Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16.
Sean's pov.
Dasar tidak berguna. Aku hampir saja terlambat dan kehilangan dia. Seandainya aku terlambat beberapa detik saja, mungkin aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Seandainya aku menurut saat dia memintaku pulang, aku bisa pulang bersamanya dan memastikan dia aman tanpa insiden sialan itu.
Tua bangka dan anaknya yang brengsek itu hampir saja mengambil apa yang sudah menjadi hakku sebagai suami Fany. Beruntung, aku datang lebih cepat sebelum mereka bisa membunuh masa depanku. Tapi, aku tetap terlambat saat pria itu sudah berhasil membuat tanda di sekujur tubuh Fany yang membuatku sakit tepat di ulu hatiku. Aku yang sebagai suami sahnya saja belum pernah menyentuh Fany sampai seintim itu. Tapi, apa yang tua bangka brengsek itu lakukan?
Aku sengaja tidak memberitahu Fany tentang bagaimana dirinya saat aku menemukannya karena aku tidak ingin membuatnya berfikir terlalu keras dan memintanya untuk melupakannya. Lebih baik ia menganggap semua itu tidak seperti yang ia rasakan.
Semoga ia percaya bahwa aku menemukannya di pinggir jalan. Kecuali jika ia dibawa kedua orang itu di gang dalam keadaan sadar.
"Sean." Aku mendengar suara Fany tengah memanggilku dari luar ruang kerjaku. Sejak meninggalkan Fany di kamar, aku memutuskan untuk beristirahat di dalam ruang kerjaku. Aku tidak ingin emosiku meluap dan justru menghajar Fany tanpa ampun jika aku harus melihat tanda kemerahan di tubuh Fany lagi.
Aku pura-pura memejamkan mataku sambil berbaring di atas sofa seperti biasanya saat Fany membuka pintu ruangan kerjaku. Aku bisa dengar dia berjalan mendekat dan seakan ingin menyampaikan sesuatu.
Tapi, aku tidak mendengar apapun yang keluar dari bibirnya selain desahan kecil. Kemudian ia pergi dan kembali menutup pintunya. Apa yang ingin ia sampaikan? Aku tidak ingin jika ia terus membahas hal itu. Aku tidak ingin ia terus memikirkan hal yang harusnya memang harus ia lupakan.
.........
Sejak semalam, aku tidak bisa memejamkan mataku, semua itu karena pikiranku yang terus memikirkan Fany. Dia pasti masih memikirkan hal-hal yang terkait kejadian kemarin. Dan aku memutuskan untuk melarangnya pergi ke kantor sampai ia bisa melupakan semua dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Hari ini juga aku menelfon mommy untuk datang menemani Fany. Aku khawatir jika Fany sampai nekat untuk datang kembali ke tempat itu dan bertemu dengan si tua bangka brengsek itu.
"Sean. Aku tidak apa-apa. Aku ingin pergi ke kantor." Ucapnya saat aku mengambil kemejaku di dalam almari.
"Tidak bisa, Fan. Aku sudah terlanjur meminta mommy untuk datang menemanimu." Jawabku jujur.
"Kenapa kau melakukan itu, Sean?" Protesnya.
"Agar kau bisa beristirahat. Aku tahu kau pasti lelah karena kejadian kemarin." Jawabku, tidak ingin mendengar ocehannya lagi, aku segera pergi dan berangkat ke kantor. Semoga dia tidak berfikir macam-macam. Aku hanya ingin dia beristirahat saja. Tidak lebih.
.......
Fany's Pov.
Lelah karena kejadian kemarin? Berarti kemarin apa yang aku lihat benar-benar terjadi, begitu kan maksud Sean? Aku benar-benar sudah diperkosa? Lalu apa yang Sean lakukan dengan menampung ku di rumah ini? Kenapa ia masih mau menampung sampah sepertiku? Aku selalu menolak disentuh Sean. Tapi aku justru pasrah saat orang lain menyetubuhiku. Benar-benar murahan.
