NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 Babak Baru: Kota Asing, Realitas Baru

Perjalanan panjang itu akhirnya usai. Matahari sore menyambut kedatangan mereka di kota tempat tinggal Riski—sebuah kota yang terasa asing dan hampa bagi Maya.

Debu jalanan dan hiruk pikuk kota itu terasa berbeda dengan "Teluk Cemara" yang dikenalnya. Namun, mereka tidak singgah lama di sana. Tas koper Maya bahkan tidak sempat dibongkar. Karena pekerjaan Riski sebagai manajer proyek menuntutnya untuk selalu berpindah-pindah tempat mengikuti lokasi proyek, kota ini hanyalah tempat transit.

Riski memberhentikan mobil di depan sebuah rumah.

"Kita istirahat sebentar di sini, May," ujar Riski, suaranya tenang. "Malam ini kita langsung berangkat lagi menuju lokasi proyek di kota lain. Umma Fatimah dan anak-anak sudah menunggu di dalam."

Hati Maya mencelos. Kelelahan fisik akibat perjalanan jauh lenyap seketika, digantikan oleh ketegangan yang mencekam.

Jadi, ini dia momennya.

Maya turun dari mobil dengan langkah ragu. Ia kini berada ribuan kilometer dari kota asalnya, sendirian, di kota asing, dan akan segera bertemu dengan madunya. Perasaan terasing, takut, dan cemas bercampur aduk menjadi satu. Ia sudah jauh dari Wawa, Hana, dan satu-satunya dukungan yang ia miliki. Kini, ia benar-benar sendirian di sarang orang asing.

Pintu rumah terbuka. Dari dalam, Umma Fatimah melangkah keluar dengan senyum ramah di wajahnya yang tertutup cadar, menyambut kedatangan Maya.

"Assalamualaikum, Maya," sapa Umma Fatimah, suaranya lembut. Dia bahkan memeluk Maya, pelukan hangat yang sedikit mengejutkan Maya, seolah menghapus ketakutan dan keraguan yang menghantuinya selama perjalanan.

"Waalaikumsalam, Kak," balas Maya.

Namun, kehangatan Umma Fatimah tak mampu sepenuhnya mencairkan ketegangan yang menguar dari dalam rumah. Di ruang tamu, duduk seorang wanita paruh baya dengan sorot mata yang dingin dan rahang mengeras. Dialah ibu kandung Riski, yang baru saja mengetahui pernikahan putranya dengan Maya. Kabar itu telah memicu badai dalam dirinya, amarah yang membeku menjadi penolakan yang nyata. Riski memang pernah proses taaruf sebelumnya, dan ibunya tahu. Tapi untuk Maya, pernikahan ini sengaja dirahasiakan, sebuah keputusan yang kini terbayar dengan jurang di antara mereka.

Maya melangkah mendekat, jantungnya berdebar tak karuan. Ia membungkuk hormat, mengulurkan tangan untuk menyalami ibu mertuanya. Namun, sang ibu hanya menarik tangannya sedikit, pandangannya beralih ke samping, menghindari tatapan Maya. Sebuah isyarat penolakan yang begitu jelas, menghantam Maya telak.

Maya kemudian mengambil tempat duduk di lantai, di antara anggota keluarga Riski yang lain. Hening menyelimuti ruangan, bukan keheningan yang nyaman, melainkan keheningan yang penuh penilaian. Semua mata menoleh padanya, menelusuri penampilannya, gerak-geriknya, seolah mencari kesalahan, mengukur kelayakan dirinya.

Maya hanya bisa menundukkan kepala, jemarinya meremas kain gamisnya. Merasa seperti objek di bawah mikroskop, ia kehilangan kata-kata, tak tahu bagaimana harus bereaksi. Tatapan-tatapan itu terasa seperti beban berat di dadanya, mengesankan bahwa kehadirannya di sana adalah sebuah anomali, sebuah kehadiran yang tidak diinginkan di tengah-tengah mereka.

......................

Fajar menyingsing di cakrawala, namun mobil mereka belum juga mencapai kota tujuan. Perjalanan yang memakan waktu belasan jam itu terasa tak berujung. Riski memutuskan untuk berhenti di sebuah rest area yang cukup ramai untuk istirahat, salat subuh, dan sarapan.

Maya turun dari mobil dengan tubuh kaku dan hati yang beku. Kelelahan fisik bercampur dengan kelelahan batin. Ia menatap ke sekeliling, mencoba menemukan tempat untuk menyendiri sejenak, tapi matanya terpaku pada pemandangan di depannya.

Riski dan Umma Fatimah berjalan berdampingan menuju mushola, lalu ke area makan, seolah tak ada orang lain lagi di dunia ini. Maya hanya bisa menatap punggung mereka dari kejauhan.

Saat sarapan di salah satu warung makan sederhana, pemandangan itu kembali mengiris hati Maya. Umma Fatimah duduk tepat di samping Riski, atau terkadang berhadapan, gestur intim sepasang suami istri yang sudah terbiasa bersama. Tawa kecil Riski terdengar lagi saat berbicara dengan Umma Fatimah dan anak-anak.

"Ya Allah, sakit sekali rasanya."

