"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Kita Selesai.
Pameran Seni
Roda mobil sudah terhenti di depan gerbang kost khusus putri di jalan Merbabu Raya. Akbar menoleh ke arah Dea.
"Kamu kost di sini?" tanyanya. Dea hanya mengangguk. Akbar segera turun untuk membukakan pintu sisi kiri, namun Dea sudah keluar tanpa menunggu pintu dibukakan.
"Tidak perlu mengantar, di sini hanya tamu perempuan yang dibolehkan masuk gerbang. Terima kasih untuk semuanya."
Akbar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Dea, tidak bisakah kita berteman?"
Dea memutar tubuhnya, kembali menghadap Akbar. "Darimana kamu tahu namaku?" tanyanya dengan tatapan selidik.
"Dari ... kamu ingat nggak? waktu di rest area kamu pingsan. Aku ada di sana, dan kita sudah berkenalan saat itu." Dea mengernyitkan keningnya mengingat kejadian di rest area. Tapi Dea menggeleng. "Yaa ... Karena kamu saat itu sedang kurang sehat."
"Kamu ingat, aku teman perjalanan kamu di kereta dari Jakarta," ungkap Akbar.
"Aku tahu."
"So ... ?" Akbar menunggu kalimat ajakan untuk memulai pertemanan.
Dea diam. Berpikir kata-kata apa yang akan ia berikan pada Akbar, "Aku ... terima kasih untuk hari ini. Aku lelah sekali."
Dea sedang tidak ingin membuka pertemanan pada siapapun, apalagi makhluk berjenis kelamin laki-laki.
"Lelah? Baiklah untuk hari ini cukup sampai di sini, Dea. Besok aku libur. Bisakah kamu menemaniku mengunjungi pameran lukisan?" tanya Akbar. "Pameran tunggal airbrush on canvas dari Widoyo 'Ndoyo'. Aku di Solo ini tidak punya teman atau saudara, kuharap kamu mau menemaniku," imbuh Akbar.
Dea terdiam cukup lama. Tidak ingin melangkah memberi celah pada Akbar tapi tawaran Akbar cukup menarik, karena ia juga suka sekali dengan semua hal yang berbau seni. Dea menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan dengan tenang.
"Aku, pulang kerja jam dua siang. Apakah waktunya cukup untuk mengunjungi pameran?" tanya Dea akhirnya.
"Kurasa cukup, Galery Taman Budaya Jawa Tengah tutup jam 21.00. Aku jemput di depan minimarket, gimana?" tanya Akbar.
"Mini market ya, kenapa nggak di depan cafe?" tanya Dea bingung. Karena jarak cafe Dea dengan mini market lumayan jauh.
Akbar mengusap tengkuknya pelan, "emmh ... Aku tidak enak dengan teman kerja kamu. Atau aku jemput di kosan kamu ini, gimana?" kelit Akbar.
Jika menjemput Dea di depan cafe bukan tidak mungkin ia bisa bertemu Dona. Gadis pilihan orangtuanya yang akan di jodohkan padanya. Karena Dona pemilik cafe di tempat Dea bekerja.
"Ya sudah di mini market." Dea tersenyum tipis lalu melambaikan tangan sebagai perpisahan.
Akbar masih terus menatap punggung Dea hingga tubuh ringkih itu menghilang di baik tangga.
"Yess!!" Akbar memukul udara, entah mengapa jantungnya berdetak lebih kencang saat di dekat Dea.
Keesokan harinya.
Dea berjalan ke arah minimarket setelah menyelesaikan jam kerjanya. Hari itu Dea memakai kemeja berwarna pastel, rok batik pecah 8 dengan potongan asimetris, panjangnya 7/8. Rambutnya ia Cepol ala messy bun dengan hiasan rambut berbentuk sirkam berhias mutiara. Terkesan cantik, cute dan lembut.
Akbar masih duduk di dalam mobil saat Dea berjalan mendekati mini market. Ia nyaris lupa bagaimana cara mengatupkan bibirnya. Terpesona. Akbar memasang dulu kaca mata hitamnya, memakai masker dan topi baru keluar dari mobil untuk menyambut Dea.
