NovelToon NovelToon
Renkarnasi Letnan Wanita

Renkarnasi Letnan Wanita

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: kegelapan malam

Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.

Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...

apakah Citra akan berhasil?

selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Hari-hari pertama di apartemen Max terasa seperti bulan madu kedua bagi Leticia (Citra). Kehidupan mereka di sana jauh lebih pribadi dan intim dibandingkan di mansion keluarga Anderson. Max memastikan setiap kebutuhan Leticia terpenuhi, dari makanan kesukaan hingga film-film romantis yang mereka tonton bersama di malam hari, berpelukan erat di sofa.

Hubungan mereka semakin mendalam, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Leticia menemukan dirinya semakin nyaman dengan peran sebagai istri, dan perasaan tulus terhadap Max tumbuh tanpa bisa ia cegah. Namun, di balik semua kedamaian itu, naluri sang jenderal dalam dirinya tak pernah sepenuhnya tidur. Ia tahu, ketenangan ini hanyalah selingan. Jakarta dengan segala intriknya sedang menunggu.

Suatu pagi, saat Max sedang memeriksa laporan dari kantor di tabletnya di ruang kerja pribadinya, Leticia menghampirinya dengan secangkir kopi hangat. Ia meletakkan cangkir itu di meja samping Max, lalu memijat lembut bahu Max, merasakan otot-otot tegang di sana.

"Terima kasih, sayang," Max tersenyum, menoleh, dan mengecup punggung tangan Leticia. "Kau tidak perlu repot-repot begini."

"Tidak apa-apa," jawab Leticia, suaranya lembut, namun tatapannya menelisik ke layar tablet. "Kau terlihat sibuk sekali. Ada masalah?"

Max menghela napas, meletakkan tabletnya di samping. "Sedikit. Ini tentang laporan keamanan di beberapa proyek baru kita. Standar keamanannya harus diperketat, apalagi dengan kondisi ekonomi sekarang." Ia melihat ke arah Leticia, kekhawatiran terlihat samar di matanya.

 "Dan juga... aku masih sering berpikir tentang insiden di mansion, Tia. Aku takkan tenang sampai aku tahu pasti apa yang terjadi hari itu."

Leticia mengangguk pelan.

"Aku mengerti. Aku juga ingin semua ini cepat berlalu, Max." Ia tahu Max masih mencari kebenaran, dan ia harus berakting dengan hati-hati. "menurutmu siapa yang melakukan ini semua Max? apakah dia akan melakukan sesuatu lagi?"

Max mengusap lengan Leticia. "Aku yakin dia tidak akan diam. Dia sudah menunjukkan seberapa jauh dia bisa pergi. Itu sebabnya aku ingin kita tetap di sini. Jauh lebih mudah untuk mengamankan tempat ini daripada mansion yang terlalu banyak lalu lalang orang." Max menjeda, merenung.

"Aku sudah menugaskan beberapa orang terbaik Bram untuk mengawasinya. Aku tidak akan meremehkannya lagi, terutama setelah kejadian itu. Aku ingin kau aman, di mana pun kau berada."

"Baguslah kalau begitu," Leticia mengangguk setuju, otaknya sudah memproses informasi tentang pengawasan Petricia.

"Aku tidak ingin kau terlalu santai, Max. dia itu licik. Aku punya firasat dia tidak sendirian."

Meskipun ia tidak bisa terang-terangan mengatakan ia tahu tentang Arka atau dalang misterius, ia harus menekankan bahaya Petricia.

"Keamananmu juga harus diperhatikan."

Max menatap Leticia, sedikit terkejut dengan ketegasan dalam suaranya dan nalurinya yang tajam.

"Kau benar. Aku tidak akan lengah. Kita harus sangat berhati-hati. Setelah semua ini selesai, kita bisa hidup tenang tanpa bayangan apa pun, Tia." Ia menarik Leticia untuk duduk di pangkuannya, memeluknya erat. "Aku hanya ingin kita berdua bahagia, selamanya."

Di sisi lain kota, Petricia sedang dalam puncak keputusasaan, bahkan melampaui ambang batas kewarasan. Wajahnya semakin cekung, mata merahnya menunjukkan kurang tidur berhari-hari. Ponselnya, yang kini hanya berfungsi sebagian dengan layar retak, terus bergetar dengan panggilan tak dikenal dan pesan-pesan bernada ancaman yang semakin spesifik dan mengerikan.

Ancaman itu tidak hanya tertuju padanya, tetapi juga pada orang tuanya, bahkan samar-samar menyebut nama Max. Ia tahu, ia harus melakukan langkah ekstrem, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan.