Tidakkah dia tahu bahwa ia adalah pria bodoh yang membiarkan orang sepertiku tetap hidup?
"Selamat pagi, sayang!" Suara mom keisha membuyarkan segala pikiran kotorku. Rupanya benar, Sean sudah mengundang ibunya khusus untuk menemaniku disini.
"Selamat pagi, mom." Jawabku sopan sambil mencium punggung tangan ibu mertuaku itu. Wanita itu kemudian tersenyum penuh arti padaku.
"Mom senang. Akhirnya kalian baikan." Ujarnya sambil memperhatikan leherku. Ya ampun, ini pasti karena tanda kemerahan sialan itu. Mungkin beliau pikir ini adalah ulah Sean. "Kok melamun? Apa Sean menyakitimu?" Tanyanya.
"Tidak mom. Aku hanya sedang kepikiran mau memasak apa untuk makan siang Sean nanti." Jawabku berbohong. Kebiasaan Sean saat aku tidak masuk kerja, Sean akan menyempatkan waktu istirahat siangnya untuk pulang ke rumah dan makan siang bersama.
"Ya ampun. Itu mudah sayang. Kan ada mommy. Nanti kita masak sama-sama." Ucap mommy.
"Terimakasih mom." Ucapku.
"Tidak masalah sayang. Ayo ke kamar kalian. Mom dengar dari Sean kau baru saja demam tinggi, makanya mom langsung setuju saat Sean meminta mommy kesini untuk menemanimu." Ucap mommy. Sean pasti menceritakan hal yang bukan sebenarnya pada mommy, jadi aku tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari mommy sekarang.
"Aku sudah tidak apa-apa, mom." Jawabku jujur.
"Ya sudah, kalau begitu kita mau ngapain dong?" Tanya mommy.
"Aku ingin menanyakan banyak hal pada mommy. Ini tentang Sean." Kataku.
"Baiklah. Untuk itu sebaiknya kita duduk dulu." Ujarnya.
"Iya mom. Aku ambil camilan dulu di dapur. Semalam Sean beli banyak sekali camilan sembari menjagaku, ia memakan camilan ini sampai tertidur." Kataku tidak sepenuhnya benar. Sean memang membelinya, tapi ia tidak memakannya dalam jumlah yang banyak. Bahkan Sean tertidur di ruang kerjanya, bukan karena menjagaku juga.
"Baiklah." Jawab mommy. Aku segera pergi ke dapur, mengambil camilan yang kumaksud, setelah itu aku kembali dan duduk bersama mommy di ruang tengah sambil menyalakan televisi dengan volume rendah.
"Sean masih saja suka makaroni pedas. Padahal mommy sudah mengingatkan agar jangan terlalu sering makan makanan pedas. Tapi anak nakal itu masih saja bandel. " Keluh mommy sambil menatap camilan yang kuhidangkan. Jadi, sejak dulu Sean menyukai makanan seperti ini?
"Kalau dia penurut, itu bukan Sean namanya mom." Candaku. "Mom, apa Sean bisa bela diri?" Tanyaku. Jika Sean benar menemukanku di jalanan, itu berarti Sean tidak perlu melawan mereka kan? Jika Sean bisa beladiri, tidak menutup kemungkinan bahwa Sean memang menemukanku saat mereka melakukannya.
"Saat masih sekolah dulu, dia bisa. Sean satu-satunya anak mommy yang sering mendapat teguran dari sekolah gara-gara berantem dengan teman - temannya. Tapi, sejak ia lulus, mommy tidak mendengar dia berkelahi lagi. Kemungkinan Sean bisa sedikit." Jawab Mommy. Aku menganggukkan kepalaku seolah aku sudah puas dengan jawaban yang mommy berikan padaku.
"Sebenarnya aku bingung dengan sikap Sean, mom. Apa benar Sean menikahiku gara-gara aku mirip Arinka? Sean tidak pernah ingin aku membahasnya, dia selalu bilang tidak. Tapi, aku tidak percaya akan hal itu. Karena kami belum mengenal satu sama lain saat kami menikah." Akuku.
