Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 – Berbagi Cerita
Malam sunyi. Angin menyusup lewat celah jendela, membawa aroma melati yang menenangkan. Nayla meraih ponsel yang tergeletak di samping buku hariannya. Jemarinya sempat ragu, lalu akhirnya menekan ikon hijau.
“Ren…” suaranya pelan, nyaris berbisik.
“Iya, Nay.” Suara Rendi terdengar di seberang, disertai tawa kecil. “Kamu belum tidur?”
Nayla terkekeh tipis. “Kalau aku udah tidur, terus siapa yang nelepon kamu?”
“Heh, bener juga.” Rendi ikut tertawa ringan. “Ada apa, Nay?”
Hening sejenak. Lalu Nayla bicara lirih, seolah takut suaranya pecah.
“Udah seminggu ini aku nggak mimpi lagi, Ren. Padahal aku udah coba tidur sambil naruh kotak kalung di sampingku… bahkan aku pakai juga kalungnya. Tapi tetap nggak ada apa-apa. Jadi ya… aku nggak nyatet apapun lagi.”
“Hmm…” Rendi bergumam, terdengar berpikir. “Aneh juga, ya. Oh iya, Nay… kemarin aku lupa nanya pas kita di jalan. Kalung zamrud yang kamu maksud itu, boleh aku lihat nggak?”
“Boleh. Kapan kamu mau main ke kafe?”
“Abis kuliah deh besok…”
“Aku besok nggak bisa, Ren. Aku harus keluar kota sama Papa.”
“Yah, padahal aku sekalian mau ngenalin kamu ke Wisnu.”
“Wisnu?” Nayla mengernyitkan dahi. “Oh, kakak dari cewek yang lagi kamu taksir, ya?”
Rendi ngakak keras. “Betul! Jadi aku harus jaga image di depan kakaknya.”
Terdengar umpatan disamping Rendi, meski jauh tapi samar-samar Nayla dengar. Mungkin itu suara Wisnu.
“Dih…” Nayla pura-pura menakut-nakuti. “Kalau sampai kamu nyakitin adiknya, bisa-bisa kamu dijadiin pepes sama dia, Ren.”
“Aku serius ini, Nay. Nggak main-main.” Suara Rendi terdengar renyah. Lalu ia berganti nada. “Eh, ngomong-ngomong, boleh nggak aku pinjem catetan mimpimu?”
Nayla terdiam sebentar. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab, “Boleh. Toh itu memang cuma catatan dari mimpi, bukan buku harian.”
“Kalau aku kasih liat ke Wisnu, nggak apa-apa?” tanya Rendi hati-hati. “Dia kan gila sejarah banget. Siapa tahu ada yang nyambung sama literatur yang dia pelajari.”
“Ya nggak masalah.” Nayla tersenyum samar. “Lagipula aku juga pengen tau, ini beneran nyambung atau cuma khayalan.”
Rendi terkekeh. “Ya ampun, Nay. Kamu ini udah kayak penulis naskah film sejarah. Catatanmu aja mungkin lebih tebal daripada skripsi ku dulu.”
Nayla ikut tertawa kecil. “Nggak lah, Ren. Kamu lebay.”
“Besok sore gimana?”
“Aku titipin ke kasirku aja, ya,” jawab Nayla. “Dibilangin besok tuh aku ikut Papa ke supplier di luar kota.”
“Yah…” Rendi mendengus pura-pura kecewa. “Berarti aku nggak bisa minta Americano gratis dong.”
“Bayar.” Jawaban Nayla singkat, tegas, tapi terdengar geli.
“Tega banget, katanya temen.”
Nayla tersenyum kecil. “Ya udah, aku mau tidur lagi. Jangan pada begadang, Kata Bang Haji jangan begadang..”
“kan begadang boleh kalau ada artinya...hahhaha...Kamu juga jangan kebanyakan mikir.” jawab Rendi
“Siap, Pak Guru.”
Keduanya sama-sama tertawa kecil. Hening kembali merayap saat panggilan terputus.
Nayla meletakkan ponselnya di samping buku catatan, menatap langit-langit kamar.
...Cerita yang Menarik...
Keesokan harinya, kos-kosan sederhana itu terasa riuh oleh suara kipas yang berdecit pelan.
Buku-buku berserakan di lantai, setumpuk baju kotor di pojok kamar, dan aroma mie instan masih menggantung di udara.
Rendi duduk di kursi plastik sambil memainkan ponsel, sementara Wisnu selonjoran di kasur tipis dengan laptop terbuka di pangkuannya.
Awalnya obrolan mereka ringan, penuh canda. Tapi tiba-tiba, Wisnu menatap Rendi dengan alis terangkat. “Jadi… intinya temen kamu sering mimpi jadi orang masa lalu?” tanyanya, setengah bercanda, setengah serius.
“Iya.” Rendi mengangguk mantap. “Dia mimpiin gadis desa bernama Puspa. Dan yang bikin aku heran, dia bisa nyatet semua detail mimpinya.”
Wisnu mendesah, lalu menarik napas panjang. “Ren, aku memang suka sejarah. Tapi aku kan bukan ahli tafsir mimpi.”
