Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Setelah Jessica, Jason dan Sofia pamit pulang, sekarang di meja itu hanya menyisakan Bianca dan Marcia yang masih menikmati kopi mereka. Marcia merupakan teman Bianca di bangku sekolah dasar tapi ketika SD Marcia selalu iri dengan pencapaian Bianca yang tidak bisa ia kalahkan dan mengajak teman-teman untuk membully nya. Kemudian mereka dipertemukan kembali ketika di bangku kuliah, keduanya sama-sama mengambil kuliah bisnis, saat itu jika kuliah bisnis adalah tuntutan bagi Bianca berbeda dengan Marvia yang memang berminat karena ingin membangun kembali bisnis papanya yang hancur karena kakak laki-lakinya.
“udah tahu siapa pemilik gantungan itu, Ca?” tanya Marcia yang menyadari gantungan yang bertengger di tas Bianca. Bianca mengikuti pandangan Marcia ke arah gantungan yang selalu ia gunakan ditasnya dan menggenggam gantungan boneka kecil itu, kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Marcia.
“Sepertinya Cuma akan jadi kenangan aja, Cia.” Sahut Bianca sambil kembali menyesap kopinya, kopi keduanya malam ini. Marcia hanya mengangguk menanggapi. “gimana bisnis restoran keluarga lu?” tanya Bianca melanjutkan obrolan mereka.
“lumayan, Ca. Minggu depan kalau gak ada masalah gue mau pembukaan cabang di Bandung.” Jawab Marcia, ada binar bangga dalam matanya, Bianca tahu perjuangan Marcia membangun kembali bisnis restoran keluarganya ketika kakaknya menghabiskan semuanya. Meskipun memiliki kenangan buruk dengan Marcia ketika di sekolah dasar tapi keduanya berteman baik ketika dipertemukan kembali sebagai teman satu fakultas.
“Lu sendiri gimana? Enjoy jadi psikolog?” kali ini Marcia yang bertanya. Bianca menyesap kopinya sekali lagi, memandang keluar jendela yang memperlihatkan ramainya parkiran restoran tersebut.
“semua baik dan gue sangat enjoy sebelum bokap gue balik.” Jawab Bianca sambil masih memerhatikan parkiran di luar jendela.
“bokap lu udah disini?” tanya Marcia yang tidak mendapat respon lagi dari Bianca karena wanita itu terpaku dengan dua sosok pria yang turun dari mobil dan melangkah memasuki restoran. Marcia yang sadar Bianca sudah hilang fokus mengikuti pandangan temannya itu tapi yang ia dapatkan hanya jajaran mobil yang memenuhi parkiran.
“Mba Bianca?” suara seseorang yang memanggil dengan ragu membuat Bianca tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, begitupun dengan Marcia.
“Pak Marvin.” Sapa Bianca sambil berdiri dan menyalami pria yang tadi memanggilnya, Bianca tidak sadar pria yang tadi dilihatnya di parkiran sudah berada di dekatnya. Keterkejutannya bertambah ketika menyadari pria di samping Marvin adalah Saka, seniornya di kampus dulu.
“Kak Saka.” sapa Bianca kemudian yang juga menyalami pria itu yang kemudian berhasil membuat Marcia menoleh dan bertemu tatap dengan Saka.
Marvin memandang Saka dan Bianca bergantian sambil mempertanyakan apakah mereka saling mengenal?
“Boleh kami bergabung?” tanya Saka yang ditujukan kepada kedua wanita pemilik meja itu, Saka mengenal keduanya, Bianca dan Marcia, keduanya adalah juniornya di kampus. Refleks Bianca dan Marcia menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Saka.
Setelah Marvin dan Saka bergabung, masing-masing saling berkenalan. Bianca mengenalkan Marcia kepada Marvin begitupula sebaliknya, Marvin pun mengenalkan Saka sebagai sepupunya kepada Bianca.
Marvin memanggil pelayan dan memesan beberapa menu untuk mereka berempat. Obrolan terus mengalir, tapi Marvin merasa asing di antara ketiganya, setelah memahami kondisinya Marvin menyadari, Saka mengenal Bianca karena keduanya berasal dari kampus dan fakultas yang sama hanya berbeda tingkat. Mengetahui hal tersebut membuat hati Marvin sedikit gusar dan kesal ditambah Saka tidak menceritakan hal itu sebelumnya.