"Tiga hari sudah lewat, Petricia. Hasil? Nol. Apa kau pikir aku bermain-main?" Suara dalang misterius itu, yang hanya ia dengar melalui perantara, kini terasa membakar otaknya.

"Kau akan membayar mahal untuk kelalaianmu. Orang-orang yang kau sayangi akan merasakan akibatnya."

Petricia menjerit tertahan, menutupi telinganya dengan kedua tangan, mencoba mengusir suara itu dari kepalanya.

"Cukup! Cukup!" raungnya, air mata mengalir deras membasahi pipinya yang kotor. "Aku tidak punya pilihan lain!"

Ia teringat sebuah nama, sebuah koneksi yang pernah ia dengar dari lingkaran gelap Arka. Seseorang yang bergerak di bawah bayang-bayang, mampu melakukan hal-hal yang bahkan Arka pun tidak berani sentuh secara langsung. Seseorang yang reputasinya sudah tercoreng oleh darah dan kekejaman. Namanya adalah Reza.

Dengan tangan gemetar, Petricia mengetikkan pesan singkat ke nomor kontak yang Arka berikan padanya dulu untuk situasi darurat. Ia meminta pertemuan dengan Reza, secepatnya. Tidak butuh waktu lama, balasan datang. Sebuah alamat kafe tersembunyi, jauh di sudut kota yang jarang terjamah.

Siang itu, Petricia dengan penampilan yang kacau dan mata penuh kecemasan, duduk di sudut tergelap kafe. Tak lama kemudian, seorang pria jangkung dengan mata tajam dan ekspresi dingin menghampirinya. Reza duduk di depannya, tanpa basa-basi, langsung ke intinya. Dia mengenakan jaket kulit hitam, aura berbahaya terpancar darinya.

"Kau Petricia?" tanya Reza, suaranya dalam dan berat, tidak ada nada basa-basi. "Aku dengar kau punya masalah besar."

Petricia menggeser amplop tebal berisi uang tunai di atas meja ke arah Reza. "Aku ingin dia menghilang. Selamanya," bisiknya, suaranya bergetar namun penuh tekad yang dipaksakan.

"Leticia. Aku ingin dia mati. Kali ini, tanpa jejak. Aku ingin dia menderita lebih dulu sebelum mati."

Reza mengangkat alisnya, mengambil amplop itu, dan menimbangnya di tangannya, seolah menilai berat nyawa manusia. "Bukan pekerjaan mudah. Dia dilindungi oleh Maximilian Bailey. Penjagaannya sangat ketat."

"Aku tahu!" seru Petricia, sedikit frustrasi dan putus asa.

"Makanya aku mencarimu. Aku dengar kau tidak pernah gagal dalam 'pekerjaanmu'."

"Itu benar," Reza menanggapi dengan tenang, matanya menatap Petricia lekat, seperti predator.

"Tapi harganya mahal. Dan risikonya sangat tinggi. Ini bukan hanya menghilang. Ini melibatkan keluarga Bailey. Itu berarti skala besar, dan dampaknya bisa meluas."

"Berapa pun!" Petricia bersikeras, keputusasaannya membuatnya gelap mata.

 "Berapa pun yang kau mau. Aku akan bayar. Aku punya akses."

Reza menyesap kopinya perlahan, menatap Petricia sejenak, mengevaluasi. "Aku butuh informasi yang sangat detail. Rutinitasnya, kelemahannya, setiap orang yang melindunginya. Aku butuh denah, jadwal, segala hal kecil. Dan aku butuh waktu. Paling cepat dua minggu. Mungkin lebih, tergantung kerumitannya."

"Dua minggu?!" Petricia memucat. "Aku tidak punya waktu sebanyak itu! Aku di bawah tekanan besar! Mereka akan... mereka akan menyakitiku jika aku tidak bertindak cepat!"

"Itu risikomu," Reza menukas datar, tanpa simpati sedikit pun. "Atau kau cari orang lain. Tapi kau tidak akan menemukan yang lebih baik dariku, yang bisa menjamin bersih tanpa jejak."

Petricia terdiam, menimbang-nimbang. Ia tidak punya pilihan lain. Tekanan dari dalang di baliknya, kecemburuan dan kebenciannya pada Leticia yang membakar jiwanya, semuanya mendorongnya ke batas akhir. "Baik. Aku akan memberimu semua informasi yang kubisa. Detail setiap hari. Tapi kau harus bergerak cepat. Aku akan mengirimkan deposit awal segera setelah ini."

"Deal," kata Reza singkat, bangkit dari kursinya. Ia menaruh secarik kertas kecil di meja.

