Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangkit
Sumin membuka matanya perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui tirai jendela menciptakan bayangan samar di langit-langit kamar rawat. Hanya suara mesin pemantau detak jantung yang berdetak ritmis di samping ranjang.
Ia sudah sadar sejak malam kemarin, Hanya saja, saat itu rasanya terlalu berat untuk mengakui keberadaan dirinya sendiri. Seolah dunia di sekitarnya adalah ruang asing yang menganga, dan ia lebih memilih untuk bersembunyi di balik kelopak matanya yang tertutup.
Tapi pagi ini berbeda.
Ia terbangun dengan tubuh yang masih terasa sakit, tapi jiwanya lebih sunyi. Tidak ada jeritan. Tidak ada gerakan panik. Hanya tetes air mata yang mengalir pelan di pipinya. Tubuhnya menggigil di bawah selimut rumah sakit yang tipis. Jari-jarinya mencengkeram seprai seperti sedang mencoba bertahan di tepi jurang yang menganga.
Yujin yang tertidur di kursi samping ranjang langsung tersentak saat merasakan gerakan di tangan anaknya. Seketika ia bangun, matanya mengarah pada Sumin. Napasnya tercekat ketika melihat putrinya membuka mata dan meneteskan air mata dalam diam.
“Minnie…” bisik Yujin dengan suara pecah.
Yujin perlahan mendekat, tidak ingin mengejutkan putrinya. Ia tidak langsung memeluk, tidak juga memaksa bicara. Ia hanya menggenggam erat tangan Sumin, seolah ingin mengalirkan semua kekuatan yang ia punya melalui sentuhan itu.
Sumin tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku ke langit-langit, tatapan kosong yang menyimpan terlalu banyak hal untuk diucapkan. Namun, genggaman kecilnya kembali. Ia membalas genggaman tangan ibunya, dan itu cukup untuk membuat dada Yujin sesak oleh haru.
Air mata Yujin jatuh. Ia mengangkat tangan satunya untuk mengusap pelan rambut panjang Sumin yang kusut. Sentuhan itu bukan sekadar belaian. Itu adalah permintaan maaf yang tak terucap, permohonan maaf seorang ibu yang telah gagal menjaga putrinya.
Yujin menunduk dan mencium pelan jemari anaknya.
“Maafkan mama, Sayang. Mama terlambat datang. Mama tidak ada saat kamu ketakutan. Tapi sekarang mama di sini. Kamu aman sekarang,” bisik Yujin.
Tangisan Yujin makin deras, namun suaranya tetap ditahan agar tidak menggetarkan hati anaknya yang masih rapuh.
Sumin akhirnya menoleh. Matanya merah dan sembab dengan pipi yang basah. Tatapan itu bertemu langsung dengan mata Yujin. Tidak ada kata-kata. Hanya luka dan keheningan yang penuh makna.
“Mama,” bisik Sumin, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, “aku kira … aku tidak akan pernah melihat mama lagi.”
Yujin menunduk dan memeluk kepala putrinya dengan lembut, membiarkan air matanya jatuh membasahi rambut Sumin.
“Kamu kembali, Sayang … kamu kembali. Dan Mama janji, mulai sekarang, tidak akan ada satu pun yang menyentuhmu tanpa izinmu lagi. Tidak ada satu pun yang bisa menyakitimu.”
Sumin menutup mata. Tangan kanannya memeluk balik lengan mamanya. Tubuhnya masih menggigil, tapi pelukan itu menjadi jangkar di lautan luka yang mengancam menyeretnya tenggelam.
...----------------...
Beberapa jam kemudian, seorang wanita dengan jas putih dan clipboard di tangan masuk ke ruangan. Di belakangnya, Jisung ikut menemani dengan raut khawatir.
“Saya Dokter Yoon,” kata wanita itu lembut, “saya adalah psikolog trauma anak dan remaja. Saya ingin bicara dengan Sumin, boleh?”
Sumin Hanya mengangguk perlahan. Yujin dan Jisung keluar dari ruangan, memberi ruang untuk percakapan yang sangat penting dan privat ini.
Dokter Yoon menarik kursi lebih dekat ke ranjang. Ia tidak membuka catatan dan tidak langsung bertanya. Ia hanya duduk dan menatap Sumin dengan tenang.
“Boleh saya duduk di sini beberapa menit tanpa kita bicara? Kalau kamu ingin bicara, kita mulai. Kalau belum, saya akan menunggu.”
Lima menit berlalu dalam diam. Lalu Sumin mengangkat tangan dan menunjuk gelas air di meja. Psikolog itu berdiri dan membawakannya. Setelah meneguk pelan, suara Sumin akhirnya terdengar. Serak dan nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas.
“Aku merasa kotor.”
Dokter Yoon tidak terkejut dan tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya mengangguk pelan.
“Kamu merasa tubuhmu bukan milikmu lagi?”
