Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Gudang tua kembali jadi markas persiapan. Reno membuka koper hitam berisi sesuatu yang mirip lapisan silikon tipis.
“Ini,” katanya sambil mengangkat benda itu, “topeng prostetik. Nggak cuma bikin muka lo beda, tapi juga bisa ngubah garis rahang, alis, bahkan tekstur kulit. Kamera pengawas Nitro nggak bakal bisa deteksi.”
Moira menatap cermin kecil, menarik napas dalam. Perlahan Reno menempelkan topeng itu ke wajahnya, membaurkannya dengan lem khusus. Dalam hitungan menit, bayangan Hanabi menghilang, berganti dengan sosok baru Raina, perempuan dengan rahang lebih tegas, kulit sedikit lebih gelap, dan tatapan asing.
Rio langsung tepok tangan. “Ya ampun, sayang… sekarang lo kayak aktris film action Hollywood! Kalo gue nggak tahu lo Moira, mungkin gue udah ngecengin lo sekarang.”
Bima ngakak. “Lo mah semua juga lo cengin, Yo.”
Moira mengabaikan komentar mereka, lalu berdiri. “Mulai sekarang, Moira nggak ada. Gue cuma Raina.”
Gentha menatapnya lama, ada sesuatu yang tertahan di matanya. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk. “Inget, lo masuk ke sarang naga. Jangan bikin diri lo kebakar.”
⸻
Markas Nitro.
Pintu besi besar berderit terbuka, Moira melangkah masuk dengan wajah baru. Di dalam, ruangan penuh asap rokok, suara tawa kasar, dan dentuman musik keras. Semua mata menoleh ke arah pendatang baru.
Seorang pengawas dengan tato leher maju, menatap tajam.
“Lo siapa?”
Moira menunduk sedikit, suaranya tenang tapi asing. “Nama gue Raina. Gue datang buat cari tempat di Nitro.”
Tawa rendah terdengar dari beberapa anggota. Salah satunya bersuara, “Anak baru lagi. Biasa, bentar juga kabur kalo nggak kuat.”
Tapi tiba-tiba, langkah berat terdengar dari tangga besi. Razka muncul dengan jas hitam rapi, senyumnya licin. Tatapannya berhenti pada Moira—lama, menusuk.
Moira menahan napas di balik topeng prostetik itu.
Razka mendekat, jaraknya hanya beberapa senti. “Raina, ya?” suaranya rendah. “Gue suka lihat orang berani masuk sini. Tapi inget satu hal sekali lo masuk Nitro… lo nggak bisa keluar dengan kepala utuh.”
Moira menatap balik, matanya tak gentar. “Gue nggak berniat keluar.”
Razka tersenyum tipis, lalu berbalik. “Oke. Kita liat seberapa lama lo bisa bertahan.”
⸻
Di luar markas, Gentha yang mengawasi lewat kamera kecil di kalung Moira mengepalkan tangan. Rio menggigit kuku dengan panik.
“Ya Tuhan, Yo,” bisik Gentha. “Kalau Razka nyadar siapa dia sebenarnya, habis kita semua.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruang dalam markas Nitro.
Moira—atau Raina—baru saja selesai registrasi ala geng jalanan : sidik jari, foto wajah, dan tes fisik singkat. Tapi rupanya itu belum cukup.
Razka duduk di kursi kulit, dikelilingi tangan kanannya. Dia mengetuk meja dengan santai, lalu menatap Moira.
“Lo mau gabung Nitro? Semua orang bisa ngomong begitu. Tapi gue nggak percaya omongan, gue percaya aksi.”
Dia menjentikkan jarinya. Seorang anak buah membawa satu lelaki muda, tangan terikat, wajah lebam. Lelaki itu dilempar ke lantai keras di depan Moira.
“Dia pengkhianat. Dulu bagian dari kita, tapi nyolong duit markas. Lo mau buktiin kalau lo Nitro asli?” Razka tersenyum sinis. “Habisi dia.”
Ruangan langsung hening. Semua mata menatap Moira, seolah menunggu pertunjukan berdarah.
Moira berdiri kaku. Di balik wajah palsunya, jantungnya berdetak kencang. Suara Gentha terdengar dari earpiece mini yang disembunyikan Reno di rambutnya.
“Bi, jangan gegabah. Cari celah. Lo nggak boleh bunuh orang nggak bersalah.”