"Jangan hubungi aku. Kau akan menghubungiku jika ada perkembangan signifikan dari pihak Max, atau jika aku yang perlu. Ini nomorku yang bisa dihubungi sekali saja jika sangat darurat. Selebihnya, aku akan menghubungimu." Reza pergi begitu saja, menghilang ke keramaian kota, meninggalkan Petricia dengan secangkir kopi dingin dan beban baru di pundaknya, beban yang jauh lebih berat dan gelap daripada sebelumnya. Ia tahu ia telah melewati batas yang tidak bisa kembali, tetapi rasa dendamnya kini terlalu besar untuk mundur.

Beberapa hari berlalu. Max dan Leticia menjalani kehidupan rumah tangga yang semakin harmonis di apartemen. Leticia mulai membiasakan diri dengan rutinitas baru ini. Ia menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang Max berikan, menonton film, dan sesekali mencoba memasak dibantu Max, menciptakan suasana rumah tangga yang hangat dan penuh tawa.

Max, di sela-sela pekerjaannya yang padat, selalu meluangkan waktu untuk Leticia. Mereka semakin banyak berbagi cerita, meskipun cerita Leticia hanyalah cerita fiksi tentang masa lalunya yang kosong yang ia coba isi dengan berbagai detail baru. Max tidak peduli, ia senang Leticia mulai membuka diri dan menunjukkan sisi yang lebih ceria.

Suatu sore, Max mengajak Leticia ke sebuah taman Pribadi di dekat apartemen mereka. Mereka duduk di bangku di bawah pohon rindang, mengamati anak-anak bermain dan tertawa riang.

"Kau terlihat sangat menikmati ini," ujar Max, mengamati Leticia yang tersenyum lembut melihat anak-anak. "Kau suka anak-anak?"

Leticia mengangguk, matanya berbinar. "Tentu saja. Mereka polos dan jujur. Jauh dari intrik dunia orang dewasa." Ia menghela napas, sebuah gambaran dari hati Leticia yang asli, yang kini perlahan merasuki dirinya.

"Dulu... aku selalu membayangkan punya keluarga sendiri. Sebuah rumah yang hangat, dengan anak-anak berlarian."

Max tersenyum lembut, merangkul bahu Leticia, menariknya lebih dekat. "Kita bisa punya itu, sayang. Kapan pun kau siap."

Leticia menoleh, menatap Max dengan tatapan sendu bercampur bahagia. "Kau... kau benar-benar ingin?" Ada keraguan di sana, keraguan seorang jenderal yang tak pernah berpikir tentang masa depan pribadi seperti ini.

"Tentu saja," jawab Max mantap, tanpa keraguan sedikit pun. "Kau adalah istriku. Aku ingin membangun keluarga denganmu, Tia. Aku ingin melihatmu bahagia sepenuhnya, melihatmu menjadi seorang ibu, melihat anak-anak kita tumbuh di rumah ini."

"Max..." Leticia merasakan air matanya menggenang, sebuah emosi yang jarang ia tunjukkan. Kata-kata itu, janji itu, terasa begitu nyata dan mengharukan. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan kesempatan seperti ini dalam hidupnya sebagai jenderal yang selalu sendirian, hidupnya yang penuh dengan bahaya dan pengorbanan. "Aku tidak tahu harus berkata apa."

"Jangan berkata apa-apa," Max tersenyum, mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang. "Cukup rasakan. Aku mencintaimu, Tia. Sangat mencintaimu. Lebih dari apa pun."

Meskipun kebahagiaan baru ini menyelimuti Max, benaknya tidak pernah berhenti bekerja. Ia tahu Petricia tidak akan menyerah begitu saja. Ia harus tetap waspada, mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk mengungkap semua kebenaran, sekaligus melindungi Leticia.

"Bagaimana, Bram? Ada pergerakan signifikan dari Petricia?" tanya Max suatu malam melalui telepon, suaranya pelan agar tidak membangunkan Leticia yang sudah terlelap damai di sampingnya.

"Belum ada pergerakan mencurigakan yang langsung, Tuan. Dia masih lebih banyak mengurung diri di rumah," jawab Bram di ujung telepon, laporan itu datar. "Tapi... ada yang aneh, Tuan. Dia terlihat sangat tertekan, dan ada laporan dia sempat bertemu dengan seorang pria yang dikenal sebagai 'Reza' di sebuah kafe tersembunyi."

Max mengernyitkan dahi. Reza? Nama itu tidak asing. Ia pernah mendengar selentingan tentang Reza, seorang yang terlibat dalam pekerjaan kotor, penculikan, bahkan pembunuhan bayaran. Jika Petricia sampai menghubungi orang seperti itu, artinya ia telah melewati batas yang tidak bisa kembali. Ini jauh lebih serius dari sekadar upaya penculikan.

"Reza?" ulang Max, nada suaranya menajam.

"Bram, aku mau kau tingkatkan pengamanan di apartemen dua kali lipat. Tidak, tiga kali lipat. Jangan biarkan Leticia sendirian sedetik pun, bahkan saat aku tidak ada. Beri tahu semua tim untuk sangat waspada. Aku ingin laporan detail tentang setiap orang yang masuk atau keluar gedung, dan pasang lebih banyak kamera pengawas. Aku tidak peduli berapa biayanya."

"Siap, Tuan," Bram menjawab, menyadari urgensi dalam suara Max. "Akan saya laksanakan. Seluruh tim akan siaga penuh."

Max menutup telepon, pandangannya beralih pada Leticia yang tidur pulas, damai di sampingnya. Tangan besarnya mengusap rambut Leticia lembut, merasakan kehangatan kulitnya. Ia berjanji akan melindungi wanita ini dengan seluruh hidupnya, dari segala bahaya yang mengancam. Ia tidak akan membiarkan bayangan gelap Petricia merusak kebahagiaan yang baru saja mereka temukan. Perang ini, kini terasa jauh lebih pribadi dan mematikan. Ia harus memenangkan ini, demi mereka berdua.

1
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©
Ya Allah.... itu hp krang kring mulu, ganggu aja siihhh/Curse/ lama² ku banting juga lho..
Srie Handayantie
iyaa lanjutkan lah apapun yg sudah menjadi tekadmu cit, jgn pernh mundurr siapa tau kedepannya bisa menemukan dalang dibalik itu smua 🤔 aku curiga dalang nya masih disembunyikan si cepott jadi belum ketahuan🤭😂
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTANARM¥°
ayok Tia mulai lah menjadi Mei yang suka teriak pada ketiga Bestinya... buat orang itu kesakitan dalam telinga nya
≛⃝⃕|ℙ$ 𝐀⃝🥀MEI_HMMM: astaghfirullah🤣🤣
total 1 replies
ˢ⍣⃟ₛ≛⃝⃕|ℙ$⛧⃝UHUY𓂃❼⧗⃟ᷢʷꪻ꛰͜⃟ዛ༉
idihhh nenek lampir/Speechless/
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©
tidak ada yg kebetulan di dunia ini Citra.. dan jika itu terjadi, maka itulah takdirmu..
🦂🍃 CISUN 2 🦂🍃
Ooohhh
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTANARM¥°
uhhh ada janji masa kecil ternyata
Srie Handayantie
berarti karna janji disaat dia kecill dulu makanya dia masuk dalam tubuh leticia dan menepatinya,
Zea Rahmat
reinkarnasi yg kebetulan km citra masuk ke tubuh keturunan nenek sophia
nurul supiati
msih gk nemu plottt twist nya gimna dan arahnya kmna
nurul supiati
ouhh karena harta yakkk... pantesan bgtu apa tuan dan nyonya Anderson menyakiti kmbaran nyonya clara
ˢ⍣⃟ₛ≛⃝⃕|ℙ$⛧⃝UHUY𓂃❼⧗⃟ᷢʷꪻ꛰͜⃟ዛ༉
ini petricia mau di apa 😤
🦂🍃 CISUN 2 🦂🍃
Waah sepertina ini masih keluarga ortu leticia 🤔
ˢ⍣⃟ₛ≛⃝⃕|ℙ$⛧⃝UHUY𓂃❼⧗⃟ᷢʷꪻ꛰͜⃟ዛ༉
nggak usah khawatir bukk😒, biarkan saja dia tidak makan. nanti jika lapar dia pasti akan makan, bukkkk/Speechless/
ˢ⍣⃟ₛ≛⃝⃕|ℙ$⛧⃝UHUY𓂃❼⧗⃟ᷢʷꪻ꛰͜⃟ዛ༉
semalam lagi apa pak max 🗿
Srie Handayantie
nahh kan hanya saat diperlukan kau aman, stelah gagal kau dibuang bahkan jadii buronan dan hidupmu makin tidak tenang. itulah karma mu Patric 😏
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTANARM¥°
Cerita nya semakin seru dan menarik
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTANARM¥°: same same yeee
≛⃝⃕|ℙ$ 𝐀⃝🥀MEI_HMMM: alhamdulilah terimakasih
total 2 replies
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTANARM¥°
alah dia jadi buburona kan akhirnya maneh di sia siakan begitu
🔵≛⃝⃕|ℙ$ Fahira Eunxie💎
mantap, Petricia akhirnya jadi buron /Joyful/, ayo semangat mencari dalang utamanya Max dan Leticia

semangat dan sehat selalu kak thor
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©
rasakan!! nikmatilah hidupmu sebagai buronan Petricia.. itu baru permulaan, kita lihat sejauh mana kamu bertahan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!