Maya yang sadar diri akan posisinya pun hanya diam. Ia memilih untuk duduk di dekat anak-anak sambungnya, sedikit jauh dari Umma Fatimah juga Riski. Meskipun hatinya teramat sakit melihat pemandangan itu, ia tahu diri. Statusnya adalah Perempuan Kedua, yang keberadaannya seolah hanya pelengkap, bayangan.

Setiap suapan terasa hambar di lidahnya. Air mata yang ia tahan sejak tadi pagi kini mendesak keluar, tersembunyi di balik cadar dan kesibukan pura-pura makan. Ia merasa diabaikan, sendirian, di tengah keluarga suaminya sendiri. Ekspektasi tentang keadilan di awal pernikahan ini, kini terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Sebuah janji yang terkikis oleh realitas dingin di meja makan rest area itu.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan badai di dadanya. Dicoba untuk fokus pada sarapannya, pada suara anak-anak yang sesekali memanggil, pada hiruk-pikuk rest area yang ramai. Namun, semua itu terasa jauh. Hatinya terpaku pada pemandangan yang tak jauh darinya, pada tawa ringan, pada sentuhan-sentuhan kecil yang seolah sengaja diperlihatkan.

Maya menunduk, mencoba menyembunyikan getaran di bahunya. Rasa sakit itu perih, menggerogoti sedikit demi sedikit harapannya. Pertanyaan-pertanyaan berputar di benaknya. Sampai kapan ia harus menelan pil pahit ini? Sampai kapan ia harus menjadi bayangan dalam kehidupan yang seharusnya juga miliknya?

Sarapan berakhir dalam keheningan yang menyakitkan bagi Maya. Ia bangkit, membereskan piringnya dengan gerakan mekanis. Saat berpapasan dengan Riski dan Umma Fatimah, hanya ada tatapan sekilas, tanpa sapa, tanpa senyum.

Perjalanan dilanjutkan. Maya duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Pemandangan berganti-ganti, namun di dalam hatinya, rasa sakit itu tetap sama, membekas seperti luka yang sulit sembuh. Fajar di rest area tadi bukan hanya menandai dimulainya hari, tapi juga terlukanya hati yang terabaikan, hati seorang Perempuan Kedua yang merindukan tempatnya, bahkan sekadar di meja makan.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Mesin mobil menderu, membelah jalanan pedesaan yang mulai ramai di pagi hari. Riski di kursi pengemudi, Umma Fatimah di sampingnya. Maya di kursi paling belakang.

Hati Maya kembali sakit, kali ini merasakan sesak yang teramat sangat, seolah ada tangan tak kasat mata meremas jantungnya. Di depan matanya, melalui celah sempit antara sandaran kepala, Maya bukan hanya melihat, tapi juga mendengar obrolan Umma Fatimah dan Riski yang begitu intim.

Mereka tertawa bersama, tawa ringan yang menyakitkan bagi Maya. Sesekali Umma Fatimah bertanya kepada Maya, sekadar basa-basi: "Maya sudah nyaman di belakang?", "Perlu selimut, May?". Pertanyaan yang terasa hampa, hanya untuk memenuhi etika, lalu kembali larut dalam dunia mereka berdua. Lebih seringnya Umma Fatimah dan Riski mengobrol seru, membahas hal-hal remeh temeh rumah tangga dan pekerjaan, seolah lupa akan kehadiran Maya, yang seharusnya Umma Fatimah paham untuk menjaga perasaan madunya.

Maya sadar, ia adalah orang asing di dalam mobil ini.

Tak sanggup lagi menahan rasa perih di dada, Maya merogoh tasnya. Ia memutuskan untuk memakai headset dan memutar murotal di ponselnya, mencari kedamaian dalam lantunan ayat suci Al-Qur'an.

Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ayat itu terngiang di kepalanya, namun air mata sudah menetes, membasahi pipinya di balik cadar. Dengan cepat Maya menghapus air mata tersebut, tidak ingin ada yang melihat kerapuhannya.

Maya memilih menenggelamkan tubuhnya di kursi belakang, berbaring miring, meringkuk, sembari mendengarkan lantunan ayat al-quran melalui headset nya. Suara merdu qari itu menjadi satu-satunya penguat di tengah rasa sakit yang menghantam.

Di kursi belakang mobil yang melaju kencang, Maya menutup matanya rapat-rapat. Dia mencoba fokus pada murottal yang mengalun di telinganya, memohon agar hati yang remuk ini ditenangkan.

Mobil itu mengantarnya menuju kehidupan baru, menuju peran barunya sebagai Perempuan Kedua. Namun, yang ia temukan hanyalah kesunyian yang memekakkan, isolasi yang dingin, dan janji-janji yang terasa hambar. Perjalanan ini bukan lagi tentang mencapai kota tujuan, melainkan tentang perjalanan batin yang terasa begitu panjang dan sunyi, di mana ia harus belajar bertahan hidup dalam keheningan, menguatkan hati yang terus terluka oleh realitas berbagi yang terasa begitu tidak adil.

Dan di tengah kedinginan itu, hanya lantunan ayat suci yang menjadi satu-satunya teman, satu-satunya pengingat bahwa Allah bersamanya, meskipun ia merasa sendirian di dunia ini.

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!