Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari ini adalah jadwal Bu Hasna untuk cuci darah.
Cantika dan ibunya sudah rapi. Pakaian yang mereka kenakan terlihat baru dan bersih, tanda bahwa kerja keras Cantika selama ini tidak sia-sia.
Mereka berjalan santai di lorong rumah sakit. Beberapa perawat yang lewat sempat melirik ke arah mereka. Wajah-wajah itu seolah heran melihat perubahan penampilan anak dan ibu tersebut. Sebab, terakhir kali datang ke rumah sakit, Cantika masih tampak lusuh dan kusut. Mereka bukan orang asing di tempat ini, karena Bu Hasna memang sudah sering keluar-masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatan.
“Nak, kok orang-orang natap kita kayak gitu, ya?” bisik Bu Hasna pelan sambil duduk di kursi tunggu.
Cantika menoleh dan tersenyum lembut. “Gak apa-apa, Bu. Jangan dipikirin. Ingat, tujuan kita ke sini buat cuci darah, biar ibu cepat sembuh.”
Bu Hasna mengangguk pelan. “Iya, Tika. Ibu juga pengen banget cepet sembuh, biar kamu gak perlu banting tulang terus cari uang. Kadang ibu kesepian kalau kamu gak ada di rumah.”
Cantika menunduk, senyum tipis mengembang di wajahnya. Ada rasa miris menyelinap di dadanya. Bukan karena ia tak mau selalu berada di sisi ibunya, tapi karena keadaanlah yang memaksanya bekerja keras di luar sana, demi mereka berdua, demi masa depan yang lebih layak.
“Bu Hasna,” panggil seorang perawat, memotong obrolan mereka berdua.
Cantika dan ibunya segera berdiri, lalu berjalan masuk ke ruang dokter Arkana.
Senyum hangat langsung terbit di wajah dokter muda itu saat melihat siapa yang datang—Cantika. Sosok gadis yang diam-diam ia kagumi karena keteguhan hati dan kecantikannya yang sederhana. Sebagai dokter yang sering menangani Bu Hasna, Arkana tahu betul bagaimana kerasnya perjuangan gadis itu untuk merawat sang ibu.
Hatinya terasa tenang melihat penampilan Cantika hari ini. Bajunya rapi, warnanya lembut, dan rambutnya tampak berkilau, tertata rapi di bahunya. Berbeda jauh dari penampilan lusuh yang dulu sering ia lihat. Perubahan ini begitu mendadak, sampai membuatnya sempat tertegun beberapa detik.
“Halo, Bu Hasna,” sapanya ramah. “Bagaimana kabarnya sekarang? Setelah cuci darah terakhir, ada keluhan lagi?”
Bu Hasna tersenyum lemah. “Alhamdulillah, ada perkembangan, Dok. Badan saya gak terlalu lemas lagi. Cuma kadang masih sakit pinggang kalau minumnya kurang.”
Dokter Arkana mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Nah, itu makanya kemarin saya ingatkan, Bu, harus rajin minum air putih. Jangan terlalu sering minum yang manis-manis, ya?”
“Iyah, Dok, akan saya usahakan,” jawab Bu Hasna dengan nada patuh.
Cantika yang sedari tadi duduk di samping ibunya hanya tersenyum tipis. Ada rasa syukur yang menyeruak di dadanya melihat kondisi ibunya mulai membaik. Di sisi lain, pandangan dokter Arkana sempat tertuju padanya, singkat, tapi cukup untuk membuat dada Cantika berdetak lebih cepat dari biasanya.
Proses cuci darah berjalan lancar. Namun, Bu Hasna masih berbaring di tempat tidur karena kepalanya terasa agak pusing setelah tindakan selesai. Wajahnya tampak pucat, tapi tetap berusaha tersenyum.
“Masih pusing, ya, Bu?” tanya dokter Arkana lembut sambil memeriksa tekanan darahnya.
Bu Hasna mengangguk pelan, satu tangannya menekan pelipis seolah berusaha meredakan nyeri.
Cantika yang berdiri di samping tempat tidur terlihat gelisah; jemarinya saling meremas tanpa sadar.
“Tapi ini normal kan, Dok?” tanyanya dengan nada cemas.
Dokter Arkana menatapnya, tersenyum meyakinkan. “Ini normal, Cantika. Reaksi sementara setelah cuci darah. Kamu gak perlu khawatir, sebentar lagi juga akan membaik.”
