NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Bab 15

Beberapa jam kemudian.

“Aryo, ada masalah apa kau?” Chris masuk ke ruangan Group Tiga dengan langkah tergesa-gesa, raut wajahnya penuh kekhawatiran.

“Apa maksudnya?” Aryo menanggapi tenang, menatap layar komputernya seolah tak ingin diganggu. Namun hatinya sudah berdegup sedikit lebih cepat.

“Ada polisi mencarimu,” kata Chris sambil menaruh tangan di pinggang, nada suaranya teGang.

“Sial.” Aryo bangkit dari kursinya, mendecak pelan. Ia menatap jendela, melihat kota J yang tampak tenang, tidak menyadari badai yang tengah mengincarnya.

“Ada masalah apa kau?” desak Chris, mendekat. “Siapa tahu aku bisa bantu.”

“Aku tidak tahu,” Aryo menjawab singkat, matanya menatap jauh ke depan.

Tak lama kemudian, dua orang polisi—satu wanita, satu laki-laki—memasuki ruangan Group Tiga dengan langkah mantap. Suasana mendadak tegang.

“Anda Aryo Pamungkas?” tanya yang wanita dengan nada resmi.

Aryo berdiri, menatap mereka dingin. “Benar.”

“Saya Gladys dan rekan saya Pongki. Kami hendak minta keterangan dari Anda. Mari ikut kami ke kantor,” ujar wanita itu sambil memberi gerakan tangan yang mempersilakan.

“Bolehkah saya bertanya, ada perkara apa ya?” Aryo mencoba terdengar tenang, meski hatinya mulai berdebar.

“Anda dicurigai telah membunuh seseorang. Mari ikut kami ke kantor untuk informasi lebih lanjut,” Gladys menjawab, tatapannya serius.

Aryo menuruti. Ia tidak mau membuat gaduh di kantor. Sebelum meninggalkan ruangan, ia cepat-cepat mengirim pesan kepada Meliana: “Aku akan dibawa ke kantor polisi. Jangan panik.”

“Kamu yang membunuh Jerry Zola ya?” balas Meliana singkat.

“Tentu saja tidak. Mereka hanya mau minta keterangan,” jawab Aryo, mencoba tetap tenang.

“Semoga kamu dipenjara. Mungkin itu cara lain agar pertunangan ini batal.”

“Jangan mimpi,” balas Aryo, menyisipkan nada iseng untuk menenangkan Meliana.

Di lantai yang sama, Carlo yang sedang berkeliling melihat Aryo digiring Gladys dan Pongki. Ia menangkap sekilas percakapan tentang dugaan keterlibatan Aryo dalam kematian Jerry Zola. Wajahnya mengeras, cepat-cepat ia melangkah menuju Direktur Lilia.

“Aryo ditangkap polisi, Bu,” lapornya, nada khawatir terdengar jelas.

“Ha? Ada masalah apa?” Bu Lilia tampak terkejut, jarang ia melihat hal-hal seperti ini terjadi di Group Tiga.

“Dia dicurigai membunuh seseorang,” lanjut Carlo, raut wajahnya serius.

Direktur Lilia bangkit berdiri, menatap Carlo. “Aryo? Membunuh orang? Itu tidak mungkin.”

“Semoga tuduhan itu tidak benar,” Carlo menambahkan, sambil menundukkan kepala sedikit, mencari muka.

“Ya ya ya. Terima kasih infonya. Silakan kembali ke tempatmu,” kata Lilia, mencoba menenangkan diri.

Tidak menunggu lama, Direktur Lilia langsung mengangkat telepon dan menelepon Pak Kamal.

“Terima kasih informasinya. Bu Lilia tidak usah bertindak apa pun. Masalah ini biar saya yang menangani,” jawab Pak Kamal dengan nada tenang tapi tegas.

Dalam perjalanan menuju kantor polisi, pikiran Aryo terus berputar. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Firasatnya mengatakan, ini pasti jebakan yang dirancang rapi. Ia mencoba menenangkan diri, berulang kali menarik napas panjang.

