Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal Tak Terduga
Beberapa minggu telah berlalu sejak kepulangan mereka ke Indonesia. Hari-hari berlalu dengan tenang dan tertata. Aleron menjalani pekerjaannya seperti biasa, namun ada yang berbeda kini — ia bukan lagi sosok CEO workaholic yang dulu dikenal hanya pulang saat langit benar-benar gelap. Kini, meski jadwalnya padat, ia selalu berusaha menyelesaikan semua lebih awal. Ada alasan untuk pulang, alasan yang selalu menunggu dalam diam, tapi penuh kehangatan, Thea dan Baby Cio.
Thea sendiri menjalankan perannya dengan luar biasa. Sesuai kesepakatan mereka, Thea bekerja mostly from home, dan hanya dua kali seminggu datang ke kantor untuk urusan penting sebagai Head Designer. Di luar itu, waktunya banyak dihabiskan di mansion, di kamar yang Al siapkan khusus untuknya dan Baby Cio. Hubungan mereka... tak bisa didefinisikan dengan mudah. Mereka bukan pasangan yang terikat resmi. Tapi tak juga sekadar rekan satu atap. Mereka adalah... orang tua dari seorang bayi yang menyatukan keduanya.
Malam itu, langit Jakarta tampak redup. Hujan baru saja reda, dan udara membawa aroma tanah yang lembab. Aleron pulang sedikit terlambat — sekitar pukul 11 malam. Ketika ia sampai ruang keluarga, langkahnya terhenti seketika.
Lampu ruang tengah tak begitu terang, hanya sorotan dari lampu sudut dan nyala TV yang menyala pelan, memutar film animasi tanpa suara. Di sana, di atas sofa panjang yang menghadap ke TV, Thea tertidur dengan kepala bersandar ke lengan sofa. Wajahnya tenang, lelah tapi damai. Tak jauh darinya, Baby Cio juga telah tertidur pulas di ayunan bayi otomatis yang bergerak perlahan, tubuh mungilnya dibalut selimut bergambar bintang.
Hati Al menghangat. Begini rasanya... pulang. Disambut oleh pemandangan yang selama ini hanya ia bayangkan, seorang wanita yang ia sayangi, dan seorang bayi yang begitu ia cintai, menunggu tanpa suara. Ia merasa... seperti seorang suami. Seorang ayah. Keluarga.
“Istri?” batinnya bertanya sendiri. “Kami belum menikah… tapi kenapa rasanya seperti ini?”
Ia tersenyum kecil, lalu mendekati Thea. Perlahan, ia duduk di tepi sofa, menatap wajah Thea yang tertidur. Jari-jarinya mengusap lembut pipi Thea.
Thea tergerak. Matanya membuka pelan dan terkejut melihat Al duduk di sana.
“Kamu baru pulang?” gumamnya, suaranya masih serak karena tidur.
“Iya... tadi meetingnya lumayan hectic. Investor dari New York lebih bawel dari biasa,” jawab Al sambil melepas jasnya dan mengendurkan dasi.
“Kamu udah makan?” tanya Thea sambil mengucek matanya, mencoba sepenuhnya sadar.
Al menggeleng, “Belum... aku langsung pulang.”
Thea mendesah kecil, lalu bangkit perlahan dari sofa. “Kebiasaan telat makan. Mandilah dulu. Aku masakin makan malam buat kamu.” Ucapnya, sambil berjalan ke dapur.
Tak lama kemudian, Thea kembali dengan sepiring makanan hangat — salmon panggang, mashed potato, dan sup jamur. Al sudah duduk di meja makan mengenakan kaos rumahan dan celana santai. Thea duduk di depannya, tak ikut makan, hanya menuangkan air lemon hangat untuknya.
Obrolan pun mengalir ringan.
“Kamu kelihatan capek,” ujar Thea sambil menopang dagunya.
Al tersenyum. “Iya, tapi capeknya hilang kalau pulang lihat kalian.”
Thea tertawa kecil. “Gombal malam-malam.”
“Aku serius,” sahut Al, menatap Thea dengan lembut. “Ini semua... kamu, Cio… rumah ini. Rasanya kayak hidupku akhirnya punya tempat untuk pulang.”
"Aku panasin sup jamur kesukaanmu," kata Thea mengalihkan gombalan Al sambil meletakkan semangkuk nasi di hadapan Al.
"Tapi jangan harap ada dessert, ini sudah tengah malam."
Al duduk sambil tersenyum, "Nggak apa-apa, yang penting makanannya ada. Terima kasih, ya."