Cantika mengangguk pelan, meski di matanya masih tersisa bayangan khawatir. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Emm... Dok, apa bisa kita bicara sebentar?” tanyanya ragu, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia tahu betul betapa sibuknya dokter Arkana setiap hari.
“Oh, tentu, Cantika,” jawab Arkana ramah. “Kita bicara di ruangan saya, ya.”
Cantika menatap ibunya yang masih berbaring. “Cantika mau bicara sebentar sama dokter Arkana, Bu. Gak apa-apa kan kalau ibu di sini dulu sama perawat?”
Bu Hasna tersenyum lemah. “Iya, Nak. Pergi aja. Ibu gak apa-apa.”
Cantika mengangguk, lalu menatap ibunya sejenak, seolah meneguhkan diri sebelum melangkah pergi bersama dokter Arkana menuju ruangannya.
Keduanya kini sudah berada di ruang dokter Arkana. Suasana ruangan itu tenang, hanya terdengar dengung pendingin ruangan dan detak jarum jam di dinding. Mereka duduk saling berhadapan di meja kayu yang rapi dengan tumpukan berkas pasien di sisi kanan.
Cantika membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop tebal. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkannya.
“Dok… ini. Maaf ya, saya baru bisa bayar sekarang,” ucapnya dengan suara pelan.
Dokter Arkana sempat terdiam, lalu mendorong amplop itu kembali ke arah Cantika.
“Tika, saya ikhlas membantu kamu dan Bu Hasna. Uang ini buat kamu aja, simpan untuk biaya pengobatan ibu nanti.”
Cantika buru-buru menggeleng. “Tapi, Dok… saya gak enak. Ini delapan juta, jumlahnya gak kecil. Masa saya terima begitu aja?”
Arkana tersenyum tenang, menatapnya dengan mata yang lembut.
“Saya senang bisa bantu kalian, jadi jangan merasa gak enak. Saya tulus, Tika.”
Cantika menunduk, hatinya semakin tak nyaman. Ia kembali menyodorkan amplop itu, tapi Arkana menolaknya lagi, lebih tegas kali ini.
“Dokter udah terlalu baik sama kami,” lirih Cantika. “Tolong terima, biar saya gak merasa berhutang.”
Arkana tersenyum kecil. “Kalau saya membantu, itu tandanya saya mampu. Jadi kamu gak perlu mikir yang aneh-aneh.”
Cantika terdiam. Di matanya, dokter Arkana tampak begitu berwibawa, tenang, tulus, dan jauh dari kesan sombong. Ia tahu, bagi dokter muda yang mapan itu, delapan juta mungkin bukan jumlah besar. Tapi bagi Cantika, uang itu adalah hasil kerja keras dan pengorbanan panjang.
“Dokter udah banyak bantu kami,” ujarnya akhirnya. “Apa yang bisa saya lakukan buat balas kebaikan dokter?”
Arkana terkekeh pelan, membuat suasana sedikit mencair. “Menolong itu kewajiban, Cantika. Selama saya mampu, saya akan terus lakukan.”
“Tapi Dok—”
Arkana memotong dengan senyum yang samar. “Kalau gitu begini aja… temani saya makan malam nanti. Anggap aja itu bentuk terima kasih kamu, gimana?”
Cantika membelalak kaget. Ia tidak menyangka ajakan itu keluar dari mulut dokter Arkana. Tapi melihat tatapan tulus pria itu, hatinya melunak.
“Baik, Dok. Saya temani,” jawabnya akhirnya.
Dalam hati, ia berjanji akan meminta izin pada Mami Viola malam ini, agar bisa menepati janji kecilnya dengan dokter yang begitu baik pada dirinya dan ibunya.
**
Tepat pukul tujuh malam, Cantika sudah tampil anggun dengan balutan dress selutut berwarna fanta. Wajahnya dipoles make up tipis yang menonjolkan kecantikannya secara alami, dan rambut hitamnya dibiarkan tergerai lembut di bahu. Penampilannya sederhana, tapi menawan.
Ia mengambil tas kecil di meja, lalu berjalan menuju ruang keluarga. Ruangan itu kini sudah terlihat lebih hidup, ada sofa baru dan televisi yang akan menemani waktu santai Bu Hasna setiap malam.
“Masya Allah… cantik banget anak Ibu malam ini,” puji Bu Hasna dengan mata berbinar. Senyum bangga menghiasi wajahnya. “Kamu mau kerja, Nak?”
Cantika menggeleng pelan. “Enggak, Bu. Malam ini aku diajak makan malam sama dokter Arkana. Ibu izinin aku, ya?”
