Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Pagi itu Raisa terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara berdering tak berhenti dari ponselnya. Dina menelepon, berulang kali.
Dengan malas, ia menggeser layar. “Din, pagi-pagi banget—”
“Rai, buka Twitter. Sekarang.”
Suara Dina yang biasanya ceria kini panik.
Jantung Raisa langsung terjun ke perut. Dengan tangan gemetar, ia membuka media sosial.
Dan di sanalah: foto dirinya dan Ardan di balkon apartemen. Ia mengenakan hoodie besar Ardan, rambut acak-acakan, sedang bersandar di pelukan pria itu.
Bukan foto biasa.
Foto itu… terlalu intim.
“Mahasiswi cantik simpanan pengusaha terkenal? Bukti baru beredar!”
“Ardan Pratama akhirnya kepergok memamerkan mainan barunya?”
Judul-judul itu memenuhi linimasa. Komentar netizen? Lebih kejam dari sebelumnya.
Raisa menjatuhkan ponsel. Tangannya gemetar. Perutnya mual.
Ini… sudah kelewatan.
Pintu kamar terbuka. Ardan masuk, masih mengenakan kaus hitam dan celana rumah, rambut sedikit basah—baru saja mandi. Tapi wajahnya… serius sekali.
“Kamu udah lihat?”
Raisa menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Om… foto itu… mereka…”
Ardan mendekat, duduk di tepi ranjang, menggenggam wajahnya. “Raisa. Dengar aku.”
“Tapi Om—”
“Dengar aku.” Suaranya tegas, tapi lembut.
Raisa terdiam.
“Kalau dunia mau ribut, biar mereka ribut di depanku. Kamu nggak perlu ngadepin mereka sendirian.”
Raisa menatapnya, bingung. “Maksud Om… apa?”
Ardan berdiri, mengambil ponselnya, lalu menekan beberapa nomor. “Maksudku… aku capek sembunyi-sembunyi. Kalau mereka mau tahu siapa kamu buatku, ya sudah—aku kasih tahu. Di depan semua orang.”
“Om… jangan—”
Ardan menoleh, menatapnya dengan tatapan yang membuat Raisa tak bisa bicara lagi. “Kalau aku diam, kamu akan terus diserang. Kalau aku bicara, setidaknya kamu berdiri di sampingku. Dan mereka tahu: kamu milikku.”
Kata-kata itu menghantam Raisa. Milikku.
Siangnya, dunia gempar.
Media mengumumkan: Ardan Pratama akan menghadiri acara peresmian kerja sama perusahaan besar malam ini. Biasanya, itu acara bisnis formal. Tapi rumor beredar: ia akan membawa “seseorang”.
Raisa berdiri di depan cermin, mengenakan gaun hitam sederhana yang dipilih Ardan. Rambutnya diikat setengah, makeup tipis. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri.
“Om… aku yakin aku nggak cocok untuk ini.”
Ardan yang berdiri di belakangnya, mengenakan setelan jas gelap, hanya meletakkan tangannya di pundaknya. “Kamu nggak perlu cocok sama dunia mereka. Kamu cuma perlu cocok sama aku.”
Di ballroom hotel mewah, semua mata tertuju pada mereka saat masuk.
Bisik-bisik mulai terdengar. “Itu dia? Mahasiswi itu?” “Ya ampun, cantik banget… tapi dia masih muda banget.” “Apa yang dia punya sampai Ardan segitunya?”
Raisa meremas jemari Ardan, gugup.
Ardan menoleh, berbisik, “Pegang tanganku. Jangan lepas.”
Acara berjalan formal. Hingga Ardan maju ke podium, menarik perhatian semua orang.
“Terima kasih sudah datang,” ucapnya. Suaranya dalam, mantap. “Tapi sebelum saya bicara soal kerja sama ini… ada hal lain yang ingin saya sampaikan.”
Ruangan hening.
Ardan melirik ke arah Raisa. “Banyak gosip beredar tentang saya. Tentang siapa yang ada di samping saya. Jadi, biar saya yang luruskan.”
Ia mengulurkan tangan ke arah Raisa. Semua mata mengikuti gerakannya.
Raisa gemetar. Ia tahu ini gila. Tapi ia melangkah maju.
Ardan menggenggam tangannya di depan semua orang. “Perkenalkan. Ini Raisa. Dia bukan gosip. Dia bukan simpanan. Dia wanita yang saya cintai.”
Bisik-bisik langsung meledak. Kamera berkilat. Tapi Ardan tetap berdiri tegak, menatap mereka semua.
“Kalau ada yang mau komentar, silakan. Tapi ingat—apa pun yang kalian katakan tentang dia, kalian bicara tentang saya juga.”
Raisa hampir tak bisa bernapas. Ia menatap Ardan. Pria ini… benar-benar siap melawan dunia untuknya.
Malam itu, setelah acara selesai, mereka duduk berdua di mobil.
“Om…” Raisa berbisik.
“Ya?”
“Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi… terima kasih. Karena… Om nggak biarin aku sendirian.”
Ardan menoleh, menatapnya lama, lalu mendekat.
“Terima kasihnya nanti aja.”
Dan tanpa memberi Raisa waktu menjawab, Ardan menariknya ke dalam ciuman—lebih dalam, lebih intens dari yang pernah mereka lakukan.
Raisa memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam.
Kali ini, bukan sekadar pelarian. Ini pengakuan.
Ketika mereka berpisah, napas Raisa terengah. “Om…”
Ardan menyentuh bibirnya dengan ibu jarinya, menatapnya dengan mata yang berkilat. “Kamu… rumahku, Rai. Dan aku nggak akan biarkan siapa pun mengusir kamu dari sini.”