Thea hanya mengangguk lalu duduk di seberangnya, mendampingi sambil sesekali melirik ke arah Baby Cio yang masih tertidur di ayunannya.
"Meetingmu gimana tadi?" tanya Thea membuka obrolan, suaranya lembut, tidak menghakimi tapi cukup menunjukkan ketertarikan.
Al menghela napas pelan. "Lumayan panjang. Tim marketing ngotot pengen geser timeline campaign, padahal tim kreatif udah keburu jalan. Aku harus jadi penengah tadi. Hampir aja mereka debat terbuka."
Thea mengangkat alis, "Klasik ya. Jadi kamu ambil keputusan apa?"
"Aku minta semua tim kumpul Senin pagi, kita review ulang timeline dan alokasi kerja. Nggak bisa terus-terusan tarik-menarik gitu. Aku juga butuh semua bagian tahu kapasitas masing-masing," jelas Al sambil menyeruput sup hangatnya.
Thea mengangguk pelan. "Kamu udah sounding ke mereka soal revisi dari hasil presentasi internal kemarin?"
"Sudah. Dan kamu tahu? Slide kamu soal pendekatan visual storytelling itu yang akhirnya bikin mereka nyambung. Thanks ya, Thea."
Thea tersenyum kecil. "Sama-sama. Senang bisa bantu."
Suasana di antara mereka hening sejenak, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh mangkuk. Lalu Al mengalihkan pembicaraan.
"Besok... jadwal vaksinnya Cio, kan?" tanyanya, menatap Thea lembut.
Thea terlihat sedikit kaget lalu mengangguk. "Iya, jam sembilan pagi. Aku udah konfirmasi ke dokternya."
"Bagus," ujar Al sambil menaruh sendoknya sejenak. "Setelah itu, gimana kalau kita sekalian jalan-jalan sebentar? Nggak perlu yang jauh, mungkin ke taman atau café yang kids friendly. Aku dan Cio juga butuh lihat-lihat dunia luar, walau sebentar."
Thea tampak ragu. "Al, itu weekend. Kamu capek. Harusnya kamu istirahat."
Al menggeleng pelan, matanya tulus. "Aku nggak akan capek kalau buat anakku. Dan… buat kamu juga. Aku cuma mikir ini bisa sekalian jadi refreshing kecil-kecilan. Nggak harus lama, cukup lihat dunia luar sebentar."
Thea terdiam, lalu perlahan mengangguk. “Ya udah… tapi cuma sebentar ya, nggak kelamaan.”
Al tersenyum puAs. “Deal. Tapi jangan salahin aku kalau nanti kita keliling Jakarta seharian.”
Thea mendecak pelan, menahan senyum. “Gila.”
Mereka tertawa pelan bersama. Malam itu tidak ada kata cinta, tidak ada topik hubungan yang rumit. Hanya percakapan ringan, nyaman, dan penuh rasa saling mengerti. Seperti dua orang dewasa yang kini belajar menjadi orang tua—bersama.
♾️
Pagi itu langit tampak cerah, dengan sinar matahari yang hangat menyusup melalui sela tirai kamar. Thea sudah bangun lebih dulu, mempersiapkan perlengkapan Baby Cio. Sementara Al baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, mengenakan kaus putih dan celana khaki santai.
"Cio udah bangun?" tanya Al sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
Thea mengangguk, "Udah, tadi sempat menyusu juga sebentar. Sekarang lagi digendong sus-nya sambil aku siapin tasnya."
Mereka berangkat sekitar pukul delapan lewat sedikit, menggunakan mobil pribadi Al. Baby Cio tertidur lagi di car seat khusus di belakang, sementara Thea sesekali menengok ke belakang memastikan posisi tidurnya nyaman.
Setibanya di rumah sakit, mereka disambut oleh perawat di bagian pediatri. Nama Baby Cio sudah terdaftar, dan mereka dipersilakan langsung menuju ruang pemeriksaan. Ruangan itu cukup nyaman, dengan warna-warna pastel dan mainan gantung untuk bayi.
Dokter yang menangani, dr. Andira Kartika, menyapa dengan ramah. "Halo, ini dia Baby Cio yang tampan. Umurnya sudah hampir tiga bulan, ya?"
Thea dan Al duduk bersebelahan di kursi pasien, sementara Baby Cio digendong Thea.
"Betul, Dok," jawab Thea.
