“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.15
Sesuai janji Ivana, sore itu ia membawa Mia ke salah satu agen penyaluran pembantu dan baby sitter. Ivana berbicara kepada pemilik yayasan dengan nada penuh wibawa, memastikan satu hal: jangan sampai ada keluarga lain yang meminta Mia bekerja. Alasan yang ia berikan sederhana—Mia akan bekerja di rumahnya.
Pemilik yayasan pun mengangguk setuju, sementara Mia dipersilakan masuk untuk memulai pelatihan. Ivana menatap penampilan baru Mia dengan puas, seolah sedang melihat pion permainan yang siap digerakkan.
“Terima kasih, Ivana,” bisik Mia lirih.
“Ya. Aku akan menjemputmu kembali nanti,” jawab Ivana datar, sebelum melengos pergi.
Mia mengangguk patuh lalu melangkah masuk, sementara Ivana masih menatap punggungnya hingga benar-benar hilang dari pandangan. Senyum sinis tersungging di bibirnya.
“Sebentar lagi, Damian… kau akan jadi milikku,” gumam Ivana penuh kemenangan.
Ia pun pergi meninggalkan yayasan dengan hati berbunga-bunga, yakin langkahnya semakin dekat dengan apa yang ia inginkan.
****
Sementara itu, Damian baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Sebelum pulang, ia sempat mampir ke rumah Diana, ibunya. Sang ibu menitipkan makanan untuk Daisy sekaligus mainan untuk Vio.
Berpuluh menit kemudian, mobil Damian berhenti di halaman rumah besar Diana. Begitu turun, ia menyapa penjaga yang menyambut ramah.
“Sore, Pak.”
“Sore, Mas Damian. Nyonya ada di dalam, silakan masuk.”
Damian mengangguk, lalu melangkah ke teras. Diana duduk santai dengan ponsel di tangan. Begitu melihat putranya, wajahnya langsung sumringah.
“Damian, akhirnya kamu datang.” Diana bangkit dan memeluk erat putra semata wayangnya.
“Duduklah dulu. Bi Nur sudah siapkan minuman untukmu. Sebentar, Ibu ambil hadiah untuk Vio.”
Tak lama, Bi Nur datang membawa teh hangat. Damian mengucapkan terima kasih, sementara Diana kembali dengan dua kantong paper bag dan sebuah boneka teddy bear cokelat besar.
“Ini semua untuk Vio,” ujar Diana sambil meletakkannya di dekat Damian.
Damian terbelalak. “Astaga, Bu… banyak sekali.”
“Tidak apa-apa. Anggap saja permintaan maaf Ibu karena dulu pernah meragukan Vio.” Suara Diana melembut.
Damian tersenyum tipis. “Sudahlah, Bu. Sekarang aku dan Daisy sudah bahagia. Lupakan masa lalu.”
Diana mengangguk pelan, meski sorot matanya masih menyimpan sesal. “Kapan kalian akan datang ke sini? Ibu rindu sekali dengan Vio.”
“Nanti, kalau Daisy sudah siap. Aku tidak mau memaksanya.”
Percakapan itu berlangsung hangat sampai akhirnya Damian pamit. Ia memeluk dan mencium ibunya sebelum kembali pulang. Diana hanya bisa menatap punggung putranya yang menjauh, berharap Daisy suatu saat benar-benar mau membuka hatinya kembali.
*****
Senja sudah turun ketika Damian tiba di kediaman Niklas. Hatinya langsung hangat melihat Daisy dan Vio menyambutnya di ambang pintu. Vio bahkan bergerak heboh, mengeluarkan suara seolah memanggil “Ayah”.
Damian tertawa kecil, mencium pipi putrinya dengan gemas, lalu mengecup pipi Daisy sekilas. Gadis itu menunduk, wajahnya merona.
“Ayo masuk, sudah mau gelap.”
“Iya. Itu dari Ibu?” Daisy menunjuk kantong yang dibawa Damian.