“terima kasih, mas.” Ujar Bianca kepada pelayan yang baru saja mengantar pesanan mereka. Marvin memerhatikan setiap gerakan Bianca, mencuri pandang pada wanita yang tampil sedikit berbeda dengan rambut hitam panjang terurai, menambah kecantikan pada wanita itu. Wanita yang berhasil membuatnya membuka diri, wanita yang ia cari tahu sejak lama.
Bianca sendiri tidak banyak melakukan interaksi dengan Marvin karena rasa canggung, biar bagaimanapun Marvin adalah kliennya dan pertemuan seperti ini salah satu yang dihindari Bianca, kehadiran Marcia dan Saka cukup membantu dirinya, ia tidak membayangkan jika bertemu dengan Marvin secara tidak sengaja dan hanya ada mereka berdua. Sesekali Bianca melirik memerahtikan Marvin, mencari tahu keadaan pria itu ke dalam manik hitam legam milik pria itu. Bianca buru-buru mengalihkan pandangannya ketika Marvin menyadari apa yang ia lakukan.
“Ca, itu di tanya Kak Saka.” panggilan Marcia yang cukup keras menyadarkan Bianca dari pikirannya sendiri. Membuat wanita itu sedikit terkejut.
“Oh iya, kenapa kak?” tanya Bianca, Saka menyadari sedari tadi Bianca tidak fokus bahkan tidak menyadari pertanyaannya.
“Kenapa akhirnya kamu memilih menjadi Psikolog Ca?” Saka mengulangi pertanyaan yang tidak didengar wanita itu.
“sejak awal aku memang lebih menyukai dunia psikologi, kak.” Jawab Bianca apa adanya meski nada suaranya menyiratkan ketidaknyamanan atas pertanyaan Saka.
“sejak kapan?” Saka masih melanjutkan rasa penasarannya tanpa menyadari ketidaknyamanan Bianca.
“udah lama, Kak Saka. Waktu kuliahkan Bianca ambil double degree, Psikologi dan Bisnis.” Marcia yang menyadari gelagat Bianca mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Saka, Bianca menatap temannya dan dari matanya mengucapkan terima kasih, Marcia hanya mengangguk tipis.
“aku pikir, kamu akan melanjutkan bisnis keluarga seperti yang kamu ceritakan dulu.” Saka menimpali lagi dengan masih fokus pada Bianca, Marvin mulai tidak menyukai situasi ini, ia semakin merasa asing dan kesal dengan Saka, tangannya mengepal dibawah meja menyalurkan kekesalan yang merayap pada dirinya.
“Mungkin nanti, tapi tidak sekarang. Aku menyukai profesiku.” Jawab Bianca ragu dan pelan. Marcia berusaha mengalihkan topik dan menyelamatkan temannya dari obrolan yang tidak ia suka dibagikan ke orang yang tidak terlalu dekat, sampai akhirnya Bianca dan Marcia memilih untuk pamit pulang karena sudah malam dan besok masih ada pekerjaan. Menyisakan Marvin dan Saka yang sibuk dengan pikiran mereka.
*
Sepanjang perjalanan pulang Marcia kembali memikirkan pertemuan dengan Saka, senior kampus yang dulu disukainya. Marcia bukan tidak tahu kalau Saka menyukai Bianca tapi ia memilih untuk tidak mau tahu, sampai malam ini datang Marcia melihat sendiri pandangan Saka kepada Bianca, meskipun Bianca tidak memberikan respon yang sama. Temannya itu malah sibuk memerhatikan pria yang dikenalkan sebagai kliennya.
Marcia menggenggam setir kemudinya semakin erat, sejak dulu ia selalu merasa kalah dari Bianca dalam segala aspek, akademis, non-akademis, pertemanan, dan semua hal. Itulah yang memicunya membully Bianca ketika SD. Bahkan sampai sekarang Marciapun masih merasa kalah dalam banyak hal.
Wanita itu memilih menepikan mobilnya dan mengatur perasaannya, itu sudah lama terjadi, hubungannya dengan Bianca sudah lama membaik, ia tidak ingin merusak pertemanan dengan Bianca karena seorang pria yang kembali muncul mengusik hatinya.
Di sisi lain, Marvin tidak berhenti bertanya tentang hubungan Saka dan Bianca, mengapa sepupunya itu tidak memberitahu sebelumnya jika mengenal Bianca.
“kenapa engga kasih tau sebelumnya kalau lu kenal sama Psikolog gue?”