Senyum di wajah Bu Hasna semakin lebar. “Tentu boleh, Nak. Tapi… dokter Arkana ngajak kamu makan malam itu dalam rangka apa, ya?”
Cantika tersenyum canggung, mengedikkan bahunya. “Tika juga kurang tahu, Bu. Katanya cuma makan malam biasa aja.”
Bu Hasna terkekeh kecil. Ia paham benar arah maksud dokter muda itu. Sebagai seorang ibu, matanya sudah cukup jeli membaca bahasa tatapan. Apalagi setiap kali Arkana menatap Cantika, ada sesuatu yang berbeda, lembut, tapi penuh perhatian.
“Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam,” pesan Bu Hasna sambil merapikan sedikit ujung dress anaknya.
“Iya, Bu. Gak akan kok,” jawab Cantika sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, mobil hitam milik dokter Arkana berhenti tepat di depan rumah Cantika. Lampu mobilnya menerangi halaman kecil yang kini tampak rapi.
Arkana segera keluar dari mobil, mengenakan kemeja biru gelap yang membuatnya terlihat santai tapi tetap berwibawa. Begitu melihat Bu Hasna yang duduk di ruang tamu depan, ia melangkah menghampiri dengan senyum sopan.
Namun langkahnya sempat terhenti sesaat. Pandangannya tertuju pada Cantika yang baru saja keluar dari dalam rumah. Dress fanta selutut yang membalut tubuh gadis itu tampak sederhana, tapi entah kenapa di matanya terlihat begitu sempurna. Ada kilatan lembut di matanya, antara kagum dan gugup.
“Bu,” sapa Arkana dengan suara hangat. “Saya izin, ya, malam ini mau ajak Cantika makan malam.”
Bu Hasna tersenyum ramah. “Iya, Dok, ibu izinin. Tapi pulangnya jangan malam-malam, ya.”
Arkana tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ah, jangan panggil saya ‘dokter’, Bu. Kan ini bukan rumah sakit.”
Bu Hasna ikut terkekeh, begitu pula Cantika yang berdiri di sampingnya.
“Kalau di luar, panggil nama aja, biar gak terlalu formal,” tambah Arkana sambil menatap Cantika sekilas.
Bu Hasna tersenyum, tapi kemudian menunduk malu. “Ibu gak enak kalau panggil nama aja… rasanya gak sopan.”
Arkana menggeleng ringan, masih tersenyum. “Gak apa-apa, Bu. Saya malah senang bisa dianggap seperti keluarga.”
Suasana mendadak hening beberapa detik. Hanya suara serangga malam yang terdengar dari luar pagar. Lalu Cantika berpamitan, mencium tangan ibunya sebelum beranjak ke mobil bersama Arkana.
Mobil perlahan meninggalkan halaman rumah Cantika, meluncur tenang di bawah langit malam yang bertabur lampu kota. Di dalam kabin, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi keheningan di antara mereka. Cantika sesekali melirik ke arah Arkana, masih belum terbiasa diperlakukan seistimewa ini.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah restoran khas Jepang yang tampak megah dengan nuansa kayu dan lampion merah menggantung di pintu masuk.
Arkana segera turun dan membukakan pintu untuk Cantika.
“Gak apa-apa, Dok, saya bisa sendiri kok,” ucap Cantika, sedikit kikuk.
Arkana tersenyum tenang. “Gak apa-apa, Tika. Hal kecil begini bukan masalah buat saya.”
Cantika akhirnya menuruti, lalu melangkah keluar. Saat mereka berjalan berdampingan menuju pintu restoran, sekilas mereka tampak seperti pasangan yang akan makan malam romantis.
“Ke ruang VIP aja, biar lebih tenang,” ujar Arkana pelan pada pelayan yang menyambut.
Cantika hanya mengangguk, mengikuti langkahnya. Tak lama, mereka tiba di sebuah ruangan yang indah dan luas. Cahaya temaram dari lampion kertas menciptakan suasana hangat. Di atas meja sudah tersusun rapi berbagai hidangan Jepang, sushi, sashimi, udon panas, hingga dessert mungil, semua tertata cantik.
Cantika terpaku. Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka.
“Masya Allah… ini semua kelihatan enak banget,” gumamnya pelan.
Ia masih tak habis pikir dengan kemewahan di hadapannya. Lilin-lilin kecil berjejer di atas meja, memantulkan cahaya lembut di wajah mereka berdua. Suasananya terlalu indah untuk disebut makan malam biasa.