"Baik, hari ini Cio akan menerima vaksin DPT-HB-Hib yang pertama, ya. Ini vaksin kombinasi untuk difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan Haemophilus influenzae tipe b. Efek sampingnya biasanya ringan, seperti demam rendah atau rewel sebentar, tapi akan kami observasi setelah penyuntikan."
Al tampak serius menyimak. "Apakah perlu obat penurun demam?"
"Biasanya kami siapkan parasetamol drop. Tapi kalau suhu tubuhnya tidak lebih dari 38 derajat dan masih mau menyusu, tidak perlu langsung diberi," jelas dr. Andira sambil tersenyum.
Perawat lalu mengambil alih dan dengan sangat lembut menyuntikkan vaksin di paha kiri mungil Cio. Tangisannya langsung pecah, melengking kecil membuat Thea langsung memeluk dan menenangkan dengan usapan lembut.
"Shh… mommy di sini, sayang… nggak papa…," bisik Thea lembut, mencium kening Cio berkali-kali.
Al mengusap punggung Thea dan mencium kepala Baby Cio juga. "Jagoan kecil kita hebat, ya."
Setelah vaksin selesai, mereka menunggu sebentar di ruang observasi. Sementara itu, Thea meminta izin untuk kontrol terkait program induksi laktasi yang masih ia jalani.
Mereka berpindah ke ruang laktasi, di mana dokter spesialis laktasi, dr. Anisa Prameswari, sudah menunggu.
"Bagaimana, Bu Thea? ASI-nya sudah mulai lancar?"
"Sejauh ini lancar, ASI sudah keluar konsisten, bahkan sempat bengkak beberapa hari lalu,” jawab Thea dengan jujur.
“Bagus. Itu artinya produksi sudah mapan. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan dan observasi teknik latch-on untuk memastikan Cio menyusu dengan benar,” ujar dokter Anisa.
Thea lalu duduk di kursi menyusui yang disediakan. Cio langsung menyusu dengan tenang, sementara Ingrid mengamati dengan seksama.
“Latch-nya bagus, posisi ibu sudah nyaman. Jangan lupa tetap jaga hidrasi dan makan makanan tinggi kalori alami. Ibu Thea luar biasa, bisa sampai tahap ini dengan komitmen seperti ini,” kata Ingrid dengan penuh penghargaan.
Al hanya tersenyum, hatinya menghangat dari kursi di seberang mereka. Dia tahu betul perjuangan Thea untuk bisa menyusui Cio tanpa pernah hamil sebelumnya bukan hal kecil. Hari itu terasa seperti satu potongan kecil kebahagiaan yang sederhana—tapi sangat berarti.
Setelah seluruh rangkaian kontrol selesai, mereka berjalan santai di koridor rumah sakit menuju lift. Tapi langkah Al terhenti saat mendengar suara pria yang familiar.
“Al?”
Mereka menoleh. Seorang pria bertubuh tegap dan berwajah ceria menghampiri dengan seorang wanita anggun di sampingnya, menggandeng anak perempuan kecil yang mengenakan gaun bunga.
“Revan!” Al tersenyum kaget. “Bella?”
Revan tertawa kecil. “Gila, lo beneran ya ini? Nggak nyangka ketemu lo di sini.”
Mata Revan langsung tertuju ke arah Baby Cio yang masih nyaman di gendongan dada Al. “Ini anak lo, Al?”
Al mengangguk, santai dan mantap. “Iya, ini anak gue. Umurnya dua bulan. Dan ini istri gue, Thea.”
Ia lalu menoleh dan tersenyum pada Thea. “Thea, kenalin, ini Revan Jeno Andraksa dan ini Bella Sera Andraksa, mereka temen SMA-ku.”
Thea sedikit terkejut tapi cepat menyesuaikan ekspresi. Ia tersenyum dan menjabat tangan Bella. “Hai, aku Thea.”
Bella sempat terdiam sepersekian detik, lalu membalas senyum Thea dengan sopan. Tapi matanya… matanya menyimpan banyak tanya. Senyum di bibirnya tak cukup menyamarkan sorot tajam dan keraguan yang muncul setelah melihat wajah Cio—begitu mirip dengan Al. Bahkan Thea.
Revan mengangkat anaknya yang merengek minta mainan. “Ini Zella Nara Andraksa, anak kami.”
Obrolan ringan pun berlanjut seputar pekerjaan, kehidupan, dan anak-anak. Tapi suasana sedikit aneh, terutama dari arah Bella yang beberapa kali menatap Thea seolah ingin menyelidiki lebih dalam.
