NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Yang Mulai Retak

Angin sore Bandung berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sepanjang siang. Dari balik jendela rumah masa kecilku, aku memandangi halaman yang sudah lama tak terurus. Rumputnya tumbuh liar, pot bunga milik Bu Murni terlihat berdebu, dan pagar kayu yang dulu dicat ayah kini mulai lapuk. Rumah itu berdiri utuh, tetapi rasanya kosong. Hening. Seperti ada ruang besar yang tidak terlihat namun selalu hadir ruang yang selama ini diisi oleh ketegangan, diam-diam merayap tanpa kami sadari.

Namaku Alya, anak pertama dari empat bersaudara. Setiap sudut rumah ini menyimpan cerita. Dapur dengan suara ibu yang cerewet, ruang tengah tempat Pak Rahman sering duduk membaca koran, lorong sempit yang sering kami pakai bermain kejar-kejaran. Semua itu dulu terasa hangat. Tapi sore ini… berbeda. Hangatnya hilang, berganti dingin yang menusuk sampai tulang.

Aku pulang setelah dua tahun menikah dengan Ardi, suami yang dijodohkan keluargaku. Pernikahan kami belum sepenuhnya kukenal, belum sepenuhnya kumengerti, tapi kami berusaha. Ketika Ibu menelpon tadi pagi dengan suara bergetar, aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi aku tidak menyangka sebesar ini.

“Ibu?” panggilku saat masuk.

Bu Murni muncul dari dapur dengan wajah pucat. Semua raut kuat yang biasa kulihat hilang begitu saja. Kerudungnya tidak rapi, matanya sembab. Aku merasa ingin memeluknya saat itu juga.

“Kamu sudah datang, Nak,” katanya.

Aku menggenggam tangannya. “Ibu kenapa? Ada apa? Ibu sakit?”

Ia menggeleng. “Nanti kita bicara kalau adik-adikmu sudah kumpul.”

Aku menahan napas. Itu tidak seperti Ibu. Ia bukan tipe orang yang menunda sesuatu… kecuali itu sangat berat. Dan firasat itu menghantam dadaku lagi.

Satu per satu adik-adikku datang. Dimas, yang kini bekerja di sebuah bengkel dekat Antapani. Laras, yang hamil besar dan masih berduka atas anaknya yang meninggal dua bulan lalu. Dan Raka, si bungsu yang baru kelas sebelas SMA.

Kami duduk di ruang tamu. Tidak ada tanda Pak Rahman. Tidak ada suara apa pun kecuali hujan tipis di luar dan detak jam dinding yang terasa terlalu keras.

Ibu duduk di kursi di hadapan kami. Tangannya terus bergerak gelisah, seolah berusaha menemukan kekuatan dari gesekan jari-jarinya sendiri.

“Ada sesuatu yang harus Ibu sampaikan,” katanya.

Ruang itu langsung senyap.

“Ayah kalian…” Ibu menarik napas panjang, suaranya pecah, “…Ibu dan ayahmu, Pak Rahman, sudah tidak bisa bersama lagi.”

Perkataan itu menghantam seperti badai.

“Apa maksud Ibu?” tanyaku pelan.

Dengan mata berkaca-kaca, Ibu melanjutkan, “Kami sudah bercerai. Resmi. Sudah selesai beberapa minggu lalu.”

Aku merasakan kepalaku berdengung. Laras langsung menangis sambil menutup wajahnya. Dimas menunduk dalam, rahangnya tegang seperti menahan sesuatu yang ingin pecah. Raka hanya menatap lantai, tubuhnya terpaku.

Aku membeku. Tidak tahu harus berkata apa, melakukan apa, atau bereaksi bagaimana. Ini rumah tempat aku tumbuh tiga puluh tahun. Rumah yang kubayangkan akan tetap utuh sampai aku memiliki cucu. Rumah yang selalu kupikir kuat.

“Sejak kapan?” tanyaku akhirnya, suara serak.

“Sudah lama retaknya, Nak,” jawab Bu Murni lirih. “Kalian mungkin tidak lihat… tapi Ibu merasakannya setiap hari.”

Aku menelan ludah, lidahku kering.

Ibu melanjutkan, “Ayah kalian sudah pindah dari rumah ini tiga minggu lalu. Ibu baru sanggup bicara hari ini.”