Malam itu, Raisa tahu—hubungan mereka baru saja melangkah ke titik tanpa jalan kembali.
*
Dunia tak berhenti bicara tentang mereka.
Deklarasi Ardan di depan publik semalam menjadi topik utama semua media. Televisi menayangkan ulang pidatonya, portal berita membuat artikel panjang, media sosial memecah ke dalam dua kubu: mereka yang mengagumi keberanian Ardan, dan mereka yang menertawakan Raisa sebagai “mahasiswi ambisius yang berhasil menggaet pengusaha kaya”.
“Beda umur segitu nggak wajar. Bapak-bapak haus muda.”
“Anaknya aja seumuran. Jijik banget.”
“Kasihan Nayla, punya ayah yang malu-maluin.”
Komentar-komentar itu terus muncul di ponsel Raisa, bahkan ketika ia mencoba menghindar.
Ardan melarangnya membuka media sosial, tapi Raisa diam-diam tetap melakukannya. Dan itu… membuat hatinya perlahan hancur.
Sore itu, Raisa duduk di ruang tamu apartemen Ardan, menatap kosong televisi yang menyala tanpa suara. Ardan sedang rapat di kantornya, jadi ia sendirian.
Bel pintu berbunyi.
Dengan malas, Raisa bangkit dan membuka pintu.
Nayla berdiri di sana.
“Boleh masuk?” suara Nayla datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
Raisa mengangguk, menyingkir.
Mereka duduk berhadapan di sofa. Hening cukup lama sebelum Nayla memulai.
“Kemarin… aku lihat Papa bawa kamu di acara besar itu. Di depan semua orang.”
Raisa menunduk. “Iya. Aku juga nggak nyangka dia bakal ngelakuin itu.”
Nayla menatapnya, lama. “Kamu tahu, kan? Dia nggak pernah lakuin itu buat siapa pun. Bahkan buat Mama.”
Raisa mendongak, sedikit terkejut. “Maksud kamu?”
Nayla menghela napas panjang. “Mama… dulu ninggalin Papa karena dia terlalu sibuk kerja. Dia nggak pernah benar-benar ada buat kami. Dan sekarang… aku lihat dia bisa berdiri segitu beraninya buat kamu. Aku… nggak tahu harus gimana.”
Nada suaranya mulai bergetar. Raisa baru sadar—kemarahan Nayla selama ini… bukan sekadar karena hubungan mereka. Tapi karena luka lamanya sendiri.
“Nayla…” Raisa pelan-pelan mendekat. “Aku nggak pernah mau ambil Papa kamu dari siapa pun. Termasuk kamu. Aku… cuma jatuh cinta sama dia. Dan aku tahu itu salah di mata banyak orang. Tapi aku nggak pernah mau bikin kamu ngerasa ditinggalin.”
Air mata jatuh di pipi Nayla. Ia buru-buru menghapusnya, mencoba menjaga wibawa. “Aku benci kamu.”
Raisa mengangguk. “Aku tahu.”
“Tapi aku juga… benci karena aku ngerti kenapa Papa milih kamu. Kamu… ada di sana buat dia. Sesuatu yang dulu nggak pernah Mama bisa kasih.”
Hening panjang.
Raisa menatap Nayla, merasakan berat luka gadis itu. “Kalau kamu mau aku pergi… aku bisa.”
Nayla menoleh, cepat. “Jangan.”
Raisa terkejut.
“Aku… nggak suka kamu. Tapi… aku lihat Papa. Dia cuma hidup beneran kalau kamu ada. Kalau kamu pergi… aku nggak tahu dia bakal jadi apa.”
Kata-kata itu menusuk Raisa. Bukan karena kejam—tapi karena jujur.
Malamnya, Ardan pulang. Ia mendapati Raisa duduk di balkon, menatap lampu-lampu kota.
“Kenapa bengong?” tanyanya sambil melepas jas.
Raisa menoleh, tersenyum tipis. “Om… kenapa aku?”
Ardan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Kenapa… dari semua orang di dunia, Om pilih aku? Bahkan ketika semua orang melawan kita?”
Ardan mendekat, duduk di sebelahnya. “Karena kamu… satu-satunya orang yang bikin aku inget rasanya pulang. Sesederhana itu.”
Raisa menunduk. “Tapi Om tahu, kan? Dunia nggak akan berhenti ngehujat kita.”
Ardan memegang dagunya, membuatnya menatapnya. “Kalau mereka nggak berhenti, biar aku yang berhentiin. Kamu cuma perlu tetap di sini.”
Raisa memejamkan mata. “Om… kalau aku bilang aku takut?”
Ardan menunduk, mencium keningnya lama. “Kalau kamu takut, pegang aku. Aku nggak akan ke mana-mana.”
Ia mendongak, dan di sanalah bibir mereka bertemu.
Tidak seperti sebelumnya. Lebih lambat. Lebih dalam.
Ardan mencium Raisa seolah mencoba menyalurkan semua keyakinannya padanya. Jari-jarinya menelusuri pipi dan tengkuknya, membuat Raisa merasa aman dalam genggaman itu.
Raisa membalas, kali ini tanpa ragu. Tidak ada dunia luar, tidak ada komentar orang. Hanya mereka berdua.
Ketika mereka berpisah, Ardan menatapnya dengan senyum kecil. “Lihat? Dunia nggak bisa ngalahin kita kalau kita di sisi yang sama.”
Raisa mengangguk, air mata jatuh tanpa ia sadari. “Aku… nggak akan ke mana-mana, Om.”
Dan untuk pertama kali, Raisa benar-benar percaya pada kata-kata itu.