Saat perpisahan, Revan tersenyum lebar. “Senang ketemu lo, Al. Kapan-kapan kita ngopi bareng.”
“Boleh banget. Kontak aja gue,” balas Al.
Mereka berpisah, namun saat melangkah menjauh, Bella menoleh sekali lagi. Kali ini tatapannya lurus ke arah Thea. Dalam hati Bella bertanya-tanya, Kapan Al nikah kok gue nggak denger dan bahkan Sudah punya anak? Ia harus bertanya pada Zerline.
Setelah semua selesai, mereka kembali ke mobil. Di dalam mobil, Al membuka pembicaraan, "Gimana rasanya kontrol tadi?"
Thea mengangguk pelan, "Tetap deg-degan sih setiap kali ke ruang laktasi."
Al menoleh sejenak, lalu menggenggam tangan Thea yang ada di pangkuannya. "Kamu sudah hebat, Thea. Terima kasih udah sejauh ini buat Cio."
Thea hanya membalas dengan senyuman kecil. Lalu Al menambahkan, "Sekarang… ayo kita jalan-jalan sebentar. Mau ke mana? Mau brunch atau ke taman dulu?"
Thea tertawa kecil. "Terserah kamu, daddy Cio." Lalu Al malajukan mobilnya membelah jalanan siang itu menuju ke salah satu restoran.
Mobil melaju pelan di jalanan Jakarta yang mulai padat karena weekend. Langit cerah dengan sinar matahari di balik kaca depan, sementara udara sejuk dari AC mobil menyejukkan suasana. Dari kursi penumpang, Thea menoleh ke arah Al yang fokus menyetir.
“Tadi…” ucap Thea pelan, “Kamu ngenalin aku sebagai istri di depan teman SMA kamu, Revan dan Bella. Kamu yakin itu nggak akan jadi masalah? Apa nggak repot kalau nanti gosip menyebar ke mana-mana… bahkan katanya kamu udah punya anak?”
Al hanya mengangkat alis santai, bibirnya menyungging senyum kecil. “Biarkan aja. Paling juga mereka mikirnya kita intimate wedding di luar negeri. Simple kan?”
Thea memutar bola matanya, malas dengan respon seenaknya itu. “Gila kamu…”
Al melirik sekilas ke arahnya, nada suaranya masih santai tapi jelas terdengar menggoda. “Kenapa? Kamu takut ketahuan bohong? Ya udah, kita realisasikan aja… biar nggak ada yang bohong-bohongan.”
Thea mendesah, menoleh ke luar jendela melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala. “Ngaco.”
Al tertawa pelan, suara rendahnya membuat suasana jadi sedikit lebih hangat. “Nggak ngaco. Aku serius. Tapi aku tahu kamu belum siap, dan aku nggak akan maksa. Aku cuma… ya, pengin kamu tahu aja, kamu nggak sendiri. Aku ada.”
Thea diam. Ia menatap jalanan depan tanpa berkata-kata, pikirannya melayang pada momen tadi di rumah sakit—tatapan Bella yang seperti tahu banyak hal, pertanyaan-pertanyaan diam yang belum dijawab, dan semua perasaan yang ia tahan.
Tapi kemudian, suara lembut Baby Cio dari kursi belakang menyela pikirannya. Si kecil menggeliat pelan dalam tidurnya. Thea menoleh ke belakang, lalu tersenyum lembut. Al juga ikut melirik dari kaca spion.
Mereka tertawa kecil bersama, suara Baby Cio terdengar lagi—gumaman lembut bayi yang seperti ikut bahagia. Di dalam mobil yang menyusuri jalanan Jakarta, malam itu terasa hangat seperti keluarga sungguhan. Meski belum ada label yang pasti, tapi kebersamaan mereka terasa utuh.
♾️
Restoran mewah di pusat Jakarta siang itu dipenuhi cahaya alami dari dinding kaca besar yang mengelilingi ruangan. Langit biru cerah dan lalu lintas ibukota yang sibuk terlihat jelas dari meja pojok dekat jendela tempat Al, Thea, dan Baby Cio duduk.
Setelah memesan makanan, Thea pamit ke toilet sebentar. Ia melangkah anggun dalam balutan dress putih selutut, menyisakan Al yang duduk santai sambil sesekali menggoyangkan stroller Baby Cio yang tidur pulas di dalamnya.
Beberapa menit kemudian, sebuah tepukan ringan di bahu membuat Al menoleh. Ia langsung berdiri begitu melihat sosok familiar di depannya.
