NovelToon NovelToon
Godaan Kakak Ipar

Godaan Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Pembantu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 - Pengakuan

Jam dinding di ruang makan berdentang sebelas kali, suaranya bergema di seluruh rumah besar yang sunyi. Senja duduk di meja makan sendirian, menatap piring-piring yang masih tertata rapi dengan lauk-pauk yang sudah mulai dingin. Sup jagung manis yang tadi hangatnya mengepul kini sudah berselaput tipis, ayam panggang madu masih utuh di piring saji, dan nasi putih pulen mulai mengeras di rice cooker.

Gadis itu menghela napas panjang sambil melirik ke arah tangga yang menuju lantai dua. Sejak pertengkaran siang tadi, Samudra tidak turun dari ruang kerjanya sama sekali. Bahkan ketika Senja mengetuk pintu untuk memberitahu makan siang sudah siap, tidak ada sahutan dari dalam.

"Mas Samudra pasti belum makan dari tadi siang," gumam Senja sambil bangkit dari kursi. Hatinya tidak tenang membayangkan pria itu mengurung diri tanpa makan. "Dia bisa sakit lagi kalau begini terus."

Dengan gerakan yang cekatan, Senja mulai menyiapkan nampan. Dia mengambil piring putih bermotif bunga sakura, piring favorit Samudra dan mulai menyajikan nasi hangat, sepotong ayam panggang yang masih lembap, sayur bayam bening, dan semangkuk sup jagung. Tak lupa dia tambahkan segelas air putih dan beberapa potong buah jeruk sebagai pencuci mulut.

Langkah kakinya yang ringan menaiki tangga terasa berat malam ini. Koridor lantai dua yang biasanya terang benderang kini hanya diterangi lampu-lampu kecil di sepanjang dinding. Pintu-pintu kamar tertutup rapat, menciptakan atmosfer yang sunyi dan mencekam.

Ketika sampai di depan ruang kerja Samudra, Senja terdiam sejenak. Tidak ada cahaya yang keluar dari bawah pintu, tidak ada suara apapun dari dalam. Ruangan itu benar-benar gelap dan hening.

"Mas Samudra?" Senja mengetuk pintu dengan lembut sambil menyeimbangkan nampan di tangan kirinya. "Aku bawa makan malam."

Tidak ada jawaban.

"Mas Samudra?" panggilnya lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Mas tidak apa-apa?"

Masih tidak ada sahutan. Kekhawatiran Senja semakin menjadi. Dengan hati-hati, dia memutar handel pintu dan mendapati pintu tidak dikunci.

"Mas, aku masuk ya," kata Senja sambil mendorong pintu perlahan.

Ruangan itu benar-benar gelap gulita. Hanya siluet furniture yang samar-samar terlihat terkena cahaya bulan yang masuk melalui celah tirai. Aroma cedar wood dari diffuser masih tercium, bercampur dengan wangi kopi yang sudah dingin.

Senja meraba-raba dinding mencari sakelar lampu. Ketika cahaya lampu utama menyala terang, pemandangan yang dilihatnya membuat hatinya mencelos.

Samudra duduk di kursi kulit hitamnya di belakang meja kerja, tapi posturnya sangat berbeda dari biasanya. Punggungnya bersandar lemas, kepala menoleh ke arah jendela dengan pandangan kosong. Kemeja putihnya sudah tidak rapi lagi, beberapa kancing teratas terbuka, lengan digulung hingga siku, dan dasi sudah dilepas begitu saja tergeletak di atas meja.

Wajahnya terlihat sangat lelah, mata yang biasanya tajam dan berwibawa kini tampak redup dan kosong. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi kini berantakan, seolah tangannya berkali-kali mengacak-acaknya karena frustasi.

"Mas Samudra?" Senja menghampiri dengan langkah hati-hati, suaranya penuh kekhawatiran.

Samudra perlahan menoleh ke arah Senja. Matanya yang sayu menatap gadis itu seolah baru menyadari kehadirannya.

"Senja," sapanya dengan suara serak. "Kenapa kamu ke sini?"

"Mas belum makan malam. Aku khawatir," jawab Senja sambil meletakkan nampan di meja kopi di sudut ruangan. "Mas harus makan, kalau tidak nanti sakit lagi."

