menceritakan kisah cinta antara seorang santriwati dengan seorang Gus yang berawal dari permusuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riyaya Ntaap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pindah
**
" Astaghfirullah diva! Kamu ngapain di atas!! "
Gus Zindan panik bukan main, setelah melakukan pencarian satu jam lebih, ia barulah menemukan diva. Itupun di atas pohon mangga di halaman belakang.
Diva tidak menjawab, ia justru cekikikan kecil, wajahnya tampak begitu menyeramkan. Membuat Gus Zindan yakin bahwa ada yang tidak beres pada diva.
" Turun! " Titah Gus Zindan.
Diva menggelengkan kepalanya pelan, tiba tiba saja ia menangis. Membuat Gus Zindan bertanya tanya.
" Kamu kenapa? Turun sini, cerita sama saya. " Teriak Gus Zindan.
Diva kembali menggelengkan kepalanya. Gus Zindan yang kehabisan ide, langsung membacakan ayat kursi dan ayat ayat lainnya, yang membuat diva seketika berteriak histeris.
Akibat teriakan diva, beberapa orang pun datang, membuat tempat tersebut jadi cukup ramai. Para ustadzah langsung mengondisikan para santri putri yang ikut mendekat dan melihat karena mendengar suara teriakan. Sementara beberapa ustadzah dan ustadz lainya ikut membacakan ayat ayat.
" Berentiiiiiii " teriak diva histeris, membuat para ustadz, ustadzah, dan juga Gus Zindan semakin menguatkan suara saat membaca ayat pendek.
Setengah jam kemudian, tubuh diva tiba tiba saja lemas, Gus Zindan merasa ada yang aneh hingga membuatnya reflek berlari saat melihat diva jatuh dari pohon mangga tersebut. Untungnya ia sigap tadi, hingga membuat diva terjatuh dalam gendongannya.
" Ini gimana ceritanya diva bisa ada di atas sana Sampek kesurupan Gus? " Tanya ustadz Angga.
Gus Zindan menggelengkan kepalanya pelan, ia juga tidak tau pasti, karena ketika sampai tadi, diva sudah berada di atas sana dengan kondisi di rasuki.
Gus Zindan akhirnya mengangkat tubuh diva, membawanya pulang ke rumah kyai habib. Gus Zindan tau apa yang ia lakukan ini salah, tidak seharusnya ia menggendong diva yang jelas jelas bukan mahramnya. Namun tidak mungkin pula ia meminta tolong pada para ustadzah untuk menggendong diva.
" Sama sama setan loh padahal, bisa bisanya di rasukin. " Batin Gus Zindan, saat menunduk sekilas melihat wajah diva yang pucat pasi.
**
" Astaghfirullah.... Ini kenapa? " Ning Salma mendekati diva. Ia kaget ketika mendapati sang putra menggendong salah satu santriwati yang selama ini kerap tinggal di rumahnya ketika waktu liburan tiba.
Ya, berhubung diva jarang pulang ketika musim libur tiba, ia biasanya tinggal bersama keluarga gus Zindan. Hal itu juga yang menyebabkan dirinya dan Gus Zindan tidak akrab seperti kucing dan tikus.
" Tadi diva kesurupan umi, dia duduk di atas pohon mangga. "
" Astaghfirullah.... "
Ning Salma duduk di dekat diva, mengusap wajah diva yang terdapat keringat dingin, di tambah lagi dengan wajahnya yang kelihatan begitu pucat.
" Ambil minyak kayu putih di kamar umi, cepat! " Perintahnya pada sang putra.
Gus Zindan menganggukkan kepalanya, ia berlari kecil menuju kamar sang umi untuk mencari minyak kayu putih. Beberapa ustadzah langsung izin untuk kembali ke rumah mereka karena ini juga sudah larut malam.
Di Pondok pesantren itu, memang di sediakan semacam kosan khusus untuk para ustadz maupun ustadzah yang belum menikah dan memiliki tempat tinggal yang jauh dari pondok pesantren.
Tak lama kemudian Gus Zindan kembali, ia membawa kotak p3k dan menyerahkan minyak kayu putih yang ada di dalamnya kepada sang umi.
" Besok diva di jemput mama nya. " Ucap umi Salma, membuat Gus Zindan mengerutkan keningnya.