“Bukan mimpinya yang penting, Wis.” Rendi meletakkan sebuah map di meja kayu reyot di depan mereka. “Tapi detailnya. Dia nyeritain nama tokoh, kebiasaan istana, sampai adat. Bahkan ada sketsa tulisan Sansekerta. Aku aja bingung dari mana dia tau.”
Wisnu menyipitkan mata, nada suaranya berubah penasaran. “Masa sih?”
“Serius. Aku aja diceritain dari Ciamis sampai Solo merinding. Detail banget.”
Wisnu menegakkan badan, menutup laptopnya. “Ya udah, mana catetannya? Biar aku lihat sendiri.”
Rendi menghela napas. “Nah itu masalahnya. Catetannya ada di kafenya dia. Aku mesti ke sana dulu.”
“Kenapa nggak ketemu dia aja sekalian di sana?” Wisnu mengernyit.
“Dia lagi nggak di kafé. Lagi keluar kota sama papanya,” jawab Rendi sambil berdiri.
“Oke, oke.” Wisnu mengangguk-angguk, lalu tanpa basa-basi merogoh saku celana dan melempar kunci motor ke arah Rendi. “Nih, pake aja. Tapi pulangnya nitip nasi kucing Pak Pur, ya. Empat bungkus.”
Rendi menangkap kunci itu dengan sigap. “Kucing mana makan empat bungkus, Wis?”
Wisnu nyengir lebar, sambil mengusap perutnya. “Kucing garong, Ren.”
Mereka berdua tertawa keras, tawa khas anak kos.
Beberapa saat kemudian Rendi datang dengan senyum lebar, di tangannya plastik berisi empat bungkus nasi kucing dan sebuah amplop cokelat yang sedikit mengembung.
Ia menjatuhkan plastik itu ke meja, lalu mengacungkan amplop ke arah Wisnu. “Kamu mau makan dulu apa baca dulu, nih?” godanya.
Wisnu langsung merebut amplop itu dengan cepat, matanya berbinar penuh penasaran. “Makan belakangan. Coba liat dulu.”
Ia membuka amplop, mengeluarkan sebuah buku catatan yang tebalnya lumayan. Lembar demi lembar dibuka dengan hati-hati. Tulisannya rapi. Begitu matanya menangkap tulisan-tulisan di dalamnya, napasnya seolah tertahan.
“Gila…” gumam Wisnu lirih, nyaris tak percaya. “Ini… ini menarik banget. Banyak detail yang bahkan belum pernah aku baca di buku manapun.”
Di halaman-halaman itu ada satu sketsa huruf kuno menyerupai aksara Sansekerta, catatan nama-nama tokoh: Wirabuana Jantaka, Suraghana, Sempakwaja, Jagatpati. Ada deskripsi keraton, pakaian kerajaan, sampai tata cara upacara adat yang rumit.
Rendi terkekeh, berusaha memecah ketegangan. “Makanya aku bilang, Nayla itu sejarawan jalur mimpi. Tapi catatannya kayak hasil penelitian serius. Aku rasa, cuma kamu yang bisa cocok-cocokin ini sama literatur sejarah.”
Wisnu terus membolak-balik halaman. Matanya berkilat, tapi bibirnya bergetar. “Ada banyak nama baru… Kenapa ada ‘Wirabuana’ di nama Pangeran Jantaka? Terus ada Jagatpati, ada Kencana, ada Puspa…”
ia terhenti, menelan ludah. “…dan… kenapa dia dibakar? Padahal belum tentu juga Pangeran ketiga yang bakal naik tahta.” Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Rendi menatap sahabatnya dengan pandangan serius. “Ya namanya juga iri dengki, Wis. Kalau hati udah gelap, mata lahir sama batin bisa sama-sama ketutup.”
Wisnu menutup buku itu pelan, menatap Rendi lurus dengan wajah tegang. “Ren… aku pengen ketemu Nayla langsung. Bisa?”
Rendi menyeringai, mencoba melembutkan suasana. “Bisa. Lagian dia jomblo kok. Anaknya baik, cantik, cocok sama kamu.”
Wisnu mendengus, melempar sandal ke arah Rendi. “Wah, nggak bener nih. Aku serius, malah kamu nyomblangin.”
“Kali aja kan…” Rendi menggoda sambil mengangkat alis.
Wisnu menghela napas, tapi sudut bibirnya tak bisa menahan senyum tipis. “Aku cuma penasaran sama detail keratonnya… sama sosok Pangeran Jantaka. Aku nggak nyangka, Kerajaan Galuh di awal berdiri bisa sesolid ini pemerintahannya. Catatan ini bisa jadi potongan sejarah kalau ada buktinya, Ren.”
Suasana kamar kos itu mendadak berubah. Dari sekadar obrolan anak muda, kini bergeser jadi percakapan yang penuh rasa ingin tahu
“Ren…” suaranya pelan, tapi mantap. “Aku nggak tau, tapi aku ngerasa… catatan ini bukan cuma mimpi. Ada sesuatu yang pengen disampaikan lewat tulisan-tulisan Nayla.”
Rendi terdiam, menatap sahabatnya. "kenapa kamu melamun?"
"Aku ngebayangin cantiknya Puspa ya... " Wisnu menerawang jauh
"Udah gila kamu" Rendi mendorong kepala Wisnu pelan. "Kapan-kapan ketemu Nayla aja, biar kamu bayanginnya Nayla, bukan Puspa"