Niat hati ingin mengugurkan kandungannya, malah bertemu ayah janin yang ia kandung. Lusi Caisa Vanholand, CEO wanita muda yang menghabiskan malam dengan Gasan Samiel Pedros seorang dokter spesialis kandungan dan anak namun memilih tidak ingin mempertahankan hasil benih semalam yang mereka lakukan. Bagaimana Gasan memperlakukan pasiennya itu? Apakah dia mampu memaksa Lusi untuk mempertahankan calon anak mereka? Bagaimana sikap Lusi dengan pemaksaan yang akan dilakukan Gasan padanya? Dukung novel ini agar mendapatkan retensi terbaik dan masuk menjadi novel pilihan pembaca! Terima Kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SariRani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIKIRA PINGSAN
Saat jam pulang kantor, Sophie heran kenapa Lusi belum memanggilnya untuk menanyakan kelanjutan kerjasama tender.
Ya meskipun mereka bertengkar, Lusi tetap profesional bekerja. Sophie tidak berani langsung masuk jika mode bertengkar seperti ini jadi menunggu panggilan.
"Sudah jam pulang, kenapa Lusi tidak memanggilku?" lirih Sophie saat berberes barangnya persiapan pulang.
"Apa..apa terjadi sesuatu dengannya?" lanjutnya langsung panik dan berlari ke ruangan direktur di sebelahnya.
Ceklek.
Sophie melihat Lusi seperti tidak sadarkan diri di meja kerjanya. Ia langsung menghampirinya.
"Lusi..bangun..apa kamu baik baik saja?" panggilnya.
Namun belum ada sahutan.
"LU..BANGUN..!!" seru Sophie sambil mengoyang tubuh sahabatnya itu.
Berlahan Lusi membuka matanya dengan lemah dan mengangkat kepalanya.
"Kenapa kamu berteriak? Membangun kan ku saja" lirih Lusi dan Sophie malah memeluk bosnya itu.
"Aaah..aku kira kamu pingsan. Astaga Lusi, kamu bikin aku panik!" ucap Sophie dengan bernafas lega.
"Aku belum memaafkanku" lirih Lusi lagi.
"Tidak masalah. Aku tau kamu akan memaafkanku cepat atau lambat karena kita sudah bersahabat lama dan kamu tau apa yang kulakukan kepadamu ini bukan kesalahan" sahut Sophie.
"Syukurlah kamu baik baik saja" lanjutnya tetap memeluk Lusi.
Lusi pun tersentuh hatinya, merasa hangat dengan sikap sahabatnya itu. Meskipun ia masih marah tapi bisa merasakan ketulusan Sophie.
Pelukan terlepas dan mereka saling tatap.
"Wajahmu sangat pucat? Apa perlu aku antar ke rumah sakit?" tawar Sophie.
"Hmmm..tidak perlu..aku hanya lemas dan kelaparan sebenarnya" ujar Lusi jujur sambil memegang perutnya.
Seketika itu wajah panik Sophie berganti dengan senyuman. Wanita hamil itu berhasil membuat jantungnya berdebar.
"Tunggu aku, aku akan membelikanmu makanan. Mau makan apa?" tanya Sophie.
"Mau pizza mozarella dan pasta" jawab Lusi.
"Oke, akan aku pesankan online. Aku tidak bisa meninggalkanmu disini sendiri" ujar Sophie lalu duduk dihadapan sahabatnya itu sambil memesan makanan online melalui ponsel.
Diam diam Lusi tersenyum tipis sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Bagaimaba aku bisa marah dengannya jika dia sebaik ini sebagai sahabatku?" batinnya.
Saat Sophie sudah meletakkan ponsel di meja, fokusnya kembali menatap Lusi didepannya.
"Kenapa kamu tidak memanggilnya ku jika ingin membeli sesuatu? Aku sangat khawatir melihatmu seperti tadi dengan wajah pucat mu" ucap Sophie dengan ekspresi benar benar khawatir.
Lusi mengambil tumblernya di samping lalu meminum isinya.
Setelah itu ia baru berbicara.
"Karena aku masih marah padamu, Sop" sahut Lusi.
"Ya..tapi tindakan mu ini sangat berbahaya..bagimana jika kamu pingsan dan jatuh di lantai tanpa ada yang tau? Sangat berbahaya untuk wanita hamil muda jatuh" ucap Sophie.
Mendengar sahabatnya itu mengatakan kondisi kehamilannya, Lusi jadi mengingat bagaimana dia juga sangat perhatian dan peduli kepada sahabatnya itu ketika hamil bertahun tahun lalu.
Apa yang dilakukan Sophie kini sama sepertinya saat Sophie hamil sambil kuliah. Di jurusan yang sama, di kelas yang sama, Lusi sangat menjaga kehamilan Sophie.
Memperhatikan asupan makan dan sampai melarang Sophie kecapekan. Terkadang Lusi juga mengantar Sophie saat kontrol kehamilan ketika Arlo tidak bisa.
Dan sekarang, putra Sophie yang bernama Jaguar sangat menyayangi kehadiran Lusi jika bertemu. Mereka layaknya keluarga.
Lusi akhirnya senyum senyum sendiri mengingat memori itu. Sophie pun heran kenapa sahabatnya yang sedang marah jadi senyum melihatnya.
"Kenapa kamu senyum seperti itu, Lu? Katanya masih marah?" tanya Sophie.
"Hmmm..sepertinya aku tidak bisa lama lama marah dengan sahabatku sendiri" jawab Lusi dengan senyuman yang kali ini cukup lebar.
Langsung saja Sophie beranjak dari duduknya dan memeluk Lusi.
"TERIMA KASIH!!! AKU SANGAT SENANG MENDENGARNYA!" serunya bahagia.