" Kok tiba tiba banget, umi? "
" Umi juga ga tau, tapi katanya diva bakal di tarik keluar dari pondok pesantren ini. "
" Loh? "
Gus Zindan terdiam, ia bertanya tanya mengapa orang tua diva tiba tiba saja menariknya keluar dari pondok pesantren, dan ini terlalu mendadak, Tampa adanya alasan yang jelas.
**
Siang ini, mama diva benar benar datang ke pondok pesantren untuk membawa diva pulang. Kini Nadira sedang berada di rumah kyai habib untuk mengurus berkas berkas yang sekiranya di perlukan untuk menarik keluar diva dari pondok pesantren.
Wajah diva masih tampak begitu pucat akibat kejadian tadi malam, ia pun masih tampak begitu lemas. Diva di dekap erat oleh kakak laki lakinya.
" Kenapa tiba tiba banget mba? " Tanya umi Salma
" Iya mba, soalnya kami mau pindah ke Jerman. Ga mungkin diva sendirian di Indonesia, makanya mau mindahkan sekolah diva ke Jerman juga. " Jelas Nadira.
Sebenarnya Nadira juga merasa bahwa ada baiknya diva tetap berada di Indonesia, dan menamatkan sekolahnya di pondok pesantren ini, namun nantinya diva akan sendirian, apalagi mereka tidak punya sanak saudara yang akrab di Indonesia ini.
" Tapi kan nanggung mba, bisa tunggu Sampek diva tamat dulu. "
" Maunya juga gitu, mba. Sebenarnya payah juga prosesnya buat diva masuk ke sekolah di Jerman, karna dia kan pindahan pondok pesantren. Tapi kalo tetap melanjutkan di pondok pesantren ini, dia sendirian jadinya, dan malah nyusahin mba Salma lagi. " Ucap Nadira tak enak hati.
" Loh ya gapapa, mba. Diva pun udah saya anggap kayak anak sendiri, apalagi saya ga punya anak perempuan. Iya iya mba, diva jangan pindah sekolah. Biarin dia tetap di pesantren ini Sampek tamat. "
Entah kenapa, Salma merasa tidak rela jika diva harus di bawa oleh orang tuanya untuk tinggal di Jerman. Ia sudah terbiasa dengan adanya diva saat musim liburan tiba di rumahnya.
" Tapi nanti malah nyusahin mba Salma lagi. Diva kan bukan anak yang penurut, banyak ngelawannya lagi. "
" Gapapa mba, setidaknya diva anaknya jujur. "
Melihat Salma yang tampak kekeuh membujuk Nadira untuk tidak membawanya pergi, Nadira pun menghela nafasnya panjang. Ia menoleh, menatap putranya sekaligus putrinya yang berada dalam dekapan putranya.
" Gimana, Ka? "
Azka terdiam saat di mintai pendapat nya oleh sang mama. " Yaudah ma, diva tamatin dulu aja sekolahnya. Masuk sekolah di Jerman juga susah, apalagi diva bukan dari sekolah SMA, tapi pondok pesantren. " Ujarnya.
Nadira menghela nafasnya panjang.
" Tapi diva ikut kita pulang dulu ya, ma. Udah lama diva ga pulang. "
Nadira menganggukkan kepalanya, menyetujui usulan putranya. Ia ingin bersama putrinya sebentar sebelum pindah ke Jerman, yang nantinya akan membuatnya tidak memiliki waktu lagi untuk bertemu dengan putrinya, apalagi ia begitu di sibukkan dengan bisnisnya.
Sedari tadi Gus Zindan terus menatap diva. Dalam hati ia merasa kasihan juga dengan kondisi diva yang kelihatan begitu pucat saat ini, bahkan seperti mayat hidup. Namun jika dalam keadaan sehat, diva justru kelihatan sangat menyebalkan.
" jadi ini gimana Bu? Apa diva nya jadi di pindahkan? " tanya kyai habib setelah sekian lama hanya diam saja menjadi pendengar.
" ga jadi deh, kyai. diva tetap sekolah disini aja, tapi saya izin bawa diva pulang dulu selama dua Minggu, mungkin. " Nadira meminta izin untuk membawa putrinya.
kyai habib menganggukkan kepalanya, ia tidak merasa keberatan sama sekali jika diva mau di bawa pulang oleh keluarganya untuk beberapa waktu, namun jika di pindahkan rasanya akan sayang sekali, apalagi diva juga sebentar lagi tamat, hanya menunggu beberapa bulan lagi saja.