NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1 ARWAH GENTAYANGAN, ANAK HARAM

Bab 1

Arawah Reza Sulistiyo melayang tak tentu arah, seperti layang-layang putus benang di angkasa. Langit menolaknya, bumi pun enggan menerimanya. Neraka seharusnya menjadi tempatnya, tapi bahkan neraka jijik akan kehadirannya. Surga? Itu tak lebih dari mimpi kosong. Hidupnya dihabiskan untuk mencuri, menipu, dan mempermainkan wanita. Bahkan ketika mendekati gerbang surga, ia langsung dihempaskan. Beberapa jam sebelum ajal menjemput, ia dikhianati—diracun oleh wanita yang baru saja dikencaninya. Karma datang tanpa aba-aba.

Hari sial tak pernah datang dengan tanda. Reza Sulistiyo lengah hari itu—diracun oleh perempuan yang baru saja ia rayu. Tubuhnya lemas, nyawanya melayang, dan setelah mati, arwahnya terlunta-lunta. Langit menolak, bumi enggan, neraka pun menutup pintu. Angin berembus kencang, menghempas arwah itu hingga terlempar ke sebuah rumah besar yang sunyi namun menyeramkan. Di dalamnya, terdengar jeritan tertahan. Seorang anak muda tengah disiksa—dipukuli, dipaksa berlutut, sementara mata Reza menyaksikan semua dengan ngeri dan penasaran.

“Bangsat! Kau tidak pantas menyandang nama Baskara!” teriak seorang pemuda berusia 17 tahun, Dimas Baskara, dengan sorot mata penuh amarah. Di hadapannya, tergeletak Reza Baskara—remaja ringkih, tubuhnya lebam-lebam, disiksa tanpa ampun. Ia adalah anak haram Galih Baskara, buah dari hubungan terlarang dengan seorang pembantu bernama Diah Pitaloka.

Di sudut tak kasatmata, arwah Reza Sulistiyo melayang, menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri.

“Kenapa angin melemparku ke sini?” bisiknya. “Kenapa aku harus menyaksikan penyiksaan ini?”

Ia tertegun, menyaksikan kebiadaban tiga anak muda yang memperlakukan Reza seperti binatang, tanpa belas kasih.

Riko, 25 tahun, anak sulung Galih Baskara dari istri sah, berdiri tegap sambil menggenggam sebatang kayu. Dengan penuh dendam, ia mengayunkannya berkali-kali ke tubuh Reza Baskara—adik tirinya yang dianggap aib keluarga. Setiap kali kayu itu menghantam, suara tulang beradu terdengar jelas.

Yang aneh, Reza Sulistiyo—arwah penasaran yang hanya melayang di udara—ikut meringis. Setiap pukulan terasa menusuk ke dalam dirinya, seolah tubuh Reza Baskara adalah cermin rasa sakitnya.

“Aneh… bukankah arwah seharusnya tak merasakan sakit?” gumamnya bingung.

Tapi ya sudahlah, ini kan fiksi. Jangan protes, nikmati saja ceritanya—hahaha.

“Dasar anak haram! Kami sudah jengah melihatmu!” hardik Dimas Baskara sambil menginjak tangan Reza yang gemetar tak berdaya di lantai. Reza menggeliat, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

“Arghhhhh!” jeritnya parau, ketika Liza Baskara—gadis kejam berusia 19 tahun—menekan puntung rokok menyala ke pipinya. Bau daging terbakar menyengat udara.

“Bughh!”

“Dughh!”

Pukulan demi pukulan menghujani tubuh Reza. Kayu, tinju, tendangan—semua mendarat brutal. Nafasnya tersendat. Matanya mulai kabur. Tubuhnya nyaris lumpuh, hanya bisa meringkuk menahan sakit, menunggu kapan semua ini berakhir… atau kapan ajal menjemput.

Dalam kondisi sekarat, Reza Baskara mengangkat pandangannya—mata sayu itu menatap lurus ke arah Reza Sulistiyo, seolah memohon pertolongan. Tatapan yang penuh luka, penuh harap, seakan berkata: “Tolong aku...”

Namun Reza Sulistiyo hanya bisa terpaku. Ia hanyalah arwah, tak kasat mata, tak bisa menyentuh, tak bisa berteriak, tak bisa berbuat apa-apa.

Dimas mendekat, napasnya memburu penuh amarah. Tanpa ragu, ia meraih leher Reza dan mencekiknya dengan brutal. Urat-urat di tangannya menegang, mata Reza membelalak, tubuhnya menggeliat—setelah mengejang nafasnya hilang, reza tidak lagi bernafas

“Goblok!” bentak Riko, mencengkeram kerah baju Dimas dengan kasar. Wajahnya tegang, matanya melotot marah. “Kau sudah membunuhnya, bodoh!”

“Maaf, Kak… aku lepas kendali,” ucap Dimas tergagap, napasnya masih berat, dadanya naik turun diliputi amarah yang belum reda. “Aku nggak suka dia kuliah bareng aku, Kak. Dia itu aib.”

Vanaya, si bungsu yang sejak tadi hanya menonton, mengangkat bahu dan menghembuskan napas dengan malas. “Ya udah, tinggal buang aja sih. Ribet amat.”

Dimas perlahan mendekati tubuh Reza yang terbujur diam. Ia menunduk, memeriksa napas adik tirinya. Hening.