Sumin mengangguk.
“Kamu merasa ada bagian dari dirimu yang hancur dan tidak bisa kembali seperti dulu?”
Air mata mengalir dari pelupuk mata Sumin, “iya…”
“Kamu tidak sendiri, Sumin. Apa yang kamu rasakan sekarang adalah bagian dari luka. Dan luka, seberapa dalam pun, bisa dirawat. Butuh waktu, butuh ruang, dan butuh orang yang tetap tinggal walaupun kamu merasa tidak pantas,” ucap Dokter Yoon.
Sumin menoleh perlahan, “bagaimana kalau aku tidak bisa kembali ke lapangan? Bagaimana kalau aku tidak bisa jadi kakak lagi untuk Yewon dan Sunghan?”
“Kamu bukan nilai yang diukur dari fungsimu. Kamu bukan hanya seorang pemain basket atau kakak. Kamu adalah Sumin. Seorang anak yang bertahan dari mimpi buruk. Dan kamu berhak untuk hidup dengan utuh lagi, di waktu dan cara kamu sendiri.”
Sumin menangis lebih kencang. Tapi kali ini, bukan karena rasa hancur, melainkan karena ia merasa ada seseorang yang mendengarnya.
“Apakah ... aku akan merasa jijik pada diriku selamanya?”
“Tidak selamanya,” jawab psikolog itu, “tapi kamu perlu mengizinkan dirimu merasakan itu dulu. Jangan buru-buru sembuh. Kita rawat luka ini bersama-sama.”
Sumin menunduk dan mengangguk pelan. Ia tidak sembuh. Belum. Tapi hari ini, ia memilih untuk mencoba.
...----------------...
Sore harinya, setelah sesi dengan psikolog selesai dan Yujin kembali menemaninya di kamar, pintu diketuk pelan. Seorang remaja laki-laki masuk dengan seragam sekolah yang belum sempat diganti, membawa tas ransel dan sebuket bunga tulip putih dan kuning yang dibungkus kertas daur ulang.
Yujin mengenal wajah itu.
Sumin, yang tadinya menunduk, perlahan mendongak. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang ia kenal lebih baik dari siapa pun selama beberapa bulan terakhir.
Minho.
Sumin tidak tersenyum, tapi sorot matanya melembut. Ia mengangguk pelan.
Yujin pun melirik putrinya sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar, “silakan masuk,” ucapnya tenang. Ia tahu siapa anak ini.
Minho melangkah masuk perlahan, lalu menaruh bunga di meja kecil di samping tempat tidur tanpa berkata-kata, lalu menanggalkan ransel dari punggungnya. Ragu-ragu, ia berdiri di samping ranjang, menatap Sumin dengan mata merah.
“Halo,” sapa Minho pelan.
“Hai,” jawab Sumin dengan suara serak tapi tulus. Satu kata yang terasa berat, tapi begitu berarti.
“Aku … sebenarnya tidak tahu boleh datang atau tidak,” lanjut Minho, “tapi aku tidak bisa menunggu lagi. Aku harus melihat kamu sendiri.”
Sumin mengangguk pelan.
“Bunga ini mama yang pilih. Katanya warna kuning dan putih itu harapan dan keberanian,” Minho terkekeh kaku, “aku sendiri bahkan tidak tahu arti bunga sampai hari ini.”
Ia duduk perlahan di kursi kecil di sisi ranjang, menjauhi sedikit dari tepi ranjang karena takut menyentuh tanpa izin. Tangannya diletakkan di pangkuan, menekuk dan mengusap jemarinya sendiri untuk meredam gugup.
Beberapa detik mereka hanya saling diam.
“Aku minta maaf,” ucap Sumin akhirnya.
Minho langsung menggeleng cepat, “jangan. Jangan minta maaf. Kamu tidak salah. Kamu tidak perlu minta maaf untuk sesuatu yang tidak pernah kamu pilih.”
Sumin memejamkan mata. Air matanya jatuh begitu saja.
“Aku cuma … aku pikir aku akan mati,” bisik Sumin.
Minho menunduk dalam, suaranya parau saat membalas, “aku juga sempat berpikir aku akan kehilangan kamu.”
Ia tidak berani menyentuh Sumin, tapi jarinya terulur, hanya berhenti beberapa sentimeter dari tangan gadis itu.
“Aku benci diriku sendiri karena aku tidak bisa membantu waktu itu. Aku benci karena aku terlalu takut,” gumam Minho.
Sumin membuka mata dan menatapnya.
“Kamu datang ke sini,” gumam Sumin, “itu sudah cukup.”
Perlahan, Sumin mengulurkan tangan. Gerakan kecil, tapi pasti. Ia menyentuh jari Minho. Hanya sentuhan dari ujung jari telunjuk.
Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya satu kontak kecil yang menggambarkan keberanian, kesetiaan, dan harapan.
...🥀🥀🥀🥀🥀...