"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 masalah di pagi hari
Mentari pagi menyusup pelan di sela tirai putih yang melambai lembut ditiup angin dari jendela apartemen. Cahaya keemasan menyinari ruang kamar dengan perlahan, menyapu wajah Zhavira yang masih bersandar di atas bantal. Namun, bukan sinar matahari yang membangunkannya pagi ini.
Dia sudah bangun beberapa menit sebelumnya.
Zhavira berbaring menyamping, menatap wajah Makes yang tampak damai saat tidur. Helaan napasnya teratur, matanya terpejam dengan alis yang sedikit berkerut—kebiasaan yang entah mengapa membuat Zhavira tersenyum kecil. Jari-jarinya hampir ingin mengusap lembut rambut pria itu, tapi ia hanya memeluk selimut lebih erat dan menikmati momen tenang itu.
“Kenapa kamu bisa seganteng ini saat tidur, sih…” bisiknya pelan, senyum menyelip di bibirnya.
Namun suasana pagi yang menenangkan itu buyar seketika saat ponsel Makes yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur tiba-tiba berdering.
Zhavira menoleh refleks. Nama di layar ponsel itu cukup besar dan jelas terbaca.
Cassandra.
Zhavira menelan ludah. Bibirnya sempat mengerucut sebelum ia menarik napas panjang dan menyentuh lengan Makes dengan lembut.
“Makes… telepon,” bisiknya. “Itu dari Cassandra.”
Makes mengerang pelan, mengusap wajahnya sebelum duduk malas dan meraih ponsel. “Hmm… halo?”
Zhavira bangkit dari ranjang, menyibak selimutnya, dan berdiri tanpa banyak bicara. Dia tak ingin terlihat sedang mendengarkan, tapi telinganya menangkap nada ramah dari Makes yang terdengar lebih… nyaman daripada yang ia harapkan.
“Hei, iya miss cassandra. Ada apa pagi-pagi?” suara Makes terdengar ringan, nyaris terlalu santai di telinga Zhavira.
Hati Zhavira mencelos. Sejak kapan mereka sedekat itu?
Dia masuk ke dapur, mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyalakan mesin kopi. Namun, detak jantungnya masih tak terkontrol. Pikirannya dipenuhi spekulasi dan rasa tak nyaman.
Ketika Makes selesai menelepon dan berjalan ke arah dapur sambil menguap kecil, ia langsung menyapa dengan senyum manis lalu memeluk pinggang Zhavira dari belakang, dab mencium pipinya lembut. “Pagi. Kamu udah bangun dari tadi?”
Zhavira hanya menoleh sambil menyodorkan secangkir kopi. “Iya.”
Makes menerima kopi itu, tapi alisnya langsung mengernyit. “Kenapa ekspresi kamu kayak gitu?”
“Kayak gitu gimana?” Zhavira berusaha terdengar biasa saja.
“Kayak lagi nyimpan sesuatu.”
Zhavira meneguk kopinya, lalu menatap Makes tanpa senyum. “Gak juga."
"Bohong." ujar Makes. Menatap Zhavira juga
"Sering ya kamu telepon-teleponan sama Cassandra?” Ujar Zhavira. Akhirnya mengutarakan isi hatinya.
Makes mengangkat alis. “Hah? Enggak juga. Tadi cuma—”
“Cuma apa?” potong Zhavira, nadanya pelan tapi tajam. “Kayaknya kaamu juga sudah biasa. Lagian untuk apa dia menghubungi kamu pagi-pagi begini, kalo emang bukan urusan kerjaan.’.”
Seketika Makes terdiam. Dia memandangi wajah Zhavira yang sekarang tampak murung, bahkan cemberut.
Zhavira menyandarkan tubuh ke meja dapur. “kemarin saja kamu marah sama aku karna Gio datang menemui aku, sekarang kamu begitu. Kamu tahu kan, aku juga nggak suka kalau kamu terlalu dekat sama perempuan lain. Meskipun itu rekan kerja kamu.”
“Zha…” Makes mendekat, mencoba meraih tangannya, tapi Zhavira menepis dengan lembut.
“Aku cuma... nggak mau kamu kasih ruang buat orang lain deketin kamu,” katanya lirih.
Makes menarik napas panjang, lalu menatapnya dalam-dalam. “Aku ngerti. Tapi kamu harus tahu satu hal.”
Zhavira menoleh, menunggu.
“Aku tidur di sini semalam bukan karena aku iseng. Aku masak buat kamu bukan karena aku punya banyak waktu luang. Aku di sini karena kamu. Karena aku milih kamu,” ucap Makes pelan namun tegas.
Zhavira terdiam. Matanya berkaca, tapi ia menahan agar tak jatuh, hatinya sangat kesal dan marah pada Makes.
