Lyra tak pernah menyangka bahwa orang yang paling ia percayai telah mengkhianatinya sebulan sebelum pernikahannya.
Alih-alih membelanya, ibu tirinya justru memilih untuk menikahkan tunangannya dengan kakaknya sendiri dan menjodohkannya dengan Adrian— seorang pria yang tak pernah ia tahu.
Namun, di tengah huru hara itu Adrian justru menawarkan padanya sebuah kontrak pernikahan yang menguntungkan keduanya. Apakah Lyra dan Adrian akan selamanya terjebak dalam kontrak pernikahan itu? Atau salah satunya akan luluh dan melanggar kontrak yang telah mereka setujui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rheaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Lyra mencoba mengabaikan semua bisikan-bisikan itu dan melangkah cepat menuju ke mejanya. Tangannya merogoh isi tas, mencari sebuah flashdisk dan mencoloknya pada perangkat keras di hadapannya.
"Lyra, aku tidak menyangka kau wanita yang seberani itu," celetuk Tasya, bibirnya melengkung samar dengan tangan yang menopang dagunya.
Dahi Lyra mengerut, matanya sekilas menyapu setiap sudut ruangan yang dulunya ramai kini telah lenggang. Tangan kanannya terus bergerak, menggeser mouse perlahan. "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud," ucapnya dibarengi dengan suara klik dari mouse yang ditekan.
"Jangan berlagak polos, Lyra. Kau baru saja menikah, kan? Tapi aku tidak mengerti, kenapa kau masih mendekati atasan kita yang merupakan pria paruh baya. Apa ini semua demi proyek itu?" ucap Tasya seraya menggoyang-goyangkan kakinya yang menyilang.
"Kau salah bes—"
"Tidak usah mengelak, Lyra. Aku banyak menjumpai orang-orang sepertimu di luaran sana."
Rahang Lyra seketika mengencang, seluruh orang yang ada dalam ruangan memperhatikan keduanya. Seolah sedang menunggu jawaban dari rumor yang beredar.
"Jika kau minta maaf sekarang, aku akan memaafkanmu, Tasya," ucap Lyra, tangannya terulur menarik flashdisk yang menancap pada mesin komputer.
Tasya terkekeh, "Untuk apa? Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang salah," tanyanya sambil menyilangkan kedua tangannya.
Di sisi lain, Adrian yang ada di dalam mobil melirik jam yang ada di tangannya. "Hhh ... sepertinya ada sesuatu yang terjadi," batin pria itu lalu mendorong pintu mobil dan keluar.
Ia melangkahkan kakinya yang jenjang menyusuri lobi yang mulai sunyi. "Dimana ruang kerjanya?" pikirnya bertanya-tanya, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan berusaha mencari petunjuk lokasi ruang kerja.
Pria itu sedikit berlari, masuk ke dalam lift dan menekan tombol tertentu. Keringat mengucur di keningnya, namun segera di seka dengan lengan jas abu-abu yang ia kenakan.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Siapa?" terdengar suara Pak Satria dari dalam ruangan.
"Ini aku, Adrian, Pah."
Tak lama derap langkah samar-samar mendekati pintu. "Adrian? Apa yang terjadi, Nak? Sedikit lagi pukul 8, kau akan terlambat ke kantor," ucap Pak Satria.
"Tadi Lyra minta tolong padaku untuk mengantarnya kemari. Katanya ada yang harus ia ambil di komputernya," jawab Adrian dengan napas yang memburu.
"Lyra? Ah baiklah, papa akan mengantarmu ke sana," ucap Pak Satria lalu berjalan lebih dulu. Adrian mengekorinya di belakang.
Setelah beberapa menit berjalan, keduanya tiba di depan sebuah pintu yang terhubung dengan ruang kerja. Adrian mengulurkan tangannya, mencoba meraih gagang pintu namun dibuat terhenti oleh suara Lyra yang terdengar samar-samar dari dalam.
"Ada beberapa hal yang perlu kau tahu, Tasya. Yang pertama, aku tidak akan pernah menjatuhkan harga diriku hanya untuk sebuah proyek yang nilainya tidak seberapa. Kedua, aku punya suami dan aku sangat mencintai suamiku. Ketiga, orang yang kau curigai sebagai kekasih gelapku adalah ayahku sendiri, Keparat!" jelas Lyra tangannya mengepal, dadanya naik turun seolah berusaha menahan gejolak amarah di dadanya.
Ruangan seketika menjadi hening, beberapa orang saling melempar pandangan.
Krieeet
Derit pintu terbuka membuat seluruh pandangan tertuju pada dua pria yang ada di ambang pintu.
"Adrian? Maaf sudah membuatmu menunggu," ucap Lyra lalu memperbaiki tali tasnya yang turun. Sebelum beranjak dari tempatnya, Lyra mengedip lambat, bola matanya berkilap tajam seolah ada sebilah pisau di dalamnya yang tengah mengiris harga diri Tasya.
Pak Satria menyipitkan kedua matanya, "Apa yang kalian ributkan pagi-pagi begini?" tanyanya seraya menatap wajah bawahannya satu persatu.
Tasya menelan kasar ludahnya, jantungnya berdebar dengan sangat kencang seperti ada bom waktu yang sebentar lagi akan meledak. "Gawat ... apa yang harus kulakukan?" batin wanita itu, keringat sebesar biji jagung mulai timbul di pelipisnya.
Beberapa pasang mata memandang ke arahnya, membuat Tasya memalingkan wajah. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Wanita berambut pendek itu hanya mampu menunduk seraya menutup matanya erat-erat.
"Pak?" celetuk seorang pria, sontak hal itu membuat matanya terbuka lebar.