Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CURHATAN ZAHRANA
"Bagaimana bu? Apa aku boleh bersekolah yang letaknya jauh dari rumah?" Tanya Zahrana yang membuyarkan lamunanku.
Aku terdiam sejenak sebelum berbicara.
"Sampeyan sudah merasa tenang saat ini?" Tanya pada putri sulungku.
Zahrana menganggukkan kepala.
"Sudah siap cerita tentang yang permasalahan yang pernah kamu alami selama di sekolah? Terutama tentang bullying."
Zahrana menanggapi dengan anggukan kelapa. Ia tampak menghela napas panjang sebelum memulai perkataannya.
"Sebenarnya, dari kelas satu Rara sudah menunjukkan rasa kurang suka padaku karena aku sudah pandai membaca buku. Sementara Rara belum bisa membaca dengan lancar. Sampul bukuku yang bergambar boneka barbie juga sering disobek sama dia karena Rara nggak bisa membeli sampul sepertiku," jelas Zahrana.
"Kapan Rama dan Rara jadian? Eh, bentar. Nama mereka mirip ya. Apa mungkin mereka kelak berjodoh ya?" Tanyaku penasaran dengan cinta monyet ala-ala sekolah dasar. Bisa-bisanya mereka yang masih ingusan sudah memikirkan i love you. Sementara untuk melap ingusnya saja masih pakai tangan. Seharusnya bukani love you, tapi i lap your ingus. Aku geleng-geleng kepala memikirkan pergaulan zaman sekarang.
"Mereka tidak jadian bu. Tapi sejak kelas tiga sebelum covid melanda, Rara suka sama Rama. Aku tahu saat Rara menembak Rama di taman belakang. Waktu itu aku juga sedang bermain ditempat itu," sahut Zahrana.
Aku langsung tepok jidat.
"Astaga. Kecil-kecil, cewek sudah menembak cowok," ucapku.
Zahrana terdiam sejenak.
"Tapi Rama nggak mau," jelas Zahrana.
"Kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Nggak boleh sama ibunya."
"Ya jelaslah. Masih kecil juga," tukasku.
"Tapi Rara tetap mengejar Rama dan menganggap Rama adalah pacarnya."
"Terus?" Tanyaku penasaran.
"Siapapun yang didekati Rama, pasti akan dimusuhi sama Rara," jelas Zahrana.
"Karena?" Seru juga ternyata mendengarkan cerita cinta ala anak di bawah kecil unyu begini ya.
"Cemburu," ucap Zahrana.
"Hampir mirip cerita di canel televisi gambar ikan terbang ya. Seru juga," sahutku.
"Puncaknya bulan kemarin saat aku dan Rama barengan satu mobil waktu mau try out di sekolah madrasah terbaik di kabupaten. Kami semua yang ikut lomba dari berbagai kategori dan try out berangkat bersama menggunakan mobil sekolah. Rara cemburu melihatku bersama Rama," jelas Zahrana.
"Lho. kan banyak yang ikut lomba. Ada laki-laki dan perempuan. Ada juga Nadia yang cantik dan pintar bernyanyi itu kan? Kok bisa Rara hanya cemburu sama kamu?" Tanyaku beruntun.
"Nggak tahu bu," tukasku.
"Terus ia menghadangmu di tempat parkir dan menendang sepeda hingga rusak begitu?" Selidikku.
Zahrana hanya mengangguk.
"Sebenarnya, Rara sudah berkali-kali menendang sepedaku. Juga sering berucap yang kurang baik. Sepeda karatan, buluk. Tapi tendangan Rara ke sepeda kali ini paling parah," jelas Zahrana.
"Rara mau sekolah di sekolah gratis desa sebelah?" Tanyaku
Zahrana menggangguk.
"Awalnya, sebelum wku tahu Rara akan bersekolah disana, aku berminat pada sekolah gratis itu. Tapi setelah mendengar Rara mau masuk ke sekolah itu, aku sudah tak lagi memiliki minat pada sekolah itu. Aku teringat perlakuannya padaku dan aku nggak mau itu terulang di sekolah menengah. Maaf ya bu, karena aku tak memilih sekolah gratis," jelas Zahrana.
Aku terdiam sejenak.
"Nggak apa-apa kamu menolak untuk sekolah disana. Setidaknya aku sudah tahu apa alasanmu menolak sekolah di sana. mbak berdoa saja. Semoga ibu ada rezeki untuk menyekolahkan di sekolah impianmu ya," pintaku pada Zahrana.
Zahrana mengangguk perlahan.
"Tentang masalah bullying ini, kuberitahukan pada pak Ryan boleh ya?" Tanyaku.
Mata Zahrana membelalak.
