NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jungkat-jungkit

Camelia tidak benar-benar mengerti, apa sebenarnya yang membuat kedua orang tuanya begitu gemar beradu mulut. Seolah setiap hari, ada saja alasan untuk saling melempar kalimat sarkas dan nada tinggi. Ia bahkan sempat bertanya dalam hati, Kalau memang tidak saling mencintai, kenapa harus menikah? Kenapa sampai ada aku?

Tawa kecil lolos begitu saja dari bibirnya, pahit.

Sambil menyandarkan tubuh di kursi teras kamarnya, Camelia menyesap rokok kretek yang sejak tadi menggantung di antara jemarinya. Asap tipis membumbung ke udara, berbaur bersama angin malam yang mulai berhembus pelan. Aroma tembakau menguar kuat, menenangkan di tengah kekacauan pikirannya.

“Kayaknya aku memang harus pergi dari rumah ini. Aku nggak mau mati muda cuma karena stres.” gumamnya lirih, sembari mengetuk-ngetukkan ujung rokok ke sisi asbak kristal.

Pikirannya begitu padat. Namun akhirnya, seseorang yang ia tunggu pun muncul, bukan lewat pintu rumah, melainkan lewat dering panggilan di layar ponselnya.

Camelia tersenyum kecil. “Halo,” sapanya, setelah sambungan tersambung.

“Halo. Menunggu, ya?” tanya suara berat dari seberang sana, Gray.

Camelia mengangguk refleks, meski tahu Gray jelas tidak akan bisa melihatnya. “Kayaknya kamu sibuk banget. Baru bisa telepon jam segini?”

“Lumayan. Habis bertarung sama isi kepala sendiri. Jadi kupikir, baru bisa telepon kamu setelah semua gemuruh itu reda di otak,” jawab Gray.

Camelia sedikit menegakkan duduknya. “Kenapa, Gray? Ada masalah?”

Sunyi sebentar sebelum suara Gray kembali terdengar, sedikit pelan namun jelas. “Kalau aku cerita... kamu mau dengerin, Malika?”

Camelia tersenyum, suara Gray memanggilnya dengan nama itu selalu terasa menenangkan. Ia menunduk sebentar, lalu menjawab lembut, “Iya, dong. Cerita gih, biar nggak sumpek.” Rokok di tangannya padam. Ia menjepit batang itu dan mematikannya perlahan ke dalam asbak, bersiap mendengarkan.

“Duniaku hari ini... kacau. Bahkan, bisa dibilang hancur, terdengar lebay, ya? Tapi aku nggak bisa memungkiri, Malika. Rasanya sakit. Bukan di tubuh, tapi di hati.”

Camelia menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas, ia menyandarkan bahunya pada dinding, “Dengan siapa?” tanyanya.

“Seseorang yang aku kagumi, yang aku cintai lebih dari nyawaku.” jawab Gray.

Camelia terdiam. Jemarinya spontan meremas piyama yang ia kenakan. Hatinya mencelos, meski ia tahu Gray dan dirinya hanya sebatas teman virtual, tapi tetap saja, bagian dari dirinya yang selama ini nyaman bersama Gray terasa seperti dihantam gelombang dingin.

“Hm... dia. Memangnya... kenapa?” ucap Camelia akhirnya, mencoba terdengar tenang.

"Sikapnya padaku berubah. dia kayak menjauh dan yang lebih menyakitkan, justru lebih hangat sama orang lain. Aku merasa seperti bayangan. Padahal aku sudah mencoba segalanya. Tapi tetap saja, aku seperti tidak terlihat. Malika, aku lelah.”

Camelia menelan getirnya sendiri. Ia tahu persis rasa itu, rasa tertinggal.

“Menurutmu... apa aku harus berhenti? Apa aku harus menyerah?” tanya Gray lagi.

Sesuatu di dalam diri Camelia ikut retak, tapi bukan waktunya untuk memikirkan perasaannya sendiri. “Gray… kalau mencintai artinya menyakiti dirimu sendiri, mungkin kamu perlu berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyelamatkan dirimu. Kadang, kita terlalu sibuk mempertahankan seseorang sampai lupa menjaga diri sendiri. Kalau dia benar-benar berarti, kamu nggak akan merasa seperti sedang berjuang sendirian. Kamu tahu... cinta yang sehat itu bukan tentang bertahan mati-matian, tapi tentang saling bertumbuh dan kamu pantas dapat yang seperti itu.”

Di seberang, Gray tak langsung menjawab. Lalu terdengar napasnya menghembus pelan, seolah beban mulai terangkat meski perlahan.

“Terima kasih, Malika. Kamu... selalu tahu harus bicara apa. Kalau kamu di sini beneran, mungkin sekarang aku sudah peluk kamu erat-erat.”