Lusi membalas pelukan Sophie dengan erat.
"Ya aku memaafkanmu. Tapi awas kalau kamu jadi cepu lagi dengan alasan apapun aku tidak akan terima!" sahut Lusi.
Dan Sophie mengangguk sambil tetap memeluk wanita hamil itu.
Beberapa menit kemudian, pelukan terlepas dan mereka saling tatap dengan pandangan damai.
Puk!
Lusi memukul lengan Sophie gemas.
"Kenapa kamu sangat menjengkelkan, Sop!" celetuknya malah Sophie tertawa.
"Hahahhaa..kamu juga sangat menjengkelkan, Lu. Bayangkan saja aku harus berhadapan dengan keras kepalamu itu" sahut Sophie dengan nafa bercanda dan Lusi mengerti hal itu.
"Kamu sendiri yang mau bersahabat dan menjadi asisten seorang wanita keras kepala" ujar Lusi.
Senyum merekah diantara mereka telah kembali setelah melalui pertengkaran antar sahabat.
Mereka akhirnya bisa mengobrol sambil menunggu pesanan pizza datang.
30 menit kemudian, security mengantar pesanan ke ruangan direktur.
Dan kini Lusi dan Sophie sudah duduk bersebelahan di sofa sambil menikmati pizza.
"Oh ya..jika kamu sudah berkenan untuk menceritakan hasil pemeriksaanmu kemarin, aku sangat senang, Lu" celetuk Sophie.
"Hmmm..rumit" jawab Lusi seadanya sambil menikmati pizza.
"Rumit? Rumit bagaimana? Apakah ada masalah dengan kandunganmu?" tanya Sophie serius.
"Bukan masalah kandunganku, tapi masalah dengan dokternya" jawab Lusi dengan santai dan tetap menikmati setiap kunyahan pizza yang dia inginkan.
"Hah masalah dengan dokternya? Aku kira rumah sakit internasional Madrid selalu meng-hire dokter profesional jadi sangat jarang ada masalah dengan mereka" sahut Sophie.
Lalu Lusi menelan makanan yang masih ada di mulutnya dan menatap sang sahabat dengan serius.
"Aku tau, rumah sakit berkualitas mangkanya aku kesana. Masalah ku dengan dokter kandungan itu tidak terkait fasilitas atau kekurangan dari rumah sakitnya. Tapi dari dokternya sendiri" jelasnya namun Sophie masih belum paham.
"Jangan muter muter jelasinnya. Aku gak paham lu" kesal Sophie yang semakin penasaran.
"Dokter kandungan itu adalah pria bayaran yang telah menghamiliku. Dokter gadungan yang bisa bisanya jadi dokter kandunganku!" sahut Lusi jujur dan membuat Sophie seakan akan terkena sambatan petir.
Dyaaaar!!
Ia terkejut dengam cerita dari sahabatnya ini. Sampai Sophie tidak bisa berkata kata lagi beberapa saat.
"kok..kok bisa?" lirih Sophie tak percaya.
"ya mana aku tau dia dokter. Aku juga gak expect dia akan jadi dokter kandunganku" sahut Lusi.
"Astagaaa...terus dia mengenalimu?" tanya Sophie.
"Ya, dia mengenaliku meskipun hanya memakai masker dan aku pun langsung mengenalinya" jawab Lusi.
Sophie hanya bisa geleng geleng kepala.
"Ceritamu ini lebih drama dari cerita ONS ku bersama Arlo" celetuknya.
"Hmmm...aku juga sebenarnya tidak berniat memiliki drama seperti ini, merusak rencana karirku saja" sahut Lusi sambil memakan lagi Pizza ditangannya untuk menghilangkan kekesalan saat mengingat dokter kandungannya.
"Terus Lu, apa yang akan kamu putuskan dengan kandunganmu? Kamu tetap akan menggugurkannya?" tanya Sophie yang tidak ada hentinya.
"Aku tidak tau..seperti katamu, kata Ester dan kata ibuku, tidak seharusnya aku membunuh anak ku sendiri meskipun tidak aku inginkan" jawab Lusi.
Sophie menghela nafas lega.
"Syukurlah kamu sudah sadar" ujarnya.
"Sebenarnya bukan karena itu alasan utama ku memutuskan mempertahankan kandungan ini, tapi kesepakatan dengan dokter gadungan itu bahwa dia bersedia mengambil anak ini saat sudah lahir dan membiarkan ku berkarir lagi. Jadi seharusnya aku tidak akan rugi mengambil keputusan ini, selama aku tidak ikut mengurus mereka dan tetap bekerja seperti biasa" jelas Lusi.
Sophie lagi lagi terkejut dengan jawaban sahabatnya itu karena yang ia rasakan saat melahirkan putranya, kehidupannya 90% ada untuk anaknya. 10% digunakan untuk karir dan kesenangan pribadi.
"Kamu serius mau memberikan anakmu kepada ayahnya tanpa kamu ikut mengurus sama sekali? Kamu rela berpisah dengan anak yang sudah kamu kandung 9 bulan nantinya?" pancing Sophie.
"Hmmm, aku tidak tau tapi untuk saat ini aku benar benar tidak memiliki perasaan apa apa pada bayi yang aku kandung. Aku mengatakan kepadamu seperti ini karena aku tau bahwa kamu mengerti ku. Jadi jangan salahkan apa yang kurasakan" sahut Lusi.
Sophie memilih diam karena tidak ingin bertengkar lagi dengan bosnya alias sahabatnya juga.
Ia pun memutuskan kembali memakan potongan pizza sehingga cepat habis.
Lusi benar benar menikmati pizza dan pasta sampai perutnya merasa puas.
semangat update nya hehhehehe....