Moira jongkok, menatap lelaki itu. Matanya ketakutan, tubuhnya gemetar. Dia jelas bukan ancaman—lebih mirip korban.
Moira lalu berdiri, mengambil pisau yang dilempar salah satu anggota Nitro. Dia memutarnya pelan di tangannya, menahan raut dingin.
Semua anggota bersorak.
“Tusuk!”
“Biarin darahnya ngalir!”
Razka menyandarkan tubuh, tersenyum puas.
Moira mendekat, menempelkan ujung pisau ke leher lelaki itu. Darah hampir mengalir. Lalu tiba-tiba—Moira menancapkan pisaunya ke lantai, persis di samping wajah lelaki itu.
Dugh!!!!!
Suara logam menghantam beton menggema.
“Pengkhianat atau bukan, Nitro nggak butuh orang mati. Nitro butuh orang takut,” kata Moira dengan suara berat dan tenang, seperti bukan dirinya.
Ruangan kembali hening. Lalu beberapa anggota justru bersorak lebih keras.
“Woiii! Dia gila bener!”
“Berani main psychopath !”
Razka memperhatikan, ekspresinya sulit ditebak. Lalu perlahan ia tersenyum.
“Menarik… Raina, ya? Gue suka cara lo mikir.”
Dia memberi isyarat agar lelaki terikat itu diseret keluar.
“Mulai malam ini, lo bagian dari Nitro.”
Moira menunduk hormat singkat, lalu berbalik. Tapi di balik topeng prostetiknya, keringat dingin sudah membasahi leher.
⸻
Di markas mereka, Rio langsung salto kecil saking lega.
“Ya Tuhan, gue kira dia bakal ketauan! Tapi sumpah… gaya lo tadi bener-bener kayak mafia film!”
Bima ngakak. “Kalau gue yang disuruh, pasti udah kelar tuh orang!”
Gentha hanya duduk diam, menatap layar laptop. Rahangnya mengeras. “Dia berhasil. Tapi ini baru awal. Kalau terus-terusan dites kayak gini… topeng aja nggak cukup buat lindungin dia.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu di markas kecil mereka.
Bima sedang merakit sesuatu di meja—bom mini untuk pengalih perhatian. Reno duduk di sofa reyot, sibuk ngoding sambil menyeruput kopi sachet kapal api.
Tiba-tiba, Reno berhenti mengetik. Matanya kosong beberapa detik, lalu dia bersuara pelan.
“Lo sadar nggak, Bim… selama ini Gentha terlalu kalem.”
Bima mengangkat alis. “Kalem? Orang tiap ketemu Moira aja ngotot, kadang kayak bocah cemburuan. Apanya yang kalem?”
Reno menutup laptopnya, menatap serius. “Itu justru kalemnya, Bim. Lo nggak tahu sisi aslinya Gentha. Sisi yang… selama ini tertidur.”
Bima meletakkan obeng, ekspresinya berubah. “Lo ngomong apaan, Ren?”
Reno menghela napas. “Dulu, sebelum kita sering nongkrong bareng, gue pernah lihat sendiri. Gentha itu punya… sisi iblis. Kalau dia bangun, dia jadi orang lain. Bukan lagi cowok sok kocak yang lo kenal. Lebih ke mesin penghancur—dingin, kejam, dan nggak peduli apa pun kecuali tujuan.”
Bima terdiam, merinding sedikit. “Serius lo? Gue pikir lo suka lebay doang kalau cerita.”
Reno menatap ke arah pintu, seolah memastikan Gentha nggak nguping. “Gue serius, Bim. Selama ini mungkin dia bisa nahan karena ada Hanabi… atau sekarang, Moira. Tapi kalau ada sesuatu yang bikin dia kehilangan orang yang dia sayang lagi…”
Dia berhenti sejenak, suaranya merendah.
“Gue takut, iblis itu bangun lagi.”
Bima menyandarkan tubuhnya, mencoba menertawakan. “Kalau emang bener kayak yang lo bilang… ya berarti kita semua harus siap kalau neraka kebuka, kan?”
Reno tersenyum tipis, tapi jelas bukan senyum senang. “Gue cuma berharap hari itu nggak pernah datang, Bim. Karena kalau Gentha udah berubah… bukan cuma Nitro yang ancur. Kita juga bisa kebawa susah nanganin Gentha jadi iblis.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/