KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 16
MEMIKIRKANNYA
"Kenapa sih gue sekarang? Kenapa gue jadi merasa bersalah? Kenapa gue harus memikirkan dia?" Farel bertanya-tanya dalam hatinya sambil memegang tempat makan milik Desti. Rasanya dia masih enggan untuk memisahkan dirinya pada Nifa. "Kenapa dia harus hadir di kehidupan gue sih?"
"Tert, tert, tert," suara telepon bergetar. Farel mengangkat teleponnya yang entah siapa itu.
"Halo," sapa penelepon.
"Halo," jawab Farel membalas sapaan dari seberang.
"Di mana?" tanya orang dari handphone seberang.
"Baiklah," Farel pun segera bergegas keluar dari rumah. Rasanya dia sangat senang karena harus bertemu dengan Silvi, orang yang dia suka sampai kini.
"Hai, Sil," sapa Farel.
"Hai," balas Silvi.
"Kita mau ngapain?" tanya Farel bingung. Ternyata yang menelepon Farel adalah Silvi.
"Kita mau happy-happy, Rel, gua bosan di rumah saja," ujar Silvi menjawab.
"Sama nih," balas Farel.
"Kita ke pantai saja, ya," ajak Silvi memberi ide.
"Malam-malam begini?" tanya Farel memastikan hal itu.
"Yah," Farel dan Silvi pun ke pantai berdua. Terlihat kesejukan di pantai tersebut.
"Dingin, ya," ujar Silvi sembari menatap langit yang dipenuhi bintang.
"Lumayan," ujar Farel, sembari melepas jaket kulit hitamnya dan memberinya ke Silvi sambil membekapnya.
"Gue rindu, Rel, saat masa SMP kita," ujar Silvi menatap Farel yang sedang membekapnya. Hei, bukannya Silvi pacaran sama Rendi?
"Sama, Sil," ujar Farel yang juga rindu ke Silvi. "Gue pengin dekat sama lo lagi," ujar Farel to the point.
"Gue juga, tapi gue enggak bisa lepaskan Rendi," ujar Silvi menjawab.
"Kenapa, Sil?" tanya Farel tidak habis pikir. Apa kurangnya Farel, apalagi disandingkan dengan Rendi.
"Soalnya dia bermanfaat bagi gue, Rel," ujar Silvi jujur.
"Maksud lo, Sil?" tanya Farel yang bingung maksud gadis yang sedang dia bekap dengan lembut itu.
"Banyak deh yang enggak bisa gue ceritakan ke lo, Rel," ujar Silvi bohong. Halah, bukan Silvi enggak bisa cerita, memang Silvinya saja yang jahat.
"Kenapa sih lo enggak berubah, kenapa lo harus memanfaatkan orang?" tanya Farel yang sadar dengan sikap buruk Silvi. Walaupun begitu, Farel tetap sayang? Wah, ternyata Farel selain setia, dia juga bodoh. Sama seperti Hanifa juga ternyata.
"Karena kehidupan yang mengajari gue, Rel," ujar Silvi jujur.
"Kesal rasanya mengingat semua tentang yang dulu, di mana gue yang dimanfaatin lo, Sil," batin pria itu. "Sil, lo enggak ada niat untuk mengubah sifat lo yang seperti ini?" ujar Farel sembari menatap mata gadis itu dengan lekat, begitu juga Silvi.
"Entahlah, Rel, gue menyesal lepaskan lo, Rel," ujarnya lagi jujur. Bukannya menjawab malah menyatakan rasa penyesalannya.
"Sil, alasan gue pindah sekolah hanya satu, yaitu gue ingin dekat sama lo," ujar Farel jujur. Dia ingin Silvi sadar betapa besarnya cinta yang ada di dalam hati Farel.
"Maaf, Rel, gue belum bisa, gue masih butuh Rendi di kehidupan gue," ujar Silvi tetap kekeh menolak Farel. Wah, sebesar apa perbuatan Rendi sampai dia susah melepaskannya?