Tiba-tiba semuanya masuk akal. Keheningan beberapa hari terakhir. Panggilan ayah yang jarang. Tatapan Ibu yang sering kosong. Bandung, dengan udara sejuknya, terasa semakin dingin.

“Ibu… kenapa tidak cerita dari awal?” bisikku.

“Alya… kalian sudah cukup terluka dengan kehilangan bayi Laras,” kata Ibu sambil menatap perut besar adikku. “Ibu tidak tega menambah beban kalian.”

Kalimat itu menghantam dadaku. Laras menangis semakin keras. Dimas menggenggam tangannya sendiri sampai buku jarinya memutih.

Raka menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dan masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun.

Aku memandang ruang tamu. Sofa tempat ayah sering tertidur. Rak buku kecil yang dulu kami isi bersama. Foto keluarga besar yang kini terasa seperti ironi.

Aku merasa seperti anak kecil lagi takut, bingung, dan tidak tahu harus berpihak pada siapa.

Bu Murni menatapku, seolah mencari penopang. “Maafkan Ibu, Nak. Ibu sudah berusaha… tapi kadang cinta yang dipaksa bertahan hanya membuat luka makin besar.”

Aku meraih tangan Ibu dan menggenggam erat. “Ibu nggak sendiri. Ada aku, ada Dimas, Laras, dan Raka.”

Ibu tersenyum tipis, walau air mata tetap jatuh. “Terima kasih, Alya.”

Di luar, hujan semakin deras. Aroma tanah basah merayap lewat jendela. Bandung seolah ikut menangis bersama kami.

Aku memeluk perutku sendiri masih kosong, tapi entah kenapa malam itu aku merasa ada ruang kecil dalam diriku yang digerakkan oleh sesuatu. Sesuatu yang belum pernah kupahami.

Sebagai anak pertama, aku selalu merasa bertanggung jawab. Tapi malam itu… tanggung jawab itu berubah bentuk. Tidak lagi soal menjaga adik-adik, tapi menjaga sesuatu yang lebih besar masa depan keluarga ini agar tidak benar-benar runtuh.

Dan dalam sunyi itu, aku menyadari sesuatu: Rumah ini tidak retak hari ini. Rumah ini sudah lama retak. Hanya saja malam ini… retakan itu akhirnya terdengar.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meski dadaku masih terasa sesak. Ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan, tetapi semua pertanyaan itu seperti saling menabrak di kepalaku dan membuatku hanya terdiam. Ibu menyeka air matanya perlahan, namun justru itu yang membuatku semakin tidak sanggup melihatnya.

“Alya… kamu nggak apa-apa?” tanya Ibu lirih.

Aku mengangguk, meskipun kenyataannya jauh dari baik-baik saja. “Aku… cuma kaget, Bu.”

Sebenarnya bukan sekadar kaget lebih seperti kehilangan sesuatu yang selama ini kupikir tidak akan pernah runtuh. Ada bagian dari diri yang tiba-tiba kosong, seperti lantai yang hilang dari bawah kaki. Aku menunduk dalam, memejamkan mata, berharap perasaan itu mereda walau sedikit.

Ibu menyentuh pundakku. “Ibu tahu ini berat… tapi keputusan ini bukan dibuat dalam sehari. Tahun-tahun terakhir ini… Ibu dan Ayah kamu sudah berusaha, Nak. Tapi kalau diteruskan, yang tersisa hanya saling menyakiti.”

Aku membuka mata, menatap wajah Ibu yang tampak jauh lebih tua dari usianya. “Tapi Bu… tiga puluh tahun itu waktu yang lama. Masa semuanya selesai begitu aja?”

“Ibu juga nggak nyangka, Alya,” katanya pelan. “Kadang… rumah bisa runtuh tanpa suara. Retaknya kecil, tapi lama-lama melebar. Ibu bertahan bukan karena bahagia… tapi karena berharap semuanya berubah. Tapi harapan itu lama-lama hilang.”

Kata-katanya menusuk. Bukan karena aku marah, tapi karena aku tahu Ibu benar. Aku pernah melihat tatapan Ayah beberapa tahun terakhir tatapan orang yang lelah, tapi tidak tahu arah pulang. Dan aku juga melihat tatapan Ibu tatapan perempuan yang terus mencoba mengikat sesuatu yang sebenarnya sudah terlepas.