"Sean tidak mungkin memiliki alasan seperti itu. Yang mom tahu, Sean tidak ingin berhubungan dengan seseorang karena faktor fisik. Meskipun wanita itu jelek, jika Sean merasa nyaman, dia pasti akan
mengejar wanita itu." Jawab Mommy.
"Apa Sean pernah mengatakan alasannya menikah pada mommy?" Tanyaku.
"Tidak pernah. Kami juga tidak ingin tahu karena kami percaya pilihan Sean pasti yang terbaik." Jawab mommy.
Itu hanya yang bisa kau lihat, mom. Andai saja kau tahu bagaiamana keadaanku saat ini, mungkin mom dan keluarga Sean yang lain pasti akan menendang ku keluar dari kehidupan Sean. Entah mengapa, sejak aku merasa bahwa Sean telah berkorban untukku, mengakui kesalahanku sebagai kesalahannya, aku mulai tidak rela meninggalkan Sean. Rasanya, aku ingin terus berada di sisi Sean selamanya. Apa aku mulai jatuh cinta pada Sean? Entahlah, tapi yang jelas aku sudah tidak pantas lagi untuk Sean. Meskipun Sean terkenal sudah pernah bermain seks dengan wanita-wanita di luar sana, tapi tetap saja aku merasa tidak cocok dengan Sean karena tidak memberikan keperawanan ku pada Suamiku sendiri.
Melainkan keperawananku hilang dirampas orang-orang bajingan seperti mereka.
"Kok melamun?" Tegur mommy membuatku agak kaget dan tersadar dari lamunanku.
"Tidak apa-apa, mom." Jawabku.
"Sepertinya kamu memang butuh istirahat. Tidurlah! Mommy tidak apa-apa disini." Ucap mommy.
"Tapi mom."
"Tidak apa-apa, Fany. Pergilah ke kamar!" Ujar mommy lagi.
"Baik, mom." Jawabku. Bukan istirahat yang kubutuhkan, tapi waktu untuk memikirkan apakah perasaanku ini benar cinta atau bukan. Aku tidak tahu, tapi jika benar ini cinta, kenapa perasaan ini datang di saat yang tidak tepat?
.......
Cinta, benarkah? Benarkah aku jatuh cinta pada Sean? Tapi, kenapa perasaan ini datang disaat yang sudah tidak memungkinkan lagi. Jika aku mengatakan perasaanku pada Sean, apa dia masih bersedia menerima
perasaanku yang sudah hina ini?
Bagaiamana jika Sean menolak dan akhirnya membuang ku di saat perasaanku semakin dalam?
Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku tidak memiliki pilihan Lain selain menunggu Sean untuk melakukan sesuatu untukku. Entah itu menahan ku disisinya atau melempar ku keluar dari kehidupannya.
"Apa yang kau pikirkan?" Aku agak terkejut mendengar suara pria yang baru saja kupikirkan ada di depanku saat ini. sejak masuk ke dalam kamar, aku sudah tidak keluar lagi dan tidak tahu apakah mommy sudah pulang atau belum.
"Tidak, tidak ada." Jawabku.
"Kamu tidak bisa berbohong." Ucapnya.
"Sean. Ponselku hilang, otomatis nomor pengacara yang kau suruh untuk membantuku itu hilang." Ucapku. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkannya.
"Bisakah kamu memberiku nomornya lagi?" Tanyaku hati-hati.
"Untuk apa?" Tanya Sean.
"Aku membutuhkan bantuannya untuk,"
"Setelah apa yang kita lalui beberapa hari ini, masihkah kamu ingin pergi dariku?" Tanyanya dengan ekspresi yang tidak bagus. Entah marah atau apa, tapi yang jelas aku tidak menyukai ekspresinya saat ini.
"Sean, aku bukan wanita baik-baik. Aku wanita hina yang akan membawa kesialan bagimu." Ucapku jujur. Benar, sebelum terlambat, aku harus mengingatkan Sean tentang diriku yang sekarang. Aku tidak ingin Sean memiliki istri yang sudah lebih dulu dinikmati oleh orang lain yang tidak jelas asal usulnya.