"Apa sih lebihnya dia dari gue, Sil?" ujar Farel menggerutu.
"Dia lebih kaya dari lo, Rel, dan dia lebih pengertian," ujar Silvi. Yah, memang keluarga Silvi matre.
"Jadi itu yang lo incar?" tanya Farel pada Silvi. Silvi tidak tahu saja kalau perusahaan Farel sudah jauh membaik. Bahkan Farel pemilik sekolah yang dia juga sebagai murid di situ.
"Bagi gue kesenangan itu saat gue dapat dibahagiakan dengan semua kemauan gue, Rel," ujar Silvi jujur. Farel mulai tidak habis pikir dengan pola pikir Silvi.
"Loh salah, Sil, bukan kemauan lo yang dituruti makanya lo senang, tapi kedamaian, ketenangan, dan kenyamanan yang lo rasa itu lebih dari cukup, Sil," ujar Farel menceramahi Silvi. Tapi yah, memang Silvi batu, dan pemberontak.
"Itu bagimu, Rel, bukan bagiku," ujar Silvi dengan tegas.
"Lo sudah dewasa, please lo itu berpikir dewasa," ujar Farel yang ingin menyadarkan gadis di hadapannya.
"Diammmmm!" teriak Silvi kesal.
"Gue cuma mau lindungi lo," Farel pun memeluknya dan memberinya kehangatan. Silvi yang hanya bisa menangis dan bingung dengan sikapnya.
"Apa seperti ini yang selalu dirasakan Nifa, saat aku menolaknya berkali-kali? Nif, gue jahat banget ya sama lo? Maafin gue, Nif, yang belum bisa menerima lo apa adanya, bahkan enggak bisa mengerti lo sedikit pun, tapi jujur gue kesepian tanpa lo, Nif," batin Farel lirih. Gila, dia memeluk Silvi tapi memikirkan Hanifa.
Sakit yang lo rasakan belum sesakit yang dirasakan Nifa, Rel. Lo enggak tahu bagaimana terpuruknya Nifa saat lo bersama cewek lain. Lo enggak tahu betapa sakitnya Nifa saat lo caci dia. Tapi dia selalu beri senyuman untuk lo, walau senyuman itu banyak luka yang dalam, namun sedikit pun dia enggak pernah menunjukkannya ke lo, Rel.
KEPOIN DIA
"Des, ini lo kasih, ya, makasih," ujar Hanifa menitip makanannya kepada Desti.
"Sama-sama," ucap Desti dengan nada yang sangat lembut.
"Bodoh lo, Nif. Lo beri gue lampu hijau untuk dekati Farel," batin Desti dengan licik.
"Nif, lo enggak ke kelas Farel, ngasih dia bekal gitu?" tanya Sarah pada Hanifa. Hanifa menggelengkan kepalanya dan mengatakan, "Enggak, gue enggak mau ngasih apa-apa," ujarnya berbohong.
"Tumben," ujar Sarah bingung. Kesambet apa sahabatnya ini? Nifa tidak berniat menjawab. Mereka pun ke kantin.
"Mang, baksonya dua," pesan Nifa pada Mang Bakso. Yah, Hanifa mulai jajan normal lagi, karena dia sudah pesimis untuk bisa menjadi pacar Farel. Dia memilih untuk menghabiskan uangnya karena perayaan ulang tahun Farel itu hanya khayalannya dulu.
"Nif, lo enggak cemburu lihat Desti sama Farel?" tanya Sarah pada Hanifa. Desti terlihat memberi makanan dan minuman itu ke Farel, dan yup, bahkan Farel memakannya di kantin. Dia enggak malu tuh.
"Lumayan sih," ujar Hanifa jujur ke Sarah, namun dia memilih tidak bertindak apa-apa. Toh juga dia yang menyuruh Desti.