Laras akhirnya menghapus air matanya dan menatap Ibu. “Kalau Ayah pergi… Ibu tinggal di sini sendirian?”

“Iya.” Ibu tersenyum samar. “Ibu udah biasa kok. Rumah ini tenang… meski kadang terlalu tenang.”

Aku menatap sekeliling. Dinding-dinding rumah yang kupikir kokoh ternyata menyimpan begitu banyak cerita yang tidak kami lihat. Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aku akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Ibu.

Raka kembali dari kamarnya, matanya merah. Ia duduk di lantai, bersandar ke dinding. Tidak bicara, hanya menatap lurus ke arah jendela. Hujan di luar semakin deras, membuat kaca dipenuhi titik-titik air yang mengalir perlahan.

“Kita bisa ketemu Ayah kapan, Bu?” tanya Dimas akhirnya.

“Kapan pun kalian mau… Ayah kalian tetap ayah kalian,” jawab Ibu dengan suara yang hampir pecah. “Perceraian ini cuma soal aku dan dia… bukan kalian.”

Kalimat itu membuatku tersentak.

Benar apa pun yang terjadi, ikatan darah tidak hilang. Tapi tetap saja rasanya aneh… membayangkan Ayah tidak lagi pulang ke rumah ini. Tidak lagi duduk di kursi kesayangannya. Tidak lagi ada suara kecapekan setiap habis pulang kerja.

Aku meremas ujung jilbabku sendiri. “Bu… malam ini aku nginep di sini ya.”

Ibu menatapku lama, lalu mengangguk. “Ibu senang kamu di sini.”

Dimas dan Laras pamit pulang lebih dulu. Sementara Raka tetap diam, mungkin terlalu terpukul untuk mengatakan apa pun. Setelah membantu Ibu merapikan gelas-gelas di meja, aku duduk lagi di ruang tamu. Malam semakin larut hujan mereda tapi udara tetap dingin.

Ibu datang membawa selimut dan duduk di sampingku. “Alya…”

Aku menoleh. “Iya, Bu?”

“Maaf kalau Ibu bikin kamu sedih.”

Aku menggeleng cepat. “Nggak, Bu. Aku cuma… nggak nyangka semuanya berubah secepat ini.”

Ibu menatapku dalam. “Hidup kadang gitu, Nak. Yang kita kira kokoh bisa runtuh dalam satu hari. Yang kita kira akan tinggal selamanya… bisa pergi tanpa sempat pamit.”

Ada berat yang tak terucap dalam kalimat itu. Sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang terlihat. Dan aku tiba-tiba merasa ingin menangis lagi bukan karena marah, tapi karena kehilangan sesuatu yang tidak terlihat.

Setelah beberapa menit diam, Ibu bertanya, “Ardi gimana? Dia sudah kamu kabari?”

“Belum,” jawabku. “Dia lagi kerja sore. Lagian… aku nggak tahu harus mulai dari mana kalau cerita.”

Ibu tersenyum tipis. “Nanti kalau kamu cerita, bilang sama dia… kamu punya Ibu yang cerewet tapi sayang sama kamu.”

Aku tertawa pelan, meski rasanya getir. “Iya, Bu…”

Malam semakin sunyi. Lampu ruang tamu temaram, dan dari luar hanya terdengar suara tetesan air dari atap. Aku bersandar ke sofa, memeluk lututku sendiri.

Dan tiba-tiba, di tengah keheningan itu, aku merasakan sesuatu yang aneh perasaan seperti ingin melindungi Ibu sekuat yang kubisa. Seolah ada dorongan baru di dalam diriku yang ingin membuat beliau tetap berdiri meski semuanya runtuh.

Entah mengapa, aku merasa seperti sedang berdiri di awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar perceraian orang tua. Seperti ada jalan panjang yang belum terlihat ujungnya, tapi aku harus siap berjalan di atasnya.

Karena malam itu, satu hal menjadi sangat jelas dalam diriku:

Ini bukan akhir cerita kami. Ini baru bab pertama. Bab tentang retakan yang akhirnya terdengar, agar suatu hari nanti… kami bisa belajar membangun ulang sesuatu yang lebih kuat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!