Di kantor polisi, Gladys dan Pongki menyuruh Aryo menunggu di ruang interogasi. Aryo memperhatikan led kamera CCTV mati—tanda jelas bahwa ada manipulasi. Tangannya diborgol di meja, sementara matanya meneliti setiap sudut ruangan, mencatat kemungkinan adanya orang dalam.

Gladys dan Pongki duduk di depannya, mulai membuka catatan mereka. Namun sebelum mereka bisa menanyakan apapun, empat orang berseragam polisi masuk secara tiba-tiba.

“Kami utusan Kapolda,” kata yang tampak sebagai pemimpin, sambil memperlihatkan surat penugasan resmi. “Kami ambil alih dari sini. Kalian boleh pergi.”

Gladys dan Pongki saling berpandangan, heran. Setelah membaca surat itu, mereka keluar dengan langkah waspada.

Sementara itu, keempat polisi baru menatap Aryo dengan mata tajam. “Kau Aryo Pamungkas?” tanya salah satu, suaranya dingin.

“Ya, benar,” Aryo menjawab singkat, mencoba menahan rasa takut dan penasaran.

Tanpa basa-basi, mereka menuntut: “Kau yang bunuh Jerry Zola?”

Aryo mengernyit, bingung dan marah. “Kenapa saya yang dituduh? Saya tidak ada urusan sama dia, bahkan tidak kenal.”

“Jawab pertanyaan kami. Kau yang bunuh bukan?” mereka mendesak.

“Bukan lah!” Aryo menjawab tegas. Tapi tiba-tiba, kepalanya dipukul dari samping, membuat telinganya berdenging dan pandangan sedikit kabur.

“Di mana kau semalam jam sepuluh sampai jam dua belas?” tanya mereka lagi.

“Di apartemen,” Aryo menjawab.

“Ada yang bisa membuktikan?”

“Ada. Telepon saja CEO Andara Group,” Aryo menyahut.

Salah satu dari mereka keluar untuk menelpon. Beberapa menit kemudian masuk kembali. “Tidak terkonfirmasi. Orang ini bohong,” katanya dingin.

Aryo tercengang. Tidak mungkin Meliana berbohong. Itu pasti permainan licik orang dalam.

Dia dijambak, tubuhnya tersentak. “Jangan bohong dengan kami. Kalau bukan kau yang bunuh, pasti kau punya orang suruhan. Sebutkan nama mereka!”

Aryo tetap diam. Ia sadar menjawab hanya akan memperburuk situasi; mereka bisa memutar balik kata-katanya untuk menjeratnya.

“Apa hubunganmu dengan Thania?” mereka melanjutkan dengan nada menyudutkan.

Aryo tetap diam.

Pukulan ke perutnya membuatnya terbatuk-batuk, tubuhnya menggeliat menahan sakit.

Dari cara mereka bertindak, Aryo yakin ini adalah orang suruhan keluarga Zola, yang berani menyusup ke kantor polisi. Ada kemungkinan besar mereka punya orang dalam, seorang informan di institusi itu.

“Jawab pertanyaan kami!” dua dari mereka menggebrak meja.

Tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Aryo. Borgol di mejanya dilepas sementara, kemudian dipasang kembali di belakang punggungnya, kaki juga diborgol.

“Kalau kau tidak segera menjawab, kau akan habis,” ancam mereka.

Aryo meludahi salah seorang polisi. “Polisi palsu!”

Empat polisi gadungan itu semakin ganas. Tendangan, pukulan, dan serangan kombinasi terus membombardir tubuh Aryo, namun ia tetap mencoba bertahan, menahan diri dari rasa sakit.

“Akui saja kau yang bunuh Jerry Zola!” bentak mereka, urat leher mereka menonjol karena menegangkan otot.

Di kantor Gladys, ia menatap layar komputer dengan cemas. “Ada yang aneh. Aku tidak mengenali empat orang itu,” katanya pada Pongki.

“Benar, ada yang tidak beres,” jawab Pongki, tangannya cepat mengetik di keyboard untuk mencari informasi tentang Aryo Pamungkas.

“Dia tampak bukan tipe pembunuh,” ujar Gladys sambil menatap Aryo di layar CCTV. “Dia orang baik hati.”

“Ya, catatannya bersih. Tidak ada yang aneh,” Pongki menambahkan.