"Hai!" sambutnya dengan mata berbinar, tentu saja Dea tidak dapat melihat binar matanya karena tertutup kacamata tinted glasses.
"Hai," jawab Dea dengan mengulas senyum tipis.
"Silahkan ... " Akbar membukakan pintu di kursi penumpang. Lalu ia memutari kap mobil untuk duduk di depan kemudi.
"Kamu terlihat lebih segar, Dea. Bagaimana perasaanmu hari ini?" puji Akbar berusaha tidak berlebihan, walaupun jantungnya dag-dig-dug.
"Better." Dea tersenyum tipis.
Setelah memarkirkan mobilnya, mereka turun dan berjalan perlahan ke galery yang sudah di penuhi para pecinta seni. Akbar terus memperhatikan jari jemari kaki Dea yang terawat rapih, kukunya tidak panjang tapi berkilau dan berwarna merah muda, indah.
Kaki Dea beralas sandal yang terbuat dari kulit dengan aksen tali temali hingga ke atas sampai setengah betis.
"Apa ngga repot ikat talinya?" pertanyaan random Akbar lontarkan untuk memecah kebisuan di antara mereka.
Dea terkekeh pelan, "repot juga sih, harus sembelih sapi untuk ambil kulitnya, belum lagi harus nyari rotan dulu ke hutan untuk dibuat tali," canda Dea
Tawa Akbar pecah seketika, gadis yang setiap bertemu dengannya selalu dalam keadaan bersedih ternyata bisa bercanda.
"Emangnya bisa lihat lukisan di balik kacamata riben itu?" tanya Dea sambil melirik Akbar.
"Woohoo ... kita sudah sampai di dalam galery ya? Aku pikir masih di jalan, silau sekali! Apa karena kecantikan kamu yang menyilaukan ya?!" tanya Akbar pura-pura, sambil membuka kacamatanya.
Dea geleng-geleng kepala melihat tingkah Akbar yang sedikit urakan, kesan badboy plus playboy begitu kental.
"Dari sembilan lukisan Ndoyo' kenapa ikan Koi nya selalu berkumpul?" tanya Akbar, suaranya setengah berbisik.
"Karena berdasarkan fengshui, sembilan artinya selamanya. Coba deh lihat, ikan Koi yang berkumpul di setiap lukisan Widoyo berjumlah delapan dan sembilan. Delapan artinya keberuntungan dan sembilan artinya selamanya," tutur Dea.
"Jika aku memiliki anak, aku ingin memiliki delapan orang anak, agar keberuntungan selalu menyertai rumah tangga, dan kesembilannya adalah kamu. Kamu penyempurna hidupku, Saklawase ... " rayu Akbar dengan tatapan menggoda.
"Eh ... Pinter sekali mengalihkannya," jawab Dea tersenyum kecil.
"Di sana ada performance art body painting dengan air brush, ayo kita lihat," ajak Akbar.
Seorang gadis memakai kemben dan lagging berdiri dengan gayanya yang artistik, Widoyo mengarahkan ujung pistol airbrush ke tubuh gadis itu, terkadang di bantu stensil airbrush untuk gambar yang terlalu rumit. Setiap goresannya terlihat sempurna dengan warna-warna mencolok.
"Pinjam tangan kamu," pinta Akbar.
Dea memberikan punggung tangannya. Akbar mengeluarkan pulpen khusus melukis yang selalu ia bawa kemana pun. Dengan lihai tangannya menggambar wajah Dea yang menyamping di atas punggung tangan Dea.
Wajah Dea terus tersenyum, sesekali melirik Akbar yang wajahnya tengah serius dan fokus. Jika diperhatikan Akbar memiliki garis wajah yang tegas dan tampan. Kulitnya putih bersih kemerahan, kulit yang biasa tersentuh skincare mahal. Alisnya lebat dan hitam.
"Sudah!" seru Akbar.
"Bagus sekali," jawab Dea.
Seakan menaburkan gula di atas senyuman Akbar. Lelaki itu tersenyum manis sekali.
Tanpa disadari, mereka sudah berjam-jam di galeri seni. Dari hanya melihat dan menilai setiap lukisan, berdiskusi dengan para pecinta seni hingga mencoba art body painting dengan sang maestro. Tepat jam 20.55, pihak galeri mengatakan akan menutup galeri. Dea dan Akbar akhirnya berpamitan dengan komunitas seni yang baru saja mereka kenal.
