Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Vincent menyadari Areta belum juga kembali ke sisinya.
Ia melihat seorang wanita bergaun biru yang ia kira adalah Areta sedang berdiri sendirian di sudut ruangan sambil memegang piring makanan penutup.
"Mana istriku?"
Jonas menunjuk tangannya ke arah wanita bergaun biru yang sedang makan di sudut ballroom.
"Dia baru saja kembali dari kamar mandi, Tuan Vincent."
Vincent mengernyitkan keningnya dan berjalan cepat ke arah wanita itu, wajahnya sudah menampakkan amarah yang dingin.
"Areta, ayo kita menyapa tamu lain," ajak Vincent.
Wanita itu berbalik dengan wajahnya yang terkejut ketika melihat Vincent.
Vincent langsung membelalakkan matanya saat melihat wanita lain di balik gaun istrinya.
"Siapa kamu?" desis Vincent, suaranya sangat rendah dan mematikan.
Wanita itu menelan salivanya dengan wajah ketakutan melihat Vincent dari jarak dekat.
"Saya hanya seorang tamu, Tuan. Nyonya tadi mengatakan kalau ia diculik. Dia memberiku arloji ini agar aku membantunya keluar."
Wanita itu dengan gemetar menunjukkan arloji berlian yang melingkari pergelangan tangannya.
"JONAS!" raung Vincent sampai suaranya menggelegar di tengah keramaian.
Jonas berlari menghampiri Vincent dengan wajahnya yang langsung pucat.
"Cepat! Seluruh pasukan! Cari istriku! Dia lari! Terminal bus, stasiun, bandara! Blokir semua akses keluar kota!" perintah Vincent dengan suara penuh amarah yang tertahan.
Wajahnya langsung gelap, menyadari Areta telah mempermalukannya di depan klien-kliennya dan berhasil kabur di tengah acara high class.
Vincent menatap wanita itu dengan dingin dan membawanya ke tempat lain.
"Ikut aku! Kamu akan menjelaskan segalanya."
Permainan kucing-kucingan ini belum berakhir, dan Vincent berjanji pada dirinya sendiri, jika ia menemukan Areta kali ini, ia tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang sedikit pun.
Areta telah menguji kesabarannya sampai ke batas akhir
Sementara Vincent melampiaskan amarahnya di ballroom hotel.
Areta sudah berada di dalam taksi yang melaju kencang menuju terminal bus.
Ia mengenakan gaun formal sederhana yang terasa seperti baju pelayan dibandingkan gaun desainer, namun gaun itu terasa seperti seragam kebebasan.
Sesampainya di terminal bus,Areta bergegas turun.
Ia membeli tiket bus menuju kota yang paling jauh dengan sisa uang tunai yang ia bawa dari rumah.
Ia tidak mau membuang waktu dan Bus sudah siap berangkat.
Areta segera naik, mencari kursi di dekat jendela, dan merebahkan tubuhnya yang lelah. Ia menarik napas panjang, mengeluarkan napas lega yang tertahan.
Sopir bus mulai melajukan bis nya dan Areta segera membayar tiketnya kepada kondektur.
Saat bus mulai bergerak pelan, Areta memalingkan wajah ke jendela, menatap pintu masuk terminal yang mulai menjauh.
Tepat pada saat itu, sebuah mobil van hitam dengan kaca gelap memasuki terminal dengan kecepatan tinggi, disusul beberapa anak buah Vincent yang berhamburan keluar, mata mereka mencari-cari sosok Areta.
Sebuah senyum kecil terukir di bibir Areta yang berhasil meninggalkan kota.
"Akhirnya aku bebas," bisik Areta lirih, memejamkan mata, membiarkan bunyi mesin bus yang berisik menjadi melodi kebebasannya.
Ia berhasil lari dari belenggu, racun, dan janji hukuman yang mengerikan.
Bus itu menempuh perjalanan selama beberapa jam sampai membelah malam menjadi fajar.
Areta terbangun ketika kondektur mengumumkan pemberhentian akhir di sebuah terminal kecil yang terletak di daerah yang sangat terpencil dan dikelilingi perbukitan.
Ia turun dari bus, udara pagi yang dingin langsung menyergap kulitnya.
Areta melihat sekeliling ke daerah itu sunyi, jauh dari hingar bingar kota dan jangkauan Vincent.
Ia merasa aman untuk sesaat, namun kelelahan fisik dan mentalnya sudah mencapai batas.
Areta mulai berjalan menyusuri jalan setapak, mencari permukiman penduduk. Akhirnya, ia menemukan deretan rumah kayu sederhana.
Ia mengetuk salah satu pintu rumah yang terlihat paling tua.
Seorang lelaki paruh baya dengan wajah ramah membukakan pintu.
"Maaf, Pak. Apakah ada rumah kontrakan atau kamar yang bisa saya sewa? Hanya untuk beberapa hari," tanya Areta dengan suaranya yang serak.
Pria itu menatap Areta dengan pandangan kasihan, melihat wajahnya yang pucat dan gaun formal yang tampak lusuh.
"Ada, Nona. Ada kamar di belakang, bekas gudang. Tidak mewah, tapi cukup aman. Berapa lama Nona ingin tinggal?" tanyanya lembut.
"Aku hanya punya ini, Pak," ujar Areta, mengeluarkan sisa uang yang ia punya dari saku gaunnya.
Jumlahnya tidak banyak, tetapi itu adalah semua yang ia miliki.
Lelaki itu menghitung uang itu, lalu tersenyum tipis .
"Cukup, Nona. Mari, ikut saya. Nama saya Paman Tua."
Paman Tua menunjukkan sebuah kamar kecil dengan dinding kayu dan sebuah ranjang sederhana.
Setelah Areta masuk, Paman Tua membawakan selimut tebal dan meletakkannya di ranjang.
"Nona pasti lapar. Tunggu sebentar, saya siapkan sarapan," katanya.
Tak lama kemudian, Paman Tua kembali membawa sepiring nasi hangat dan teh manis.
Areta makan dengan cepat, merasakan energi perlahan kembali mengisi tubuhnya.
"Terima kasih, Paman Tua. Aku janji akan bayar sisanya nanti setelah aku mendapatkan pekerjaan," ucap Areta dengan perasaan yang lega mendapatkan kebaikan di tengah kesulitan.
"Jangan pikirkan itu dulu, Nona. Istirahatlah. Kamu terlihat sangat lelah," balas Paman Tua.
Areta menganggukkan kepalanya dan setelah itu Areta mengunci pintu dan segera merebahkan diri di ranjang.
Ia menarik selimut tebal itu hingga menutupi dagunya.
Rasa kantuk yang sangat kuat menyerang. Dalam hitungan detik, ia memejamkan matanya, berharap ketika ia terbangun nanti, ia akan melupakan semua mimpi buruk tentang Vincent.
Sementara Areta tertidur pulas di tempat persembunyiannya yang baru, di kota yang jauh, Vincent berada di kantor pusat, dikelilingi peta dan layar komputer.
Kemarahannya yang dingin kini berubah menjadi obsesi yang mematikan.
Anak buahnya, yang dipimpin oleh Jonas, berhasil melacak bus yang dinaiki Areta.
Mereka menemukan tujuan akhir bus itu adalah terminal kecil di kaki bukit yang terpencil.
Jonas melaporkan hasil temuan itu melalui telepon, suaranya penuh ketegasan.
"Tuan Vincent, kami sudah mengamankan rekaman terminal. Dia turun di sana, sendirian. Daerah itu terpencil, dan komunikasi sangat terbatas. Ini akan menyulitkan pencarian."
Vincent mendengarkan perkataan dari Jonas dengan rahangnya yang mengeras.
"Terus lacak. Aku tidak peduli betapa terpencilnya tempat itu. Aku tidak ingin ada satu orang pun yang mendahuluiku. Dia milikku."
Ia memutus panggilan. Vincent bangkit dari kursinya.
Ia tidak bisa lagi menunggu kabar dari anak buahnya.
Rasa posesif dan amarahnya menuntut tindakan segera.
Ia mengenakan jaket kulit hitam, mengambil kunci mobil sport-nya.
Ia tidak akan membiarkan anak buahnya menanganinya. Kali ini, ia sendiri yang akan mencari dan membawa pulang 'jaminannya' yang sangat nakal.
Vincent keluar dari rumahnya dengan wajahnya keras, matanya memancarkan tekad.
Ia tahu di mana Areta berada, dan jarak tak akan menghentikannya.
"Permainan ini harus berakhir, Areta. Dan kali ini, hukumanmu akan lebih abadi" gumam Vincent.
Vincent mulai melajukan mobilnya menuju ke daerah terpencil.
lanjut Thor💪😘