Samudra menggeleng lemah. "Mas tidak lapar."

"Tapi Mas belum makan dari tadi siang," desak Senja dengan nada yang lebih tegas. "Bagaimana kalau demamnya kambuh? Atau maag nya kumat?"

"Biarkan saja," jawab Samudra sambil kembali menatap ke arah jendela. "Mungkin memang sudah saatnya Mas sakit."

Kalimat itu membuat hati Senja perih. Dia bisa merasakan penderitaan yang mendalam dari nada bicara Samudra. Tanpa ragu, dia mendekati meja kerja dan berdiri di samping kursi pria itu.

"Mas, aku mohon. Makan sedikit saja," pinta Senja dengan suara yang bergetar. "Aku tidak bisa tenang kalau Mas seperti ini."

Samudra menatap Senja dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu... kenapa peduli sekali sama Mas, Senja?"

"Karena aku sayang sama Mas," jawab Senja spontan, tanpa memikirkan implikasi kata-katanya.

Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang kental. Samudra menatap mata Senja dalam-dalam, mencari ketulusan di balik kata-kata itu.

"Sayang?" bisik Samudra.

Pipi Senja memerah menyadari apa yang baru saja dikatakannya. "Ma-maksud ku... aku peduli sama Mas Samudra sebagai... sebagai keluarga."

Samudra tersenyum pahit. "Keluarga. Ya, kita memang keluarga. Mas kakak ipar, kamu adik ipar."

Nada bicaranya terdengar sangat sedih, seolah kata-kata itu adalah penjara yang mengurungnya. Senja merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari kesedihan biasa.

"Mas," kata Senja dengan hati-hati, "kalau Mas mau cerita, aku siap mendengarkan. Mungkin Mas akan merasa lebih baik kalau ada yang mendengarkan."

Samudra terdiam lama. Matanya menatap tangan-tangannya yang terlipat di atas meja, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri.

"Senja," panggil Samudra tanpa mengangkat kepalanya.

"Ya, Mas?"

"Pergi saja. Mas ingin sendiri."

Tapi Senja tidak bergerak dari tempatnya. "Aku tidak mau pergi kalau Mas masih seperti ini."

"Mas bilang pergi!" nada suara Samudra meninggi, tapi tidak dengan amarah, lebih kepada keputusasaan.

"Tidak," jawab Senja dengan tegas yang mengejutkan. "Aku tidak akan pergi. Mas butuh seseorang di samping Mas sekarang."

Samudra mengangkat kepalanya, menatap Senja dengan mata yang terkejut. Tidak ada yang pernah menentangnya dengan cara yang begitu lembut namun tegas.

Menit-menit berlalu dalam keheningan. Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak monoton dan AC yang berdengung pelan. Senja tetap berdiri di samping kursi Samudra, kehadirannya seperti jangkar yang mencegah pria itu tenggelam dalam kesedihannya.

Akhirnya, Samudra membuka mulut dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti bisikan.

"Senja... apakah salah kalau seorang suami ingin punya anak?"

Pertanyaan itu membuat Senja terdiam. Dia menatap wajah Samudra yang penuh penderitaan, hatinya sakit melihat kesedihan yang begitu mendalam.

"Tidak salah, Mas," jawab Senja dengan lembut. "Itu keinginan yang sangat wajar untuk seorang suami."

Samudra tertawa pahit. "Tapi istriku tidak mau. Dia bilang punya anak itu cuma bikin hidup terbatas. Dia lebih memilih kebebasannya daripada memberi Mas keturunan."

Senja merasakan dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Dia sudah mendengar pertengkaran siang tadi, tapi mendengar langsung dari mulut Samudra terasa jauh lebih menyakitkan.

Samudra melanjutkan dengan suara yang semakin bergetar. "Kamu tahu, Senja... hampir tiga tahun Mas menikah, tapi Mas merasa seperti hidup sendiri. Luna selalu sibuk dengan dunianya, arisan, shopping, travelling dengan teman-temannya. Dia tidak pernah menanyakan bagaimana hari-hari Mas, tidak pernah peduli kalau Mas stress kerja, bahkan ketika Mas sakit seminggu lalu dia malah pergi liburan ke Bali."