"Baik atau tidak, bukan kamu yang menentukan. Tapi aku. Terlepas dari pantas atau tidak, aku tidak peduli. Kamu tetap disini, sampai mati pun aku tidak akan melepaskan mu." Ujarnya.
"Sean.
" Cukup, aku tidak akan mengabulkan permintaanmu. Jika kau masih bersikeras untuk menuntut pisah dariku, maka kau harus bunuh aku dulu!" Ucapnya. Apa aku tidak salah dengar? Kenapa Sean mengatakan hal seperti itu? Hanya demi tidak ingin aku pergi ia rela dihabisi? Tapi kenapa?
"Sean, kenapa sebenarnya dengan dirimu? Apa yang membuatmu tidak ingin melepaskanku yang hina ini?" Tanyaku.
"Karena aku mencintaimu. Apa kau sudah puas? Apa kau akan berhenti mengatakan hal itu lagi?" Ujarnya. Tidak. Aku tidak percaya dengan ucapannya. Dia sedang emosi, mungkin saja ia hanya ingin menggunakan alasan yang jelas tidak masuk akal itu untuk menahan ku.
"Jika benar kau mencintaiku, buktikan Sean! Aku perlu bukti!" Tantang ku.
"Apa yang kulakukan selama ini masih belum cukup? Bukti apa yang kau inginkan?" Tanyanya.
"Belum cukup, Sean. Aku ingin tahu sampai dimana kau mencintaiku." Kataku. .
"Baiklah, aku akan buktikan padamu. Katakan saja apa maumu. Aku akan melakukannya dengan senang hati." Katanya datar. Cih, dengan senang hati darimana? Sedangkan dia saja mengatakannya dengan penuh emosi yang meluap-luap.
"Mulai malam ini, tidurlah bersamaku!" Kataku. Sean justru menyeringai.
"Apa aku tidak salah dengar? Kau sendiri yang menolakku waktu itu, dan sekarang kau memintaku melakukan hal kebalikan?" Tanyanya.
"Kau tidak salah dengar. Jika kau memang tidak peduli aku adalah wanita hina dan kotor, maka kau tentu saja tidak akan keberatan tidur denganku, bukan begitu?" Tantang ku lagi.
"Ok." Jawabnya. Ia pergi ke kamar mandi, itu terlihat dari dirinya yang baru saja mengambil handuk dan piyama tidurnya dari dalam almari. Aku menghela nafas panjang, apakah Sean akan setuju tidur denganku? Ini hanya sekedar tidur saja, tidak akan ada hal lain selain tidur biasa. Tapi, kenapa dadaku seakan sesak merasakan detak jantungku yang berdetak tidak beraturan? Benarkah ini cinta?
Dua puluh menit kemudian, Sean kembali dengan mengenakan jubah tidurnya, dan satu kotak pizza di tangannya.
"Aku lihat di dapur tidak ada makanan. Jadi, aku sengaja pesan pizza untuk makan. Tidak apa-apa kan?" Tanyanya seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ia seperti melupakan semuanya.
"Tidak apa-apa. Aku minta maaf tidak melayanimu dengan benar hari ini." Ucapku.
"Jangan bicara seperti itu, kamu masih butuh istirahat. Tidak masalah." Jawabnya.
"Mumpung masih hangat. Ayo kita makan!" Ujarnya sambil membuka kotak pizza itu di atas ranjang. Ia pun juga duduk di sampingku.
"Besar sekali, apa ini akan habis dimakan kita berdua?" Tanyaku.
"Jika kamu tidak mampu menghabiskannya, aku bisa menghabiskannya." Jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak. Melihat tawanya membuat hatiku menghangat. Seperti inikah rasanya melihat orang yang dicintai bahagia? Entahlah. Yang pasti aku suka melihat Sean seperti itu daripada dingin dan datar seperti tembok es seperti saat di kantor.
......
Bersambung..