"Tumben, Nif, lo enggak ngasih Farel bekal dan tumben lo setenang ini?" ujar Sarah lagi-lagi dengan heran. Hanifa hanya menggelengkan kepalanya. Lagi banyak masalah yang dihadapinya, jadi dia tidak menghabiskan energinya.
"Kan sudah ada yang ngasih," ucap Nifa dengan senang, tentu dia senang karena akhirnya dia melihat Farel memakan masakan miliknya, walau dia tidak tahu. Tapi di balik senyumannya juga hatinya teriris. Kenapa harus orang lain? Sejijik itukah dia ke Hanifa?
"Lo enggak ada niat buat lebih gencar dekati Farel? Lima hari lagi loh?" tanya Sarah menyemangati Hanifa. Dia senang melihat Hanifa enggak sealay dulu mengejar Farel. Namun dia juga sedih melihat Hanifa enggak seceria dulu.
"Gue tetap kok gencar untuk meluluhkan Farel, gue enggak bakalan menyerah, tapi gue enggak mau menggenggamnya semakin kuat, karena sebuah telur yang digenggam kuat akan pecah," ujarnya dengan kiasan kata yang penuh arti.
"Terus lo mau bagaimana?" tanya Sarah memastikan strategi sahabatnya itu. Hanifa tiba-tiba mendekat ke Farel. Entah apa yang dipikirkan gadis ini tiba-tiba.
"Entahlah, gue bingung harus bagaimana ke lo, Rel, ajari gue buat lo luluh pada gue," ujar Hanifa di hadapan Farel.
"Lo pergi menjauh dari gue, karena lo itu bukan tipe gue, culun," ucap Farel hingga membuat Desti mendengarnya langsung tersenyum puas. Begitu juga teman-teman yang ada di kantin, namun banyak juga yang tidak berani menertawakannya, karena dia merupakan ketua OSIS.
"Lo jahat banget sih sama Nifa," gerutu Sarah yang gemas mendengar kata-kata pria yang sok oke itu.
"Kalau menjauh dari lo kayaknya susah deh, Rel," ucap Nifa yang tersenyum. Mungkin hanya Sarah yang tahu bahwa senyuman Nifa adalah senyuman kepedihan, senyum keterlukaan.
Istirahat tiba, wajah Nifa yang biasanya ceria kini semuanya hilang, dia hanya ingin diam di dalam kelas. Di dalam keterpurukannya hanya ada Sarah yang mau menemani dia.
"Nif, lo kenapa sih?" tanya Sarah yang semakin sedih melihat sahabatnya.
"Menurut lo Farel suka sama Desti enggak?" tanya Hanifa sedih.
"Hmmm, menurut gue sih enggak," ujar Sarah asal-asalan.
"Kenapa menurut lo kayak gitu? Lo enggak lihat mereka berdua dekat banget, bahkan dia ngasih sebuah perhatian yang dalam," ujar Hanifa memberi sudut pandangnya.
"Lo salah, Nif, Farel bukan suka sama Desti melainkan adik tiri lo sendiri," ujar Sarah keceplosan, dia tahu dari Agung dan menurut Sarah, Hanifa harus tahu hal ini.
"Maksud lo, Silvi?" tanya Hanifa enggak percaya.
"Hmm, Agung yang menceritakan semuanya, dia bilang kalau dia, Silvi, Revan dan Farel satu SMP, dan Farel itu mantan Silvi," ujar Sarah menjelaskan.
"Kenapa Silvi yang selalu sempurna di depan orang-orang? Kenapa saingan gue harus Silvi? Kenapa juga gue harus jadi kakak tiri dia sih?" ujar Hanifa kesal dan merasa dunia enggak pernah berpihak ke dia.
"Gue tahu rasanya seperti lo, tapi gue yakin semuanya ada hikmahnya, Nif, menurut gue lo itu lebih cantik dari Silvi, mungkin luar lo saja kalah sama Silvi, tapi dalamnya masih lo, Nif, hati lo tulus," ujar Sarah memuji sahabatnya itu.