Air mata mulai menggenang di mata Samudra. Senja merasakan hatinya tercabik-cabik melihat pria sekuat itu menangis.

"Orang tua Mas terus menuntut cucu. Mama bahkan sampai menyarankan Mas untuk menikah lagi. Tapi bagaimana Mas bisa menikah lagi kalau istri pertama Mas saja tidak mau memberi Mas anak?"

"Mas..." bisik Senja, tangannya terangkat ingin menyentuh bahu Samudra tapi ragu.

"Dan yang paling menyakitkan," lanjut Samudra dengan suara yang mulai serak karena menahan tangis, "adalah ketika Mas butuh kehangatan sebagai suami, tapi Luna selalu menolak. Pernah sampai enam bulan, Senja. Enam bulan dia tidak mau disentuh. Katanya dia capek, atau dia lagi tidak mood, atau alasan-alasan lainnya."

Senja tidak tahan lagi melihat penderitaan Samudra. Tanpa mempedulikan etika atau batasan, dia menarik kursi kecil dan duduk di samping Samudra, tangannya menyentuh tangan pria itu dengan lembut.

"Mas, jangan menangis," bisiknya dengan suara bergetar. "Hati ku sakit melihat Mas seperti ini."

Sentuhan hangat tangan Senja seolah membuka dam emosi yang selama ini ditahan Samudra. Air matanya akhirnya tumpah, mengalir di pipinya yang lelah.

"Mas lelah, Senja," bisiknya. "Lelah berpura-pura bahagia, lelah menjadi suami yang sabar, lelah menunggu Luna berubah. Mas manusia biasa yang juga butuh dicintai, diperhatikan, dihargai."

Tanpa berpikir panjang, Samudra menarik tangan Senja dan membuat gadis itu duduk di pangkuannya. Senja terkejut tapi tidak menolak ketika Samudra memeluknya erat, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu.

"Maafkan Mas," bisik Samudra di telinga Senja. "Mas tahu ini salah, tapi Mas butuh kehangatan. Mas butuh seseorang yang peduli."

Senja merasakan tubuhnya menegang karena posisi yang intim ini, tapi hatinya lebih fokus pada penderitaan Samudra. Tangannya perlahan terangkat dan mengelus rambut pria itu dengan lembut.

"Tidak apa-apa, Mas," bisiknya. "Aku di sini. Aku akan selalu ada untuk Mas."

Mereka terdiam dalam posisi itu, kehangatan tubuh mereka saling mengalir, memberikan kenyamanan yang sudah lama tidak dirasakan keduanya. Samudra menghirup aroma vanilla yang selalu menenangkan hatinya, sementara Senja merasakan detak jantung Samudra yang perlahan mulai tenang.

Perlahan, Samudra mengangkat wajahnya dari leher Senja. Mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat, napas hangat mereka bercampur di udara.

"Senja," bisik Samudra dengan suara serak, matanya menatap bibir gadis itu.

"Mas..." balas Senja, suaranya hampir tidak terdengar.

Tanpa kata-kata lagi, Samudra perlahan mendekatkan wajahnya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut, penuh perasaan, dan sangat berbeda dari ciuman pagi hari itu. Ciuman ini lebih dalam, lebih penuh makna, lahir dari kebutuhan emosional yang mendalam.

Senja awalnya menegang, tapi perlahan-lahan tubuhnya merespons. Tangannya yang tadinya kaku di bahu Samudra mulai bergerak naik ke tengkuk pria itu, jari-jarinya bermain dengan rambut hitam yang lembut.

Ciuman itu berlangsung lama, lambat, seolah waktu berhenti berputar untuk mereka. Samudra mencium Senja dengan penuh cinta dan keputusasaan, mencurahkan semua kerinduan dan kesepian yang bertahun-tahun dipendamnya. Sementara Senja membalas dengan ketulusan yang murni, tanpa perhitungan, hanya perasaan sayang yang mendalam untuk pria yang sedang terluka.

Ketika mereka akhirnya terpisah, keduanya terengah-engah. Dahi mereka masih saling menempel, mata masih tertutup, menikmati kehangatan yang baru saja mereka bagikan.

"Senja," bisik Samudra dengan suara yang bergetar, "apa yang terjadi dengan kita?"

