jalanan malam yang kosong.
Raditya terdiam. Sorot matanya tajam, tapi ia bisa merasakan ketakutan dalam suara Amara. Motor itu terus melaju membelah jalan, meninggalkan pelabuhan yang kini terasa seperti jurang.
Amara mengantarkan Raditya ke rumahnya.
”Hei, buat apa aku kau antar pulang? Mobil ku masih terparkir di pelabuhan. Bawa lagi aku ke sana!" Raditya mendengus kesal, karena tanpa penjelasan Amara membawanya pergi begitu saja.
"Sudahlah, beli saja mobil baru! Mobil itu pasti terlalu kecil untuk mu. Bukankah kau akan segera punya anak. Belilah mobil yang lebih besar." Amara membalas seadanya.
"Enak saja! Kalau beli yang baru, yang lama yah harus di jual dulu. Rugi donk aku!” Kesal pada wajah Raditya bertambah, karena bukannya memberi penjelasan Amara malah menyarankan hal yang merugikannya.
"Ikhlaskan saja mobil itu Raditya! Nyawamu jauh lebih berharga daripada mobil itu. Aku harus pergi, ada yang harus ku urus.” Amara segera menghidupkan motornya.
Sebelum Amara meluncur, tangan Raditya menahannya.
"Amara.. apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku? Aku sudah menganggap mu adik sendiri. Kau pikir aku mengikutimu sampai ke pelabuhan karena apa? Jangan terlibat dalam hal yang berbahaya sendirian.”
Amara tertegun, tapi dia tidak ingin gegabah, saat ini dia tidak bisa mempercayai siapapun. Berulang kali nyawanya terancam, tidak tahu siapa musuh siapa lawan. Dia memilih diam, menyelidiki lebih dalam sebelum bertindak.
Amara menghela napas. "Raditya, " sambil menepuk punggung Raditya. "Sebaiknya kau hati - hati. Kasus yang kita hadapi kali ini bukan kasus kecil. "
Raditya terdiam. "Apa yang kau maksud?"
Amara memandangnya lekat. "Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Tapi aku mohon, jangan bertindak gegabah. Sebaiknya saat ini kau jangan percaya siapa pun. Dan kalau ada yang bertanya tentang mobilmu, katakan saja mobilmu dicuri."
Raditya menatapnya dengan tatapan bingung. Amara lalu melajukan motornya dan setelah jauh dari lingkungan Raditya Amara menghubungi Fai. Nada sambung berbunyi dua kali sebelum Fai mengangkat.
"Kau aman?" tanya Fai tanpa basa-basi.
Hampir saja Amara memaki pria dari balik telepon itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia sadar tujuannya belum tercapai, dia mencoba menjawabnya dengan tenang. ”Apa kau yang mengirimkan lokasi gudang pelabuhan?”
"Bukankah kau menginginkan bukti?” suaranya datar.
"Aku ingin bertemu denganmu," kata Amara. "Aku punya banyak pertanyaan."
"Datang ke tempatku, pukul 23.00. Datang sendirian," jawab Fai, lalu sambungan terputus.
Malam itu, Amara datang ke sebuah apartemen mewah. Ia memasukkan alamat itu ke GPS, dan menemukan gedung itu di salah satu area paling eksklusif di kota. Ia menekan bel, dan pintu terbuka.
Fai berdiri di sana, mengenakan kaus hitam dan celana jins. Rambutnya basah, sepertinya ia baru saja selesai mandi.
"Masuk," katanya singkat.
Amara masuk ke dalam. Apartemen itu minimalis, dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Jendela kaca setinggi langit-langit membuat ruangan terasa luas dan terbuka. Amara menatap Fai, lalu matanya melirik pada meja kerja. Ada tumpukan laptop, tablet, dan layar monitor yang menyala.
"Apa kau... hacker?" tanya Amara.
Fai tidak menjawab, ia hanya berjalan ke dapur. "Mau minum?"
"Tidak, aku ingin bicara," kata Amara.
"Duduklah," kata Fai, menuangkan dua gelas air putih. Ia menyerahkan salah satunya pada Amara, lalu duduk di seberangnya.
"Baiklah," kata Fai, menatapnya lekat. "Tanyakan apa saja yang ingin kau ketahui."
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....