Percuma hati gue baik, tapi laki-laki itu melihatnya fisik. Gue benci mereka. Yah, Tuhan kuatkanlah hamba-Mu untuk menghadapi semuanya ini, beri hamba-Mu satu kebahagiaan yang ada, ya Tuhan. Yang kuinginkan hanyalah bahagia. Mah, Kak, Nifa rindu kalian berdua. Nifa capek kayak gini terus, kenapa kalian tinggalkan Nifa secepat ini, Nifa kesepian, Mah, Kak. Nifa rasa Nifa lemah saat ini, Nifa baru merasakan yang seperti ini, Mah, Nifa enggak pernah berpikir akan seperti ini untuk saat ini. Tapi yang Nifa tahu Nifa sayang kalian.
"Nif, mendingan lo move on saja ya," ucap Sarah yang memberi saran, walau gadis itu tahu bahwa sahabatnya itu tidak akan memperdulikan perkataannya, namun dia selalu mencoba, dia yakin bahwa Nifa akan mundur secara perlahan-lahan. Sarah sangat berharap akan hal itu terjadi. Akan hal yang selalu dinanti-nanti Sarah. Sarah terlalu muak melihat sahabatnya disakiti. Saatnya Sarah mengubah sifat sahabatnya itu, agar tidak seorang pun yang dapat menghinanya sedikit pun itu, tidak akan pernah.
Cemburu
"Gung, sesuai janji gue buat lo sebuah jus segar," ucap Nifa tersenyum alay dan memberikan jus itu ke Agung. Yah, seperti biasanya jam istirahat mereka akan berkumpul di ruang OSIS, tapi ini bagi yang mau saja sih.
"Hmm, makasih ya, oh iya nanti kita rapat tentang malam akhir tahun ini kan?" tanya Agung mengingatkan program kerja mereka. Hanifa tersenyum.
"Iya, gue sebagai ketua OSIS akan membuat malam akhir tahun kita di sekolah ini lebih baik dari dulu-dulu," ujar Hanifa tersenyum alay dan mendeklarasikan keinginannya dengan suara alaynya.
"Lo semangat banget sih, Nif," ujar Agung senang. Akhirnya dia melihat Hanifa ceria lagi.
"Bukan gue semangat, tapi gue menyenangi tugas gue, soalnya kata mama gue, kalau semua pekerjaan disenangi maka hasilnya akan memuaskan," ujar Hanifa tersenyum.
"Lo gemasin deh, Nif," ujar Agung semakin gemas ke Hanifa.
"Gemasin-gemasin gini, tetap saja Farel enggak mau sama gue," ujar Hanifa tertawa. Entahlah, tawa gadis ini adalah tawa yang menyepelekan masalahnya itu.
"Yang sabar ya, Nifa, semuanya akan berharga kok kalau dia sudah merasa kehilangan," ujar Agung pada Hanifa.
"Gung, gue mau ucapkan makasih sama lo ya, soalnya lo sudah baik sama gue," ujar Hanifa dengan lembut dan menatap wajah Agung dengan lekat.
"Iya, sama-sama, sesama manusia kan harus saling menghibur," ujar Agung sok iya. Hahahaha.
"Setahu gue sih, sesama manusia itu sesama membantu, bukan sesama menghibur deh," ucap Nifa bingung dan menelaah ucapan Agung.
"Menghibur kan membantu juga, heheheh," ujar Agung yang enggak mau kalah.
"Membantu? Maksudnya?" tanya Hanifa tertawa sambil menatap gemas ke arah Agung.
"Iya, menghibur itu membantu, contohnya lo ada masalah, terus gue bantu, jadi gue bantu lo tersenyum lagi," ucap Agung tertawa, begitu juga Nifa yang tertawa sangat lepas. Ternyata Agung juga bisa seasik itu, gengs.