Senja membuka mata dan menatap wajah Samudra yang begitu dekat. "Aku tidak tahu, Mas. Yang aku tahu, aku tidak bisa melihat Mas menderita."

"Tapi ini salah," kata Samudra, meski tangannya masih memeluk pinggang Senja dengan erat. "Kamu adik ipar Mas, Mas suami kakakmu."

"Aku tahu," bisik Senja. "Tapi perasaan ini... aku tidak bisa mengontrolnya."

Mereka terdiam lagi, terjebak dalam konflik antara hati dan akal, antara perasaan dan moralitas. Di luar jendela, Jakarta mulai tertidur, tapi di ruang kerja yang hangat itu, dua hati yang terluka menemukan kenyamanan satu sama lain dalam pelukan yang terlarang.

Malam masih panjang, dan keduanya tahu bahwa setelah malam ini, tidak akan ada jalan kembali. Mereka sudah melewati batas yang tidak seharusnya dilanggar, tapi pada saat bersamaan, mereka menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dalam hidup mereka, cinta yang tulus dan kehangatan yang nyata.

1
Ariany Sudjana
semoga samudra lekas tahu bahwa Luna selama ini selingkuh dari samudra, dan selama ini hanya ingin harta samudra saja. dan setelah samudra tahu yang sebenarnya, jangan sampai senja yang jadi sasaran Luna, kasihan senja dan samudra, ga tega lihatnya selalu jadi sasaran kemarahan Luna , yang sudah ga waras
Ariany Sudjana
eh Luna udah gila yah, yang buat samudra jadi ilfil kan Luna juga, selama ini ga mau melayani samudra, bahkan suami sakit, Luna milih jalan-jalan ke Bali, sama selingkuhannya. yang urus samudra sampai sembuh ya senja sendiri. jadi jangan salahkan senja dong. ini samudra belum tahu istrinya selingkuh, kebayang kalau tahu, seperti apa reaksinya samudra
Ariany Sudjana
bagus samudra, jangan mau masuk dalam jebakan Luna, dia tidak mencintaimu, hanya ingin harta saja, dan sekarang dia butuh 500 JT itu. dan di hati Luna hanya ada Arjuna , pasangan selingkuhnya
Ariany Sudjana
Luna juga kan selingkuh, jadi maling jangan teriak maling dong
Ariany Sudjana
saya sih ga salahkan senja atau samudra yah, kalau Luna bisa menghormati samudra selaku suami, mungkin ga akan terjadi. tapi Luna juga malah selingkuh, belum tahu saja Luna, kalau dia juga hanya dimanfaatkan saja sama selingkuhannya
Ariany Sudjana
di rumah ada cctv kan? coba samudra lihat kelakuan Luna terhadap senja, kalau Luna pas di rumah
Ariany Sudjana
semoga saja Dewi bisa menemukan dengan siapa Luna di restoran itu, dasar Luna bodoh, belum sadar hanya dimanfaatkan sama Arjuna
Bunda SB: namanya juga cinta kak🤭
total 1 replies
Ariany Sudjana
samudra harusnya jujur sama mama kandungnya, jangan takut nanti irang tuanya akan membenci Luna. kan memang selama ini Luna yang ga mau punya anak? kalau memang nanti orang tuanya samudra jadi benci sama Luna, ya itu urusan Luna
Ariany Sudjana
semoga samudra bisa melindungi senja, karena Luna begitu jahat dan licik, dan kalau Luna tahu apa yang terjadi selama dia di Bali, pasti senja akan disiksa habis sama Luna
Ariany Sudjana
saya sih ga menyalahkan kalau sampai samudra dekat sama senja. lha punya istri, tapi istri ga pernah memperhatikan dan mengurus suami, apalagi pas suami lagi sakit. Luna malah sibuk dengan selingkuhannya.
Ariany Sudjana
apa Luna punya selingkuhan? sehingga begitu dingin sama samudra, suaminya sendiri.
Ariany Sudjana
di rumah ga ada cctv? sampai samudra begitu percaya sama Luna
Ariany Sudjana
samudra jangan percaya begitu saja sama Luna, senja sampai pingsan karena ulah Luna, si nenek lampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!