“Al, apa kabar lo!” seru seorang pria sambil menjulurkan tangan, menyambut dengan tos akrab. Al membalas akrab dari Deon, ya Deon Rayn Wijaya. Mantan Thea ketika SMA sekaligus teman Regan sepupunya dan mereka sering nongkrong bareng jadi mereka cukup akrab.
“Yon! Gila, lama banget gak ketemu. Anak lo udah segede ini aja.” Al melirik ke arah stroller yang didorong oleh perempuan di sebelah Deon—Cessa Rayna Wijaya, istrinya—dan anak laki-laki mereka, Lukas Rayyan Wijaya, yang tampak anteng memeluk boneka dinosaurus kecil distrollernya
“Lo juga gak bilang-bilang udah married, mana udah punya anak. Istri lo mana?” tanya Deon, penasaran sambil menengok kanan kiri.
Al tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah belakang mereka.
“Itu dia, baru balik dari toilet.”
Deon dan Rayna menoleh secara bersamaan. Mereka melihat seorang wanita muda cantik dengan penampilan elegan dan langkah tenang tengah berjalan mendekat. Sekilas, Thea tampak bingung melihat Al sedang berbincang dengan orang lain. Namun saat mengenali sosok Deon, ia sedikit tersentak—tapi langsung bersikap santai. Dalam hati ia membatin, "Oh si Deon, sempit banget dunia."
“Lah, Thea?” Deon tertawa kecil.
“Lo istrinya Al sekarang? Edan, keren juga kalian. Lama gak ada kabar, tau-tau udah nikah dan punya anak!”
“Terserah Lo deh yon. Lukas udah besar banget. Dulu gue terakhir ketemu Lo pas Lo hamil ya Na?” sapa Thea ramah ke Rayna tak seberapa memperdulikan tingkah absurd Deon.
Obrolan santai pun berlangsung, diselingi tawa ringan. Mereka saling bertanya soal usia anak masing-masing, perkembangan mereka, dan bagaimana rasanya menjadi orang tua baru.
“Ini siapa namanya? umur berapa dia?” tanya Rayna sambil melongok ke stroller tempat Baby Cio tertidur.
“Abercio Nathaniel Moonstone, panggilannya Baby Cio. Baru tiga bulan.” jawab Al dengan nada bangga.
“Aww, mirip lo banget, Al. Nggak usah tes DNA lah ya,” celetuk Deon sambil tertawa.
Thea dan Al tertawa kecil, saling melirik sebentar.
“Lukas sekarang dua tahun, bawel banget,” kata Rayna sambil membetulkan topi kecil Lukas yang mulai miring.
Tak lama kemudian, Deon melirik jam tangannya. “Kita pamit dulu ya. Tadi sebenarnya udah mau pulang, tapi lihat lo di sini, mampir sebentar.”
“Thanks ya udah nyapa. Kapan-kapan kita ketemuan lengkap. Sekalian reuni kecil-kecilan,” kata Al.
“Boleh tuh. Gue kabarin yang lain juga,” balas Deon sambil mengangkat tangannya melambai.
Setelah mereka pergi, pelayan datang membawa makanan yang telah dipesan. Thea duduk kembali, membuka serbet di pangkuannya sambil melirik Al.
“Kebetulan banget ya. Udah lama gak lihat Deon. Ternyata kalian masih keep contact?”
“Kadang, lewat Regan biasanya. Dunia sempit, The.” jawab Al sambil menyendokkan sup ke dalam mangkuknya.
“Untung tadi aku gak salah ngomong. Mereka pasti kira kita nikah beneran.” gumam thea pelan.
Mereka makan sambil bercanda ringan, membicarakan perkembangan Baby Cio, pekerjaan, dan bahkan rencana bertemu teman-teman lama.
"Minggu depan kita sempatin ketemu yang lain nggak sih?. Sekalian kenalin Cio ke mereka," kata Al.
Thea mengangguk. "Dan kayaknya aku juga harus mulai nyiapin mental kalau kabar 'kita' bakal tersebar di lingkaran SMA kamu."
Al tersenyum jahil. "Santai aja. Pasti orang-orang mikir kita intimate wedding diluar negeri. Kan aku dah ngomong juga apa kita realisasikan aja"
Thea hanya mendecak kecil dan menatap Al dengan pandangan geli. Al hanya tersenyum sambil menatap Baby Cio yang tertidur pulas. Untuk saat ini, semua memang belum resmi. Tapi rasanya, kenyataan seperti ini... sudah cukup menyerupai kebahagiaan yang sesungguhnya.