Farel yang melihatnya diam-diam dari jauh merasa teriris hatinya. "Baru kali ini gue lihat lo tersenyum selepas ini, maaf gue belum bisa hargai perbuatan lo, dan maaf gue sudah buat lo terluka, bukan hanya fisik lo yang gue lukai tapi hati lo juga, gue bukan cowok yang pantas buat lo, Nif, lo terlalu baik buat gue, tapi gue enggak mengizinkan lo dekat sama yang lain, maafin gue yang egois, Nif," ucap Farel lirih.
Cemburu
"Nif, waktu lo tinggal tiga hari lagi, lo yakin mau tetap pertahankan gue?" ujar Farel yang menemui Hanifa di ruang OSIS. Melihat itu, Agung memilih keluar dari ruangan itu. Mereka pun hanya berdua di ruangan itu.
"Hmmm, mungkin gue masih berharap sama lo, Rel," ujar Hanifa dengan wajah yang tulus.
"Tapi kenapa lo berubah sekarang, Nif, sifat lo enggak kayak dulu lagi," ujar Farel ke Nifa. Kenapa Farel begini?
"Gue tetap gue, Rel, gue enggak berubah kok, gue masih tetap gue yang dulu," ujar Hanifa memberi sudut pandangnya tentang dirinya sendiri.
"Nif, maaf ya kalau gue belum bisa menerima lo, tapi di hari ini gue mau ukir hari kebersamaan kita," ujar Farel ke Hanifa. Apa maksud laki-laki ini? Apakah dia menerima Hanifa?
"Maksud lo?" tanya Nifa yang merasa bingung hingga kedua alisnya itu tertekuk sempurna.
"Iya, gue mau ngajak lo jalan-jalan, anggap ini sebagai permintaan maafan gue ke lo, Nif," ucap Farel dengan lembut. Hanifa yang sudah berharap kalau Farel itu menerimanya kini harapan itu pupus. Bukan Farel mau nembak atau mengajak jadian Hanifa, melainkan menyuruh Hanifa untuk menutup akhir ini dengan manis. Sebosan itukah Farel ke Hanifa? Tapi walaupun begitu Hanifa sudah sangat senang, setidaknya ada satu hari bisa mengukir hal yang indah bersama Farel.
"Lo yakin mau ngajak gue, Rel? Lo enggak bercanda kan sama gue?" Nifa yang tiba-tiba semangat kembali dan melengkungkan bibirnya sempurna. Sebuah senyuman yang sangat dirindukan Farel, dan suara girang dari Nifa. Hati Farel sangat senang melihat Nifa saat ini. Baru kali ini dia merasakan kerinduan yang sangat berat pada seseorang, selain Silvi. Dulu hanya Silvi lah yang dapat membuat Farel rindu.
"Iya, gue serius dan gue yakin kok," ucap Farel meyakinkan.
"Makasih banget ya, Rel, lo baik banget ah," ucap Nifa tersenyum.
"Sar, Sar, Saraaaaa!" teriak Nifa yang sangat berbunga-bunga.
"Lo kenapa sih, Nifa, malu tahu dilihat sama teman-teman sekelas," ucap Sarah pada Nifa.
"Mereka kan sudah terbiasa sama suara gue," ucap Nifa membela dirinya.
"Oh iya, Nif, gue mau ingatkan lo, bahwa kita bakalan ada rapat OSIS nanti, lo ketua, jangan sampai lupa," ucap Sarah mengingatkan sahabatnya itu.
"Yah, gue ingat kok, soal itu nanti kita bahas, gue mau bilang sama lo bahwa gue sama Farel bakalan mengukir hari kebersamaan nanti siang."
"Enggak usah terlalu berharap deh, Nif, berapa kali gue bilang lo itu harus bisa bangun, Nif, dari mimpi lo yang sudah kejauhan itu," ucap Sarah enggak percaya.
"Gue enggak mimpi kok, Sar, kalau enggak percaya lihat saja nanti bahwa kami itu bakalan ukir hari kebersamaan kami," ucap Nifa meyakinkan Sarah.
"Terserah lo deh ah, pusing gue menghadapi lo."
"Ya sudah, Sar, gue pergi dulu ya, semoga kami sukses."
Hal yang ditunggu Nifa pun telah terjadi, yaitu pulang sekolah. Ops, hampir kelupaan bahwa Nifa tidak boleh pergi langsung bersama Farel, karena dia harus mengurus rapat OSIS. Haduh, Nifa Nifa, saking senangnya jadi lupa sama tugas.
"Baik, sekarang kita melakukan rapat OSIS, di sini saya sebagai ketua akan memulainya," ucap Nifa memulai rapat tersebut. Nifa sangat kelihatan dewasa saat ada rapat-rapat OSIS, berbeda dengan kesehariannya.
"Pertama kita mau acara apa, ada dua pilihan yang diberi ke kita, yang pertama yaitu tentang Makrab dan kedua tentang Makres," sambung Nifa berbicara dan mempersilakan anggota-anggotanya tentang apa-apa saja yang mereka sukai.
"Gue usul kita buat Makrab, biar makin akrab gitu, nah kita buat per kelas atau wakilnya menunjukkan hal-hal yang membuat mereka akrab, misalnya kelas X, kan mereka baru menjalani 6 bulan berteman, nah apa-apa saja yang membuat mereka bisa jadi akrab, mereka akan dapat menunjukkan hal-hal apa saja, dan itu akan menjadi tontonan kita," usul Silvi dengan jelas dan padat. Yah, Hanifa mengakui Silvi sangat pemberani dalam menyampaikan usulannya.
"Baik, apa ada yang setuju, atau ada yang ingin memberikan saran?" tanya Nifa dengan tegas. Namun semuanya hanya diam, enggak ada yang setuju ataupun memberi saran.
"Baik, biar gue saja yang beri saran, dan kalian yang nilai," ucap Nifa pada anggota-anggotanya. Sungguh entah apa yang terjadi, mereka selalu mengabaikan jika semua ide diberi dari Silvi, mungkin mereka tidak menyukai kehadirannya itu. Dan yah, biasanya hanya Rendi yang menanggapi, namun kali ini Rendi tidak ada di sini.
"Ide yang diberi Silvi sangatlah menarik, namun saya hanya ingin mengatakan ide saya, biar kalian yang memilihnya. Jujur saya lebih suka acara Makres, karena kalau kita buat Makrab, tentu itu sudah biasa, tapi kalau kita buat Makres, di mana mereka akan berkreasi apa saja yang ada di ide mereka. Nah, kalau Makrab kan, dia hanya berkata keakraban mereka, tentu itu belum mencakup bagian kreasi mereka yang luas, tapi jika mereka dikatakan kreasi, mau bagaimana pun mereka berarti sudah akrab terlebih dahulu, memberi kekompakan," tukas Nifa dengan sangat baik dan sopan. Terlihat jelas wajah Silvi sangat emosi mendengar kata Nifa yang sok bijak menurutnya.
"Saya setuju dengan kata-kata Kak Nifa," ucap junior kelas X kepada orang-orang yang ada di situ, yang memecahkan keheningan.
"Coba beri satu alasannya, kenapa lo setuju dengan kata-kata Nifa?" tanya Sarah pada adik kelas tersebut. Sarah tahu bahwa pria itu menyukai Nifa.
"Yah, saya setuju karena yang gue tahu kalau kreasi, kita sudah mencakup semuanya, yaitu dari keakraban, dan kreasi atau ide-ide yang ada, sedangkan keakraban masih awal mula memperkenalkan diri kita pada orang-orang," jawabnya menjelaskan hal apa yang membuat dia setuju. Mendengarkan dia berbicara, semuanya memilih ide Nifa.