“Dia... nggak bernafas,” bisiknya lirih.

Wajah Dimas mendadak pucat. Kepanikan mulai merayap naik.

Ceklek—pintu gudang terbuka perlahan, suara engsel berderit menggema di tengah keheningan yang mencekam.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” suara Larasati terdengar dingin, tajam seperti pisau. Tatapannya langsung tertuju pada jasad Reza yang terbujur kaku di lantai, wajahnya lebam, tubuhnya penuh luka.

Dimas, Riko, dan Vanaya saling pandang. Panik. Bingung. Mulut mereka kaku, tak tahu harus berkata apa.

“Apa yang kalian lakukan pada anak sial ini?” ulang Larasati, kini suaranya lebih dingin, matanya menyipit menahan emosi.

“A-aku... aku mencekiknya, Mah...” jawab Dimas lirih, suaranya gemetar, tubuhnya bergetar.

Ketiganya terdiam, diliputi ketakutan. Mereka memang sering menyiksa Reza. Tapi kali ini… ini terlalu jauh. Ini yang paling parah. Dan mungkin reza sudah tidak bisa nafas lagi.

“Maafkan aku, Mah… aku lepas kendali,” ucap Dimas lirih, suaranya bergetar, menahan rasa bersalah yang terlambat datang.

Larasati menghela napas panjang. Tatapannya dingin, datar, seolah kejadian itu bukan hal besar. Ia menunduk menatap tubuh Reza yang tak bernyawa, lalu berkata dengan nada santai, nyaris tanpa empati, “Mati ya tinggal mati aja… repot amat.”

Di sudut ruang yang remang, arwah Reza Sulistiyo menyaksikan semua kejadian dengan mata kosong. Ia hanya bisa menggelengkan kepala perlahan. Satu keluarga ini benar-benar kompak menyiksa anak-anak tak berdaya, gumamnya getir. Rasa prihatin memenuhi dadanya, tapi apalah daya—ia hanya arwah gentayangan, tak mampu berbuat apa-apa.

“Kenapa aku nggak bisa terbang sih?” gerutunya frustrasi. “Aku ini arwah! Harusnya bisa menembus tembok… atau minimal menakut-nakuti mereka!”

Ia mencoba bergerak, tapi tubuh tak kasat matanya tetap terperangkap di ruang itu. “Kenapa aku terus di sini? Kenapa aku nggak bisa pergi?”

Pikiran Reza Sulistiyo terus berputar, namun tak ada jawaban. Ia terjebak—bukan hanya sebagai arwah, tapi sebagai saksi bisu kekejaman yang tak bisa ia hentikan, bahkan tak bisa ia tinggalkan.

“Lalu bagaimana, Mah? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dimas, suaranya penuh kecemasan.

Larasati tetap tenang, wajahnya tanpa ekspresi, dingin seperti batu. “Ya tinggal buang saja mayatnya. Masukkan ke dalam mobil, lalu buat seolah-olah dia kecelakaan. Bereskan semuanya, jangan ribet. Anak itu memang pantas mati,” ucapnya datar, seakan yang dibicarakan hanya sampah yang harus disingkirkan.

“Ok, kalau gitu aku akan siapkan mobilnya,” sahut Riko cepat, seolah ini hanya rutinitas biasa. Tanpa penyesalan. Tanpa rasa bersalah.

Tak lama kemudian, sebuah mobil tua berhenti di depan gudang. Tanpa banyak bicara, jasad Reza Baskara—dingin, tak bernyawa, penuh luka—dimasukkan ke dalam bagasi. Dimas duduk di kursi pengemudi, sementara Riko dan Vanaya mengikuti dari belakang dengan mobil lain.

Malam kian pekat saat mereka melaju menuju sebuah bukit terpencil, jalannya sepi, gelap, dan jarang dilewati kendaraan.

Mobil berhenti di tepi jurang. Angin berdesir kencang, membawa hawa kematian yang teramat pekat. Mereka turun, menatap ke bawah—jurang curam dengan bebatuan tajam dan pohon-pohon kering.

“Sepertinya cukup curam... dan bisa bikin orang mati karena kecelakaan,” ucap Riko tenang, seolah sedang menilai lokasi pembuangan sampah

Dengan napas memburu dan wajah tegang, Dimas dan Riko mendorong mobil perlahan ke tepi jurang. Butuh tenaga dan keberanian untuk melakukannya. Roda mobil berderit, lalu meluncur bebas menuruni lereng curam. Beberapa detik kemudian—DUAARR!

Dentuman keras mengguncang malam. Api membubung tinggi, menjilat langit hitam. Kobaran merah oranye memantul di wajah ketiganya—Dimas, Riko, dan Vanaya—yang menyaksikan semuanya dari atas, dengan tatapan dingin dan kosong.

Ada rasa takut dalam dada mereka, karena ini kali pertama mereka benar-benar membunuh seseorang. Tapi bersamaan dengan itu, ada juga rasa lega. Reza—anak sial, anak haram yang mereka anggap benalu—akhirnya mati.

Dan yang membuat mereka tenang… mereka tahu ibu mereka mendukung penuh. Larasati akan mengatur semuanya. Nanti biar dia yang menjelaskan pada Galih, sang ayah, dengan cerita yang sudah disusun dengan rapih

1
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!