"Aku lapar, Dea. Kita cari makan ya... " Akbar sudah menjalankan mobilnya ke sebuah rumah makan Mbah Mangoen di Solo, tempat makannya para old money di Solo.
Saat mereka sudah masuk rumah makan tersebut, ada dua meja berisi para tentara yang memakai pakaian bebas. Mereka semua mengenali Akbar. Mengajak Akbar duduk bergabung bersamanya. Dan, satu hal yang mencolok bagi Dea.
Di sana ada Devan.
Tatapannya terlihat masih sama, tajam dan senyum tipisnya penuh wibawa. Akbar mengajak Dea bergabung, meski terasa canggung Dea mengikuti Akbar ikut bergabung. Satu persatu mengajak Dea berkenalan dan bersalaman.
"Siapamu, le?" tanya lelaki paruh baya, sepertinya dia adalah pimpinan yang sangat di hormati dan dituakan di antara yang lainnya.
"Teman pakde," jawab Akbar, wajahnya terlihat serba salah.
"Hmm... Sebentar lagi Andi Jauhar akan ngunduh mantu ini," gurau seseorang yang dipanggil pakde oleh Akbar. "Sudah siap menikah mbak?" tanyanya lagi. Dea melirik Akbar yang sedang tersenyum lebar, lalu Dea membalasnya dengan senyum tipis.
Dari ekor matanya, Devan terus mengawasi Dea dengan tatapannya yang tajam. Sesekali ia menyamarkan tatapan tajamnya dengan kepulan asap dari batang nikotin yang ia hisap secara terus menerus lalu ia hembuskan hingga menutupi wajahnya, seakan ia sedang membakar hatinya yang sudah membara.
Dea hanya menunduk saat obrolan semakin tidak ia mengerti. "Aku ijin ke toilet," bisik Dea pada Akbar.
"Perlu aku antar?" Dea menggelengkan kepalanya. Dia butuh ruang sendiri.
Dengan tergesa Dea melangkah ke toilet restoran, saat kakinya akan melangkah ke bilik toilet. Lengannya di tarik seseorang.
"Sejak kapan kamu mengenal Akbar?" tanyanya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dea memperhatikan Irish mata Devan. Di sana ada kemarahan, ketakutan dan ... kerinduan. "Belum lama, kenapa?"
"Jauhi Akbar, Dea!" pesan Devan. "Dia—" ucapan Devan terjeda karena ada orang lain yang baru keluar dari bilik toilet.
Devan melirik kiri dan kanan seakan sedang mengukur tingkat bahaya, "Berikan ponselmu!" pinta Devan nadanya memaksa.
Dea memberikan ponselnya pada Devan. Lelaki itu mengetikkan sesuatu di ponsel Dea, lalu nada dering terdengar di ponsel Devan.
"Kita lanjutkan pembicaraan melalui chatting, cepat balas pesanku." Devan segera berbalik badan.
"Jika aku tidak menjawab, apa yang akan kamu lakukan?!" tantang Dea.
Langkah Devan terhenti.
"Aku tidak akan menjawab pesanmu. Seperti kamu mengabaikan ratusan pesanku. Tanpa kabar kamu membiarkan aku menunggu seperti orang bodoh di lobi hotel. Semenjak hari itu, aku anggap hubungan kita, selesai!" Tegas Dea.
Devan membalik tubuhnya menghadap Dea, "ponselku hilang malam itu, aku tidak bisa menghubungimu, Dea."
"Tapi kamu tahu dimana bisa menemui ku, menjelaskan mengapa hari itu kamu menghilang. Satu bulan lebih kamu hilang tanpa kabar. Dan sekarang kamu datang seakan tidak pernah terjadi apa-apa ... Aku seperti—" cecar Dea, namun ucapannya terjeda karena seseorang memanggil Devan.
"Komandan, Pak Wiyono mencari mu," panggil ajudan Wiyono.
"Aku akan ke sana." Devan membalikkan badannya meninggalkan Dea dengan tatapan kecewa.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban