"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
act of service
...Happy reading...
Sementara itu, Cely sendiri terlihat menghadap ke arah kamera dengan senyum manis, jari telunjuk dan jari tengahnya terangkat membentuk simbol peace yang populer.
Kontras antara tatapan Leo yang fokus pada Cely dan pose Cely yang menghadap kamera inilah yang menimbulkan kesan seolah mereka adalah pasangan dalam foto tersebut.
Setelah Cely melihat hasil foto yang diperlihatkan di layar ponsel, dia kemudian mengarahkan pandangannya ke Leo, seolah mencari penjelasan dari laki-laki itu.
"Ah ... itu tadi saya cuma belum siap aja, eh taunya sudah difoto," Leo mencoba mengelak, berusaha meredakan suasana yang mulai terasa canggung. Nada bicaranya sedikit gugup, menunjukkan bahwa dia juga merasa sedikit salah tingkah dengan situasi ini.
Cely sendiri merasakan pipinya mulai memanas. Rasa malu menjalar di seluruh tubuhnya karena menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Banyak pasang mata yang kini tertuju padanya dan Leo. Ia berusaha menahan senyumnya dan menundukkan sedikit kepalanya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Udah we, udah we, kasian ntar anak orang nangis," ejek seorang laki-laki dari arah samping, menambah suasana dengan candaan yang semakin riuh.
Ejekan ini justru membuat tawa anak-anak kelas semakin pecah. Cely semakin merasa malu dan salah tingkah, sementara Leo hanya bisa tersenyum canggung di tengah situasi yang semakin ramai ini.
"Foto dulu nggak sih, kalian berdua?!" seru anak perempuan tadi dengan semangat.
Ide jahil tiba-tiba muncul di benaknya. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung mendorong pelan Cely dan Leo agar berdiri lebih rapat, bersebelahan layaknya pasangan yang akan difoto. Cely dan Leo, yang masih sedikit linglung dan malu-malu, hanya pasrah mengikuti arahan anak perempuan itu. Mereka berdiri berdampingan dengan canggung, jarak di antara mereka terasa begitu dekat namun juga terasa jauh karena rasa kikuk yang menyelimuti.
Perempuan itu dengan sigap mengangkat ponselnya kembali, siap mengabadikan momen ini.
"Senyum dong! Masa tegang gitu mukanya," godanya sambil mengarahkan kamera.
"Tahan ya! Satu, dua, tiga!" suara kamera terdengar lagi.
"Nah ... keren ih!" serunya puas setelah berhasil menjepret foto Cely dan Leo berdua.
Ia memperlihatkan hasil fotonya di layar ponsel, dengan bangga memamerkan karya terbarunya itu kepada teman-teman sekelas yang lain. Senyum lebar menghiasi wajahnya, senang karena berhasil mengabadikan momen yang menurutnya sangat lucu itu.
"Udah kan fotonya? Anu ... gue balik duluan ya," ucap Cely dengan tergesa-gesa, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia berbalik badan dan buru-buru melangkah keluar dari kerumunan teman-temannya, berharap bisa segera menjauh dari pusat perhatian yang membuatnya semakin salah tingkah.
Walaupun rasa malu menyerbu dirinya, jauh di lubuk hatinya, Cely merasakan kebahagiaan yang membuncah. Sejak awal, keinginannya untuk berfoto dengan Leo memang sudah ada, meskipun ia membayangkan momen itu terjadi secara lebih pribadi dan tanpa sorakan dari teman-temannya. Meskipun situasinya tidak sesuai dengan ekspektasinya, ia tetap merasa senang karena pada akhirnya berhasil berfoto berdua dengan Leo, walaupun dengan paksaan dan diiringi ejekan.
Namun, usahanya untuk melarikan diri dari situasi canggung itu justru semakin menjadi bahan ejekan bagi teman-temannya. Saat Cely melangkah menjauh, siulan panjang dan tawa riuh rendah semakin menggema di belakangnya. Ejekan dan godaan itu semakin menjadi-jadi karena mereka melihat Cely seperti berusaha mengelak dan melarikan diri dari mereka.
"Malu banget gue!"
Cely terus mempercepat langkahnya. Ia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin memanas. Rasa malu bercampur dengan bahagia itu membuatnya ingin segera menghilang dari pandangan teman-temannya.
Setelah melewati malam perpisahan yang panjang dan penuh kenangan di sekolah, satu per satu siswa mulai melangkahkan kaki mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Rumah, bagi mereka, adalah tempat perlindungan terakhir setelah seharian beraktivitas, tempat yang diharapkan mampu melindungi mereka dari dinginnya malam dan mungkin, dari kerasnya dunia di luar sana.
Cely dan Leo masih berdiri di teras, menunggu kedatangan Zein yang akan menjemput mereka. Suasana di teras sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa kelompok kecil siswa yang juga menunggu jemputan atau bersiap untuk pulang bersama-sama. Angin malam berhembus cukup kencang, membuat rambut Cely sedikit berantakan.
Tiba-tiba Rayna menghampiri Cely dan Leo, siap untuk pulang duluan. "Cel, gue balik duluan nggak papa ya? Soalnya gue nebeng orang," bilang Rayna sambil terkekeh kecil.
Cely tersenyum dan mengangguk, "Ya nggak papa lah. Hati-hati ya di jalan!" Ia melambaikan tangan ke Rayna, yang kemudian berpamitan juga pada Leo sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Cely dan Leo berdua di teras yang semakin sunyi.
"Lo udah telpon Zein?" tanya Cely.
"Abang, Cel!" koreksi Leo, sambil terkekeh pelan.
"Ah... iya, maksudnya Abang Zein," ralatnya sambil menggaruk belakang kepalanya, senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Udah, udah saya telepon kok, bentar lagi juga dia sampai, kita tunggu aja sebentar lagi!" kata Leo, sambil melirik jam tangannya, seolah memastikan perkiraannya tepat.
Di tengah lamunan mereka berdua, seorang laki-laki muncul dari arah belakang, langkah kakinya terdengar mendekat ke arah Cely. Cely menoleh, terkejut dengan kehadiran tiba-tiba orang tersebut.
"Belum pulang juga? Nunggu siapa emangnya?"
Tiba-tiba sosok laki-laki seusianya datang menyapa Cely dengan senyum ramah. "Pulang bareng gue aja yuk! Kebetulan gue juga mau balik arah sana." ajaknya.
"Dia balik sama saya!"
Belum sempat Cely membuka mulut untuk menjawab tawaran dari laki-laki itu, Leo dengan sigap menyela.
Laki-laki itu, yang kehadirannya tiba-tiba tadi sempat mengejutkan, terlihat sedikit tertegun mendengar jawaban cepat Leo.
Ia mengalihkan pandangannya dari Cely ke Leo, lalu kembali lagi ke Cely, seolah mencari konfirmasi. Namun, melihat ekspresi wajah Cely yang tidak membantah ucapan Leo, laki-laki itu akhirnya mengangguk singkat, tanda mengerti.
"Ah ... yaudah kalo gitu, gue duluan ya!" katanya dengan nada yang sedikit kecewa. Ia melambaikan tangannya ke arah Cely dan Leo.
Cely refleks membalas lambaian tangan laki-laki itu dengan senyuman kecil di wajahnya. Namun, begitu laki-laki itu berbalik dan melangkah menjauh, perhatian Cely sepenuhnya tertuju pada Leo.
Pipi Cely terasa merona hangat. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Reaksi spontan Leo tadi, meskipun terkesan sedikit posesif, justru membuatnya merasa tersentuh. Bibirnya sedikit ia tertarik ke dalam, berusaha ia tahan agar tidak terlihat terlalu kentara. Di hatinya, ia merasa ada sesuatu yang spesial sedang terjadi di antara dia dan Leo malam ini.
Menit-menit berlalu terasa cukup lama dalam penantian mereka. Hanya suara angin malam dan sesekali percakapan kecil yang mengisi kesunyian di teras. Namun, tiba-tiba Leo mengangkat tangannya, menunjuk ke arah jalan masuk area gedung.
"Sepertinya itu mobil Ayah," tunjuk Leo, matanya fokus pada mobil yang terlihat dari kejauhan.
Mobil itu semakin mendekat, melaju perlahan memasuki area gedung dan berbelok ke arah depan teras tempat Cely dan Leo berdiri.
Cahaya lampu mobil menerangi wajah mereka sejenak. Benar saja, mobil itu berhenti tepat di depan mereka, dan kaca jendela mobil bagian depan perlahan terbuka, menampilkan sosok Zein yang terlihat sedikit lelah.
"Udah selesai acaranya? Cepet masuk!" suruh Zein.
Ia tidak banyak basa-basi, langsung menyuruh Cely dan Leo untuk segera masuk ke dalam mobil.
Belum sempat Cely meraih pegangan pintu mobil, Leo dengan sigap bergerak membukakannya untuknya. Gerakan Leo begitu tiba-tiba, membuat Cely sedikit terkejut dengan perlakuannya.
"Silahkan masuk, Tuan Putri!" ucap Leo dengan lembutnya. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya, mengisyaratkan Cely untuk segera masuk ke dalam mobil.
Alis Cely terangkat ke atas, matanya membulat karena terkejut dengan panggilan tak terduga itu. Sudut bibirnya seketika tertarik ke atas, membentuk senyuman kecil yang manis, namun semburat merah muda langsung menjalar di pipinya.
"APA TADI? TUAN PUTRI? GA SALAH DENGER NIH GUE?!" teriak Cely dalam hati. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, sentuhan kecil dari panggilan Leo itu terasa begitu dalam dan membekas di hatinya.
Dengan langkah perlahan dan anggun, Cely masuk ke dalam mobil. Tak lupa, Leo menahan bagian atas pintu mobil agar Cely tidak terantuk kepalanya saat masuk. Sentuhan kecil dari Leo saat ia menahan pintu, meskipun singkat, kembali membuat jantung Cely berdesir.
"Buset bang... jangan bikin gue terbang ye, gue sambit lu lama-lama," ucap Cely dalam hati, berusaha menetralkan rasa gugupnya dengan sedikit candaan di benaknya. Namun, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa sangat tersentuh dan diperlakukan istimewa oleh Leo.
"Ekhem ... gue di sini loh, kalian nganggep gue apa sih? Patung pajangan?"
Suara Zein tiba-tiba memecah suasana romantis yang tak terucapkan antara Cely dan Leo. Zein, yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka dari kaca spion, merasa sedikit terusik dengan perhatian lebih yang diberikan Leo pada adiknya, seolah keberadaannya di dalam mobil tidak dianggap.
"Sirik aja lo, Bang! Makanya cepet cari pacar!" teriak Cely dari dalam mobil, membalas sindiran Zein dan berusaha menutupi rasa malunya karena kejadian romantis singkat dengan Leo tadi.
"Cepet ah, gue mau tidur, udah malem banget ini," balas Zein, mengabaikan godaan Cely dan lebih fokus untuk segera mengakhiri percakapan dan pulang ke rumah. Nada suaranya kembali datar, menunjukkan bahwa ia memang sudah lelah dan ingin segera beristirahat.
...______________...