"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
plan to go
...Happy reading...
Di bawah naungan mahkota dahan pohon raksasa yang menjulang di halaman belakang rumah Leo, dua remaja itu merebahkan diri di atas dahan-dahan pohon yang kokoh. Mata mereka menerawang menembus celah-celah dedaunan, mengikuti tarian awan putih di hamparan langit biru yang luas tak bertepi.
Kaki-kaki mereka menggantung bebas, berayun-ayun perlahan di udara yang terasa hangat menyentuh kulit. Hanya suara angin yang lembut berbisik mesra di antara rintik dedaunan yang saling bergesekan, menciptakan simfoni alam yang syahdu. Keheningan yang pekat membungkus atmosfer pagi itu, hanya sesekali dipecah oleh cicit burung gereja yang riang atau deru motor yang melintas jauh di jalan depan, namun semua suara itu terasa semakin menenggelamkan mereka dalam kebosanan.
"El!"
Cely menolehkan kepalanya ke arah Leo. "Lo bosen nggak sih?" tanyanya.
Leo menghela napas pendek sebelum menjawab, "Bosen sih, terus kita mau ngapain?" Leo balik bertanya.
Mendengar jawaban Leo, Cely segera mengubah posisi menjadi duduk dan berbalik menatap Leo yang juga berbaring di belakangnya.
"Dufan aja yuk?!" ajak Cely dengan antusias.
Mendengar ajakan Cely, Leo langsung mengangkat sebelah alisnya.
"Dufan?!" seru Leo, "Dufan itu jauuuuh banget Cel! Emang kita mau naik apa kesana? Kalau naik bus, mau berapa lama?" tanyanya.
"Ya nggak usah naik bus! kita naik motor aja!" jawab Cely cepat sambil tertawa kecil, kemudian memeragakan gerakan seolah-olah sedang menarik tuas gas motor.
"Lo bonceng gue ya," pinta Cely.
"Nggak boleh," jawab Leo cepat, sambil menggelengkan kepalanya, "nanti kalau kita ditangkap polisi gimana?"
Cely mendengus geli mendengar kekhawatiran Leo yang berlebihan,
"Nggak bakalan! Lebay banget deh lo!"
Ia melangkah perlahan dengan kaki telanjang di atas dahan pohon yang kasar, bergerak anggun dari dahan ke dahan, semakin mendekat ke tempat Leo berada. Senyum percaya diri terpancar jelas di wajahnya yang ceria.
"Percaya deh sama gue," katanya meyakinkan, menatap Leo dengan tatapan yang penuh jaminan.
"Ayok dong!" paksa Cely lagi, kini sudah berdiri tepat di hadapan Leo, tangannya terulur meraih tangan sahabatnya itu. "Di sana nggak ada polisi," lanjutnya.
Leo masih terdiam mencerna ucapan Cely, keningnya berkerut dalam tanda berpikir keras. Beberapa saat kemudian, setelah pergulatan batin yang cukup intens, Leo mengangguk dengan ragu, namun setuju.
"Yesss!"
Cely yang sedari tadi menahan napas menanti jawaban Leo, langsung melompat kegirangan saat melihat anggukan itu. Ia melonjak-lonjak di atas dahan pohon tanpa mempedulikan ketinggiannya.
"EH EH CEL JANGAN LOMPAT-LOMPAT NANTI KITA JATUH!" seru Leo panik, matanya membelalak melihat tingkah laku Cely yang sembrono. Ia refleks berpegangan lebih erat dengan dahan pohon yang lain, jantungnya berdegup kencang menghadapi kemungkinan terburuk.
"Eh, maaf, maaf," kata Cely sambil terkekeh, menyadari ia telah kelewatan dalam merayakan kemenangannya.
"Yaudah, ayok kita turun!"
"Beneran nggak ada polisi kan?" tanya Leo memastikan lagi, keraguannya masih belum sepenuhnya hilang.
"Iyaaa."
Dengan hati-hati menuruni pohon, Leo dan Cely akhirnya tiba di halaman belakang rumah Leo. Mereka berdua berjalan menuju garasi berpintu kayu yang terletak di samping rumah.
"Eh iya, sebentar ya! Gue ganti baju dulu!" seru Cely, lalu bergegas berlari menuju rumahnya. Langkah kakinya yang cepat terlihat bersemangat.
Zein yang sedang duduk santai di kursi teras depan rumah, memperhatikan Cely berlari masuk. Matanya mengikuti gerakan Cely hingga punggung gadis itu menghilang di balik pintu. Setelah itu, pandangannya kembali fokus ke arah pintu rumah, menanti Cely keluar.
"Mau kemana lo?" tanya Zein, begitu Cely kembali muncul di hadapannya. "Pagi-pagi udah ngilang entah kemana, baru juga balik udah mau pergi lagi." ketus Zein.
"Ah, itu ... gue sama Leo mau ke Dufan," jawab Cely.
"Emang kepala lo udah nggak pusing lagi?"
Zein menatap Cely lekat-lekat, memastikan gadis itu benar-benar sehat. Cely hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum meyakinkan.
"Ya udah, hati-hati di jalan!" pesan Zein. Dengan segera, Cely kembali berlari ke rumah Leo.
Saat pintu garasi berderit terbuka, aroma khas oli dan debu langsung menyambut mereka. Sinar matahari pucat yang terseok-seok masuk melalui celah-celah pintu hanya mampu menyoroti beberapa bagian tertentu, membiarkan sudut-sudut ruangan terbenam dalam kegelapan. Di tengah keremangan itu, siluet motor hitam milik Leo terpampang jelas, berdiri angkuh di atas lantai semen.