Makes lalu tersenyum kecil. “Dan kalau kamu cemburu, aku malah senang. Artinya kamu sayang.”
Zhavira menghela napas, mendekat dan memeluk pinggang Makes. “Aku cuman takut, aku takut kamu akan berpaling setelah menemukan perempuan yang lebih baik dan lebih segala-galanya dari aku. Maaf, aku egois."
“Enggak. Aku gak akan pernah berpaling dari kamu, kalo aku memang mencari perempuan seperti Cassandra, mungkin sudah sejak dulu aku menikah. Kamu tau kan aku selalu di kelilingi perempuan seperti mereka. Bahkan yang lebih baik dari Cassandra. Tapi aku tidak suka. Aku tidak tertarik. Berbeda dengan kamu. Dari sejak pertama aku lihat kamu, aku sudah tertarik sama kamu,” balas Makes sambil mencium puncak kepala Zhavira.
Hening sejenak. Namun kini tak lagi canggung. Pagi yang sempat dingin karena kecemburuan itu, mulai kembali hangat karena kejujuran
**
Namun Zhavira sama seperti perempuan pada umumnya. Dia akan selalu membahas kesalahan lelakinya sampai kapanpun. Sama seperti sekarang, padahal keduanya sudah baikan, tapi kini di perjalanan menuju ke kantor, Zhavira kembali mendiami Makes.
Di dalam mobil, suasana sunyi. Zhavira memainkan jari-jarinya, dan Makes berkali-kali meliriknya, berusaha membaca perasaannya. Namun Zhavira malah menyalakan radio keras-keras, membuat Makes menghela napas panjang.
Begitu sampai di kantor, mereka berjalan beriringan menuju lift. Beberapa staf menyapa, namun Zhavira hanya membalas dengan anggukan kecil, senyumnya setengah hati. Di dalam lift, suasana makin tegang.
“Kalau kamu mau nelpon Cassandra lagi nanti siang, kasih tahu aku ya, biar aku bisa keluar kantor dulu,” sindirnya tanpa menoleh.
Makes memejamkan mata sebentar. “Kamu serius mau ngomong kayak gitu terus?”
“Aku cuma bercanda, sayang,” sahut Zhavira, tetap tanpa ekspresi.
“Bercanda kamu bisa bikin satu divisi resign,” gumam Makes dengan nada rendah.
Zhavira memutar tubuhnya menghadap Makes. “Aku cuma nggak suka, oke? Dengar suara kamu manggil dia pakai nada halus kayak gitu tuh... nyesek aja. Terus kamu bilang ‘aku hubungi kamu lagi nanti’, itu tuh...”
Pintu lift terbuka, tapi tak ada yang melangkah keluar.
Zhavira melanjutkan pelan, “Aku tahu aku nggak punya hak buat larang kamu komunikasi sama siapa pun. Tapi aku juga manusia, Makes. Aku bisa cemburu.”
“Zha,” suara Makes kali ini dalam dan pelan. Ia meraih tangan Zhavira, menahannya sebelum keluar dari lift.
“Aku angkat telpon Cassandra karena dia mau pamit. Dia mau pindah ke New York minggu depan. Dia bilang jika mungkin kerja sama antara perusahaannya dab juga perusahaanku, akan di handle asistennya. Dan dia hanya akan ke indonesia jika ada acara perusahaan saja, atau undangan khusus.”
Zhavira membeku. Matanya perlahan membulat. “Pindah?”
“Iya. dan asal kamu tau, dia juga tau jika aku milikmu, dia tau jika kamu kekasihku, calon istriku. Aku tidak pernah menyembunyikan kamu Zha.” kata Makes jujur, tatapannya lurus menembus mata Zhavira.
Zhavira terdiam. Lalu menghela napas berat. “Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?”
“Karena kamu udah marah sebelum aku sempat ngomong.”
Zhavira menunduk. Ia merasa bersalah. Tangannya menggenggam jemari Makes yang masih memegangnya erat.
“Sorry…” gumamnya pelan.
Makes tersenyum tipis dan menarik Zhavira ke dalam pelukannya. “Cemburu kamu lucu sih, tapi jangan terlalu sering ya. Bisa bikin CEO ini stres.”
Zhavira tertawa kecil di dada Makes. “Yaudah... aku janji nggak nyindir-nyindir lagi.”
Mereka akhirnya keluar dari lift, berjalan berdampingan ke ruang kerja. Kali ini, senyum kembali menghiasi wajah Zhavira—walau masih ada sedikit rasa tidak nyaman, tapi ia tahu… kepercayaan juga butuh waktu untuk tumbuh lebih besar dari rasa cemburu.