Mereka berjalan bersama menuju kamar Daisy.
“Iya, Ibu kangen Vio.” Damian menaruh barang-barang itu, lalu pamit sebentar untuk membersihkan diri.
Daisy menggendong Vio yang terus merengek ingin ikut ayahnya.
“Sebentar, Sayang. Ayah mandi dulu.”
Vio berusaha berbalik dengan tubuhnya yang bulat, membuat Daisy tertawa. Ia pun menempelkan wajah ke perut putrinya, menggelitik hingga tawa renyah Vio pecah.
“Vio… Bunda akan selalu menyayangimu. Maafkan kesalahan Bunda di masa lalu, ya,” bisiknya tiba-tiba, air matanya jatuh begitu saja.
Tangisan Daisy membuat Vio ikut menangis. Tepat saat itu Damian keluar dari kamar mandi. Ia panik melihat keduanya menangis.
“Sayang, kenapa?” tanyanya cepat.
Daisy buru-buru menggeleng dan memeluk Damian, meski tubuh suaminya masih basah.
“Aku cuma… tiba-tiba sedih.”
Damian terkekeh. “Aku bahkan belum pakai baju, loh. Lihat tuh, Vio makin kencang nangis karena merasa diabaikan.”
Daisy buru-buru menenangkan Vio, sementara Damian berganti pakaian. Setelah siap, ia mengambil alih bayi mungil itu.
“Sudah sini sama Ayah.”
Daisy tersenyum melihat pemandangan itu, lalu bergegas mengeringkan rambut Damian.
“Rambut kamu masih basah. Duduk, biar aku keringkan.”
Damian menuruti, membiarkan Daisy mengeringkan rambutnya dengan penuh perhatian. Vio memperhatikan keduanya sambil mengoceh.
“Nanti kalau kamu punya suami, kamu juga harus begini sama dia, Vio,” celetuk Daisy.
Damian tersenyum samar. Ia tahu istrinya menyimpan luka yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Tapi ia juga tahu, cintanya pada Daisy dan Vio akan membuatnya bertahan.
“Sudah, ayo kita ke bawah,” ajak Daisy.
“Perutku sudah lapar,” tambahnya riang.
Damian menggenggam tangan istrinya erat. “Ayo.”
Sesampainya di ruang makan, mereka mendapati Jasmin sedang muntah-muntah, sementara Niklas berdiri bingung sambil diomeli.
“Mommy kenapa?” bisik Damian ke Daisy.
“Mommy nggak enak badan.”
“Ini semua salah kamu, Mas,” omel Jasmin ke arah Niklas, Jasmin menatap sang suami dengan tajam.
“Ya maaf… aku kan nggak tahu, nggak persiapan juga,” balas Niklas pasrah, padahal dalam hati dia sudah sangat bahagia. Rencananya berhasil.
“Ada apa sih, Mom? Kok marah-marahin Daddy?” Daisy ikut penasaran.
“Mommy hamil.” Jawaban Jasmin meluncur datar.
“Hamil?!” seru Daisy dan Damian bersamaan.
Daisy membelalak. “Serius, Mom? Ini nggak prank kan?”
“Ya kali Mommy bohong. Besok Mommy periksa ke dokter,” jawab Jasmin malas.
Niklas menimpali, “Ini baru dugaan. Tapi semua gejalanya sama seperti dulu waktu Mommy hamil kamu, Daisy.”
Daisy terdiam sejenak sebelum senyumnya mekar. Ia langsung memeluk ibunya dengan antusias.
“Selamat, Mom! Akhirnya aku punya adik. Vio juga punya Tante atau Om kecil.” Kekeh Daisy.
Jasmin hanya memutar bola mata, sementara Damian menyalami Niklas dengan senyum hangat. Vio ikut meronta ingin mencium sang nenek, membuat suasana ruang makan dipenuhi tawa dan rasa penasaran akan babak baru yang akan datang.
Bersambung ...
Jangan lupa komennn guysss