Di sekeliling motor, dinding garasi dipenuhi berbagai perkakas. Kunci-kunci inggris berbagai ukuran tergantung rapi pada papan kayu, berkilauan samar di bawah cahaya minim. Obeng-obeng, tang, dan palu bergantung berdampingan. Sementara di sudut ruangan yang lebih gelap, bola basket usang dengan kulit yang mengelupas dan sepeda tanpa roda yang berkarat.
Leo segera mengarahkan motornya keluar dari garasi, dengan sigap menyalakan mesinnya hingga meraung halus, memecah kesunyian garasi. Tepat saat Leo hendak menuntun motor keluar sepenuhnya, pintu rumah terbuka dan sosok Bunda Leo muncul di ambang pintu.
"Leo mau ke mana? Kok ngeluarin motor?" tanya Bunda Leo. Ia berdiri anggun di depan pintu, menatap Leo dengan tangan bersedekap di dada.
Leo tersentak kaget, gerakannya terhenti seketika. Ia benar-benar lupa untuk meminta izin pada Bundanya sebelum nekad pergi bertualang.
"Ah, itu Bun," jawab Leo tergagap, matanya sedikit membulat karena kepanikan sesaat, "Leo sama Cely mau ..." Ia melirik Cely.
"Ke Dufan, Tante!" sambung Cely dengan cepat dan lancar, menyengir lebar pada Bunda Leo, berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang.
"Dufan? Beneran? Jauh loh itu," kata Bunda Leo, alisnya terangkat sedikit tanda terkejut. Ia menatap bergantian Leo dan Cely, menimbang-nimbang rencana mendadak kedua remaja itu.
"Cuma setengah jam perjalanan kok, Tante," ucap Cely dengan kekehan kecil, berusaha meyakinkan Bunda Leo bahwa Dufan tidak sejauh yang dibayangkan.
"Yaudah, kalo emang kalian mau ke sana, hati-hati di jalan ya," pesan Bunda Leo dengan nada suara yang melembut.
"Jangan lupa pakai helm! Takut ada polisi," saran Bunda Leo dengan senyum tipis terukir di bibirnya, memberikan sentuhan humor di tengah percakapan.
"Ah, iya, Tante," ucap Cely dengan anggukan mantap, membalas senyum Bunda Leo dengan lebih lebar. Ia merasa lega karena mendapat izin tak terduga dari Bunda Leo, dan kekhawatiran Leo tentang polisi terasa semakin lucu mengingat saran terakhir Bunda Leo.
Di tengah hiruk pikuk kendaraan berderu-deru membelah pagi yang berkabut tipis, Cely dan Leo berboncengan erat di atas kuda besi berasap mereka. Motor Leo melaju lincah di antara mobil-mobil dan motor-motor lain yang berdesakan, membelah keramaian jalanan Jakarta yang tak pernah tidur. Leo, dengan jaket jeans dan helm half-face menutupi sebagian wajahnya, memegang kendali atas motornya dengan tangan yang sedikit berkeringat. Angin pagi menerpa wajah mereka, membawa serta aroma knalpot dan debu jalanan yang khas.
"Jujur, sebenarnya saya takut," bilang Leo berteriak di atas deru mesin motor. Ia melirik spion sesekali, mengarahkan spionnya ke arah wajah Cely.
Cely yang duduk membelakangi Leo, tertawa ringan mendengar pengakuan sahabatnya itu.
"Jangan takut!" katanya, "kita kan udah pake helm. Lagian, siapa juga yang ngeh kalo kita masih di bawa umur?" lanjutnya.
Leo tak membalas celotehan Cely. Ia memusatkan seluruh perhatiannya ke jalan, mencengkeram erat stang motor.
Separuh jalan sudah sukses besar mereka lewati tanpa insiden sedikit pun. Lanskap kota berganti dengan cepat, menampilkan pemandangan yang kontras. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi dengan megah, berdampingan dengan deretan toko-toko yang baru saja menarik tirai dan memajang dagangan. Lalu lalang orang-orang yang sibuk memulai rutinitas harian semakin meramaikan suasana.
Namun, ketenangan semu itu buyar seketika saat di ujung jalan, tepat di jalur yang membentang lurus di depan mata mereka, sesuatu yang familiar tertangkap oleh pandangan Leo.
Di tengah kesibukan lalu lintas, berdirilah dengan gagah seorang figur yang sangat dikenali, sosok dengan seragam coklat khas kepolisian. Jantung Leo langsung berlomba memacu detaknya, perasaan ngeri dan takut menyergapnya kembali, kali ini jauh lebih dahsyat.
"Cel, lihat!"
Leo menunjuk panik ke depan, jarinya gemetar mengarah pada sosok berbahaya itu. Ia dengan sigap mengurangi kecepatan motor, berharap tidak perlu berpapasan dengan polisi tersebut.
"Udah, hajar aja!" jawab Cely enteng, seolah menghadapi rintangan sepele. "Tenang, nggak bakal kenapa-kenapa itu," lanjutnya meyakinkan Leo.
Namun Leo masih didera keraguan yang hebat, otaknya berputar cepat mencari solusi terbaik. Detik demi detik berlalu dalam ketegangan. Hingga akhirnya, dengan tekad yang terkumpul mendadak, ia memutar genggaman gas, menarik tuasnya kuat-kuat dan memacu motornya kembali.
Dengan jantung berdebar, mereka melaju, menerobos kerumunan polisi yang sedang sibuk bertugas. Setelah berhasil melewati manusia berseragam itu, Cely menoleh ke belakang, lalu berkata dengan nada puas.
"Tuh kan, bener! Nggak apa-apa kan?" tanya Cely dengan senyum kemenangan terukir di bibirnya.
"Syukur alhamdulillah!"
Leo menarik napas dalam-dalam, menghela nafasnya panjang penuh kelegaan.
..._________________...