Camelia mengerjapkan mata, terdiam, lalu tersenyum kecut. “Aku mungkin bakal kaku kayak batu kalau kamu tiba-tiba peluk,”

“Tapi kamu nggak bakal dorong aku, kan?” gumam Gray, bercanda.

“Gak tau sih… mungkin aku cuma bakal diam. Karena ya... aku juga butuh pelukan.”

“Aku iri,” ucap Gray tiba-tiba.

“Iri?”

“Iya... kamu terdengar kuat. Bijak, seolah kamu nggak pernah ngerasain patah kayak aku.”

“Aku juga patah, Gray. Aku cuma... belajar berdamai sama rasa sakit. Bukannya nggak hancur, tapi aku lebih sering memilih untuk diam daripada menunjukkannya ke dunia,”

Gray tertawa pelan. “Kayaknya kita mirip, ya.”

“Mirip?”

“Iya. Sama-sama diam dan sama-sama nyimpen banyak hal. Tapi… kamu tahu? Walau kita cuma suara di malam-malam sepi, aku senang bisa ngobrol sama kamu, Malika.”

Camelia menggigit bibir bawahnya. “Gray...” panggilnya lirih.

“Ya?”

“Kalau suatu hari kamu ketemu aku beneran, kamu bakal tahu kalau aku nggak sekuat yang kamu pikir. Aku juga bisa rapuh, aku juga takut kehilangan.”

“Kalau aku ketemu kamu beneran, aku cuma mau satu hal.”

“Apa?”

“Aku mau jadi orang yang kamu temani saat kamu nggak kuat.”

Camelia memejamkan matanya, mencoba menahan gelombang hangat yang tiba-tiba naik ke pelupuk matanya.

Dalam sunyi yang menemani malam itu, mereka tak perlu mengucap lebih. Kata-kata mereka sudah cukup menjadi jembatan, antara dua jiwa yang mungkin terluka, tapi perlahan saling sembuh. Mungkin cinta bukan selalu tentang memiliki. Kadang, cukup tahu bahwa ada satu suara yang bisa membuat malam-malam tidak terasa sepi lagi.

......................

Pagi itu terasa agak berbeda di kediaman keluarga Sasongko. Meja makan panjang yang biasanya lengang kini diisi oleh tiga kursi yang tak biasanya terisi. Edo, Rindi, dan Camelia tengah menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh maid.

Walau duduk bersama sebagai keluarga, suasananya terasa canggung, seolah ada sekat yang tak kasatmata di antara mereka.

"Bi, tolong ambilkan paper bag warna hitam di kamar saya, ya," celetuk Rindi sambil tetap menyendokkan bubur ke mulutnya. Namun ucapannya itu cukup membuat Camelia menghentikan gerakan sendoknya dan menoleh, melirik ibunya dengan dahi mengernyit.

"Semalam, pas Mama mau pulang, Sena datang ke kantor Mama," lanjut Rindi.

Camelia membiarkan kalimat itu menggantung di udara, menolak bereaksi. Ia memilih menunduk dan memusatkan perhatian pada piringnya, berusaha tidak terpancing.

"Nggak tahu ngasih apa, tapi dia bilang titip buat kamu," ucap Rindi lagi, lalu menyesap teh hangat dari cangkirnya.

Edo, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar pasif, akhirnya ikut bersuara, "Kalau kamu sama Sena, Papa setuju, kok. Mau langsung nikah juga nggak masalah. Dia tampan, punya karir bagus, dan yang lebih penting, datang dari keluarga terpandang."

"Papa tahu dari mana?" tanya Camelia cepat.

Namun bukan sang ayah yang menjawab, melainkan Rindi lagi-lagi mengambil alih, "Hal seperti itu nggak perlu kamu tanyakan, Mel. Kita selalu cek latar belakang siapa pun yang dekat sama kamu. Kita ini orang tua, tentu harus protektif, apalagi kamu anak semata wayang kami."

Camelia meremas serbet di pangkuannya. "Ma, tapi itu keterlaluan. Lagian aku sama Pak Sena itu nggak ada hubungan apa-apa. Dia dosenku," tegasnya, penuh penekanan.

Dalam hatinya, amarah mendidih. Betapa beraninya Sena datang ke kantor sang ibu tanpa sepengetahuannya dan lebih menyebalkannya lagi, kedua orang tuanya terlihat begitu terbuka, bahkan seolah mendukung.

Brengsek! umpatnya dalam hati.

Namun ia tak mengatakan apapun lagi. Terlalu malas untuk menanggapi lebih lanjut. Ia memilih diam, meneruskan sarapan sambil menahan gelombang rasa tak nyaman yang mengaduk-aduk dadanya. Karena ia tahu, sekalipun bicara, tak akan ada yang benar-benar mau mendengar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!