Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKAD
Hujan tipis menyelimuti Jakarta malam itu. Kilau lampu dari menara-menara kaca memantul di permukaan jalan yang basah, sementara udara dingin menyusup ke ruang kerja utama di lantai tertinggi Dirgantara Tower.
Arif berdiri tegak di hadapan ayahnya, Hartono Dirgantara, dengan raut tegas namun menahan gejolak. Di belakang sang ayah, Diah Ningrum duduk anggun di sofa kulit abu, tangan terlipat di pangkuan, menatap anak tunggalnya dengan tatapan tajam yang sukar dibaca.
“Ayah, Ibu,” ucap Arif perlahan namun mantap, “aku sudah memutuskan. Aku akan menikahi Retno Kinasih.”
Suasana di ruangan itu menegang seketika.
Hartono menyandarkan punggung, pandangannya menusuk. “Kau sadar siapa dia?” tanyanya datar. “Ia karyawan biasa, anak keluarga sederhana. Kau, Arif Dirgantara—satu-satunya penerus keluarga ini.”
“Aku sadar, Ayah,” jawab Arif tanpa gentar. “Dan justru karena aku sadar, aku tidak akan membiarkan siapa pun—bahkan keluarga sendiri—menghalangi niat ini. Aku mencintainya, dan itu cukup bagi hidupku.”
Diah Ningrum menautkan jari, suaranya lembut tapi mengandung dingin yang memotong udara.
“Arif, cinta tidak menafikan tanggung jawab. Nama besar keluarga Dirgantara dibangun puluhan tahun. Kami tidak dapat membiarkan satu keputusan tergesa menjatuhkan reputasi yang dijaga begitu lama.”
Arif menatap ibunya dengan pandangan yang tenang tapi berisi perlawanan. “Aku tidak meminta kalian memahami perasaanku. Aku hanya meminta izin agar kami menikah dengan hormat. Bila restu tak bisa kalian berikan, aku akan tetap melakukannya.”
Hartono mencondongkan tubuh. “Kau berani menentang keluarga sendiri?”
Arif menarik napas panjang. “Aku berani memperjuangkan perempuan yang jujur, bekerja dengan hati, dan tidak pernah meminta apa pun selain kejujuran dariku.”
Hening panjang mengisi ruangan. Lalu Hartono berkata lirih namun tegas, “Baik. Jika itu keputusanmu, kami tidak akan menghalangi. Namun jangan berharap pesta besar, jangan di Jakarta. Kami tidak ingin nama Dirgantara jadi bahan pembicaraan publik. Lakukan secara sederhana, diam-diam. Anggap ini bentuk kami ‘mengalah’.”
Diah Ningrum menimpali dengan nada sama dinginnya, “Kau boleh menyebutnya restu, tapi ingat, setiap keputusan ada konsekuensinya.”
Arif menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, walau ia tahu kata-kata itu mengandung ancaman halus. Dalam hati, ia berjanji menjaga Retno apa pun risikonya.
Di Bekasi, Retno Kinasih memandangi layar ponsel dengan tangan bergetar. Pesan dari Arif baru saja masuk: Restu sudah kuperoleh. Kita menikah di Bandung. Sederhana, tapi sah di mata Tuhan.
Air matanya menetes pelan. Ia tahu Arif menempuh jalan panjang untuk sampai pada keputusan itu.
Malam itu ia menelepon ibunya di Semarang.
“Bu… besok Retno akan menikah,” ucapnya perlahan. “Mas Arif ingin semuanya sederhana.”
Di seberang, Bu Kinasih terdiam lama sebelum menjawab, “Ibu tidak bisa hadir, Nak. Tapi doa Ibu bersamamu. Jalani dengan hati yang jernih. Dunia tempatmu melangkah kelak tidak mudah.”
Pak Suyoto, yang duduk di kursi bambu samping istrinya, menambahkan, “Bahagia itu bukan soal besar kecilnya pesta, tapi bagaimana kalian saling menjaga setelahnya.”
Retno tersenyum kecil, matanya basah. “Terima kasih, Bu… Pak. Retno akan berusaha.”
Keesokan paginya, udara Lembang sejuk menusuk. Sebuah villa kecil di kaki bukit disulap menjadi tempat akad. Udaranya bersih, tenang, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Arif menunggu di halaman, jas hitamnya sederhana namun rapi.
Begitu mobil yang ditumpangi Retno berhenti, ia menyambut dengan senyum lembut. “Sudah siap, Retno?”
Perempuan itu mengangguk pelan. “Iya, Mas.”
Di dalam ruangan, saksi-saksi telah duduk: Rendra sahabat Arif, dua rekan kerja dekat Retno, dan di sudut belakang—Hartono serta Diah Ningrum. Wajah keduanya tanpa ekspresi, tetapi kehadiran mereka menandakan restu telah diberikan, meski tanpa kehangatan.
Arif menatap penghulu, menghela napas panjang, lalu melafalkan ijab kabul dengan suara mantap. Kata-kata itu menggetarkan udara, mengikat dua nama dari dunia yang berbeda menjadi satu garis kehidupan.
Retno menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. “Iya, Mas,” ucapnya pelan, dan genggaman tangan mereka seolah menutup segala perdebatan yang telah terjadi.
Hartono dan Diah Ningrum saling bertukar pandang. Di balik diam mereka, terbit niat yang tak diucapkan. Restu memang diberikan, namun arah kendali tetap di tangan keluarga Dirgantara.
Sore menjelang malam, kabut mulai turun di Lembang. Arif dan Retno berdiri di teras, memandangi cahaya kota Bandung yang berpendar di kejauhan. Retno bersandar di bahu suaminya, merasa damai, belum menyadari badai yang menunggu di balik ketenangan itu.
“Terima kasih sudah memperjuangkan semuanya, Mas,” bisiknya.
Arif menatap lembut. “Perjuangan ini baru dimulai, Retno.”
Di Semarang, Bu Kinasih menatap langit senja yang berwarna tembaga. Ia berdoa dalam diam, agar anaknya kuat menempuh hidup barunya. Di sampingnya, Pak Suyoto menatap horizon dengan pandangan sendu. “Semoga jalan mereka lapang, walau tidak mudah,” ucapnya pelan.
Sementara di Jakarta, di ruang kerja Dirgantara Tower, Hartono menatap jendela malam yang dipenuhi lampu kota. “Anak itu keras kepala,” gumamnya, setengah kesal, setengah kagum.
Diah Ningrum menatapnya datar. “Kita biarkan saja sementara. Cepat atau lambat, dunia akan menunjukkan padanya betapa mahal harga dari pilihannya.”
Hartono mengangguk. “Ya. Kita lihat seberapa lama cinta bisa melawan garis darah.”
Malam turun sepenuhnya di Lembang. Di balik kabut dan cahaya kota yang berpendar, dua hati baru saja disatukan—dalam restu yang dingin, di bawah langit yang menyimpan rahasia panjang.
.
menarik