"Jangan bu. Pak Ryan terlihat sudah sangat capek mikirin kelas, try out sekolah, aneka lomba di luar sekolah, dan sekarang mau persiapan ujian sekolah juga. Saat ke kelas, wajah pak Ryan terlihat capek sekali. Aku nggak mau menambahi beban pak Ryan lagi bu. Sekolah juga cuma sebentar lagi. Aku juga segera lulus kok bu. Bapake baik banget. Aku nggak mau nyusahin beliau," jelas Zahrana.
"Pak Ryan, lihatlah ini. Muridmu begitu sayang padamu," ucapku dalam hati.
Entah mengapa, aku lebih suka berbicara intens pada anak. Selain menjadi tahu sudut pandang mereka, aku juga semakin tahu apa keinginan mereka sebenarnya. Aku juga tak terlalu menuntut Zahrana berlebihan. Yang pokok saja. Zahrana tahu waktu. Tahu waktunya salat, waktu bermain, waktu belajar, makan dan lain sebagainya.
"Nduk, bila kamu berminat sekolah yang jauh dari rumah, mau gak mau harus mencari sekolah yang ada asramanya. Atau kalau sekolahnya tidak memiliki asrama, harus mencari kost yang dekat dengan lokasi sekolah bukan?" Tanyaku membuka pertanyaan tentang kelas tujuh yang diinginkan Zahrana.
"Iya bu."
"Karena sepertinya tak memungkinkan bagi ibu bila harus pulang pergi untuk mengantar dan menjemput sekolah setiap hari karena ibu juga harus fokus pada kedua adikmu."
"Iya bu," Ucap Zahrana.
"Yang menjadi pikiranku saat ini, apakah kamu akan krasan atau tidak nanti disana? Terus bila kemungkinan, bukan mendo'akan ya, tapi bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti bullying lagi, atau masalah lainnya misalnya, apa kamu bisa menghadapinya sendiri?"
Zahrana terdiam sejenak dan menganggukkan kepala.
"Aku akan berusaha bu, agar tetap krasan di sana," jawab Zahrana
Aku memeluk Zahrana kembali. Tak terasa putri kecilku sudah sebesar ini dan sedang menghadapi kenyataan pahit. Rasanya tak tega melihatnya, tapi inilah yang harus terjadi. Semoga Zahrana bisa mengambil ibrah atas semua yang terjadi padanya.
"Berdo'a saja. Semoga ibu ada rezeki untuk menyekolahkanmu di tempat yang sesuai keinginanmu nduk," ucapku tetap memberi semangat pada Zahrana meskipun saat ini aku tak memegang uang sepeser pun.
"Aamiin," ucap Zahrana.
"Belajar ya. Besok ada jadwal try out kedua di sekolah kan?" Tanyaku mengingatkan.
"Iya bu," jawab Zahrana.
Aku kembali ke kamar dan mengambil gawai yang kutaruh di lemari paling atas. Kubuka aplikasi untuk melihat beberapa pesan di sana.
Aku melihat WA balasan dari Hasna
Wa'alaikumussalam
Siti, kamu kok tahu aja aku mau renov rumah?
Ini jendela buatan bapakmu kan?
Jendelanya bagus
Pasti joss
Bapakmu tukang kayu paling top
Tiga hari lagi aku akan kesana
Aku menghela napas lega setelah membaca WA dari Hasna tersebut. Ada secercah harapan bahwa sebentar lagi aku memiliki uang untuk persiapan kelas tujuh Zahrana.
Aku kembali menyekrol pesan di wa. Kutemukan WA dari mbak Nina, kakak iparku.
Siti,
Zahrana mau kamu sekolahkan di sekolah gratis?
Kamu mau ongkang-ongkang saja dirumah?
Tidak mau bertanggungjawab pada sekolah anak?
Dasar punya anak
tapi mau enaknya saja
Aku begitu heran dengan mbak iparku satu-satunya yang ayu cantik jelita harum semerbak mewangi sepanjang hari ini. Kok ia bisa selalu tahu aku mau melakukan apa saja ya? Apa dia memiliki sisitipi kelas kakap atau internasional ya, kok bisa selalu update kegiatanku setiap hari? Padahal sepengetahuanku, aku juga tidak kemana-mana dan tidak pernah ketemu atau berbicara pada mbak Nina. Aku semakin heran padanya, pada mbak iparku tersebut.
Ngomongin tentang ipar, aku jadi ingat bahwa aku belum menonton film yang berjudul Ipar Adalah Maut. Para pembaca yang tamvan dan jelita, boleh spill dong filmnya? Sedikit boleh. Banyak tambah boleh lagi pakai banget. Iparnya secantik mbak Nina yang ayu cantik jelita harum semerbak mewangi sepanjang hari ini gak ya? Terima kasih buat yang mau spill film untukku yang tidak punya uang dan kuota ini.
Maaf ya, tulisannya masih kebawa centil gimana gitu ya gaesss. Efek ghibah online about kakak ipar mbak Nina cantik jelita manjasari harum mewangi sepanjang hari ya.