“Tunggu dulu. Lihat itu,” kata Gladys, menunjuk video rekaman CCTV lain.

“Itu video waktu perampokan di Money Changer beberapa hari lalu.”

“Bukankah itu dia?”

“Benar. Orang yang meringkus perampok itu Aryo Pamungkas,” Pongki memastikan.

Mereka berdua segera berlari menuju ruang interogasi, namun pintunya terkunci dari dalam. Mereka menggedor-gedor tanpa dihiraukan. Gladys kemudian menghadap kepala divisinya, Pak Cakra, untuk menyalakan rekaman CCTV ruang interogasi.

“Wah, kenapa dia dikeroyok begitu oleh polisi utusan kapolda?” kepala divisi bertanya bingung.

“Mereka polisi abal-abal,” simpul Gladys.

“Kenapa kita bisa kecolongan? Kenapa Aryo Pamungkas dipanggil?”

“Ada yang melaporkan dirinya terlibat pembunuhan Jerry Zola,” jelas Gladys.

Beberapa lama kemudian, Pak Kamal bersama Walikota Sabra tiba di kantor kepala divisi.

“Di mana Aryo Pamungkas?” desak Pak Kamal.

“Di ruang interogasi,” jawab kepala divisi.

“Apa-apaan itu?” Walikota Sabra berang melihat rekaman CCTV. “Tidak seperti itu caranya interogasi.”

Pak Walikota menyuruh kepala divisi dan timnya segera ke ruang interogasi.

Di dalam, Aryo masih ditekan, tubuhnya berdarah memar, tapi matanya tetap menatap tegas ke depan.

“Kenapa kau tetap diam saja?” tendangan masih melayang ke perut Aryo.

“Kuat sekali dia, tuan. Dari tadi cengar-cengir saja,” kata salah satu polisi gadungan, bingung melihat keteguhan Aryo.

“Dia bukan orang sembarangan. Makanya pantas kalau dia bisa membunuh Jerry Zola dengan mudah,” komentar yang lain.

“Hei jawab, kau kan yang bunuh Jerry Zola?” mereka berseru lagi.

Si ketua mengangkat Aryo yang sudah lemah ke kursi, mencekik lehernya. “Masih bungkam? Kau pasti dididik di militer ya?”

Pintu ruang interogasi dibobol paksa. Walikota Sabra dan Pak Kamal masuk terlebih dahulu.

“Hentikan semua ini!” gelegar suara Pak Walikota Sabra. “Siapa kalian?”

Gladys dan Pongki maju, menodongkan pistol ke empat polisi gadungan. Mereka langsung angkat tangan dan berlutut. Polisi lain yang masuk segera memborgol mereka.

“Kenapa hal ceroboh seperti ini bisa terjadi? Begitu mudahnya kantor kalian disusupi orang asing,” murka Walikota Sabra.

Empat polisi gadungan itu dibawa keluar dan dimasukkan ke ruang tahanan. Pak Walikota Sabra menempeleng mereka semua, tegas. “Jangan macam-macam di kota saya!”

Kemudian Pak Kamal dan Walikota Sabra menengok keadaan Aryo.

“Aryo, apa yang mereka inginkan?” tanya Pak Kamal.

Aryo lemah, tubuhnya penuh memar. Ia hanya menggeleng, memberi tanda bahwa nanti ia akan bicara.

“Panggilkan medis. Obati pahlawan ini,” perintah Walikota Sabra.

Di ruang medis, Pak Kamal dan Walikota Sabra menemani Aryo. Setelah cukup pulih, Aryo berbisik:

“Ada yang ingin menjebak saya sebagai pembunuh Jerry Zola.”

“Bukan kamu kan pembunuhnya?” tanya Pak Kamal, menatap Aryo penuh perhatian.

“Bukan. Saya akan cari tahu kebenarannya,” jawab Aryo dengan suara pelan namun tegas, matanya menatap jauh ke depan.

Dalam hati, Aryo mengutuk keras Gaston. Ia tahu, langkah kejam itu pasti ada kaitannya dengan upaya membungkamnya dan melindungi kepentingan orang tertentu. Kini Aryo harus berhati-hati. Setiap langkah, setiap gerakannya, bisa dipantau oleh musuh yang tak terlihat.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!