Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 22 ] Hujan, Petir dan Sebuah Rasa Aman
Sore itu, langit pekat menggantung rendah, awan-awan hitam berarak pelan membawa tanda hujan yang sebentar lagi akan turun. Angin berembus lembut dari celah jendela, membawa aroma tanah basah yang semakin menusuk. Maalik memutuskan untuk tidak ke masjid, ia memilih sholat Magrib di rumah. Langkahnya tenang ketika masuk ke kamar, mendapati Olivia sedang tengkurap santai di atas kasur, matanya terpaku pada layar laptop Maalik yang kini dipenuhi adegan drama Korea.
“Olivia...” panggil Maalik pelan, suaranya penuh kelembutan.
Gadis itu hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap layar dengan ekspresi tak acuh. “Apa?” jawabnya singkat.
“Ayo wudhu... sebentar lagi waktu sholat,” ajak Maalik, masih dengan suara sabar.
“Nggak mau,” balas Olivia malas, bahkan tanpa menoleh.
“Olivia... sebentar saja,” bujuk Maalik lagi, menahan napas agar tidak kehilangan kesabaran.
“Nggak mau! Nggak mau! Nggak mau! Titik!” Olivia menghentakkan bantal ke kasur seolah ingin menegaskan penolakannya.
Maalik menatapnya sejenak. Hatinya maklum, istrinya memang keras kepala, apalagi jika sudah merasa diganggu saat menonton drama kesukaannya. Perlahan ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang sedikit lebih tegas, “Kalau kamu nggak mau wudhu, saya juga berhenti buatin kamu susu kedelai.”
Olivia tetap bergeming, matanya tak lepas dari layar. Seolah kata-kata itu hanya angin lalu.
“Olivia...” panggil Maalik lagi, lebih dekat kali ini.
“Ihhh...” Olivia menghentakkan kakinya di kasur dengan kesal. “Yaudah, kalau nggak mau bikinin, gue bisa bikin sendiri!” serunya, lalu bangkit tergesa dari posisi tengkurapnya. Dengan langkah keras, ia menutup laptop dan meninggalkan kamar begitu saja, meninggalkan Maalik yang hanya bisa menatap punggung mungil istrinya dengan tatapan penuh kesabaran.
Maalik mengusap wajahnya pelan. Senyum samar terbit di sudut bibirnya, bukan karena senang, melainkan karena ia tahu inilah bagian dari perjuangannya. Menjadi suami Olivia berarti harus siap menghadapi badai kecil seperti ini setiap hari. Dan meski kadang melelahkan, hatinya tetap berjanji, ia tidak akan berhenti membimbing gadis itu dengan kelembutan.
Olivia keluar kamar sambil menghentak-hentakkan kaki, wajahnya penuh kesal. Bibir mungilnya merengut, dan sambil menggerutu ia berkata, “Dikira gue nggak bisa bikin susu sendiri apa...”
Ia langsung menjatuhkan diri di sofa ruang tengah, menyalakan televisi dengan gerakan asal. Suara adzan magrib berkumandang dari masjid dekat rumah, dan Olivia tahu pasti Maalik sedang berada di kamar menunaikan salat. Senyum sinis tersungging di wajahnya. Ia ingin membuktikan pada suaminya bahwa dirinya juga mampu membuat segelas susu kedelai sendiri—meski dalam hati ia ragu.
Sejak kecil hingga dewasa, hidup Olivia tak pernah jauh dari kenyamanan rumah mewah dan tangan-tangan setia para pembantu. Jika bukan Mbok Nah atau Mbak Ana yang membuatkan susu kedelai, biasanya Maminya sendiri yang turun tangan. Maka setelah menikah dan tinggal bersama Maalik di rumah sederhana ini, kebiasaan itu berlanjut. Hampir sebulan mereka menikah, Olivia tak sekalipun membuatnya sendiri. Semua selalu dilakukan Maalik, dengan penuh ketelatenan.
Kini, ia ingin membuktikan sesuatu. Dengan langkah setengah ragu, Olivia membuka kulkas, mengeluarkan susu kedelai, lalu menyiapkan panci. Tangannya sedikit kikuk ketika menuang cairan ke dalamnya. Ia menyalakan kompor dengan agak terburu-buru, dan mulai mengaduk seadanya. Beberapa langkah jelas keliru—kadang terlalu banyak menuang, kadang lupa menunggu panas yang pas.
Maalik, yang baru selesai salat, berdiri di ambang pintu kamar. Tubuhnya bersandar pada dinding, tangan terlipat di dada. Pandangannya teduh, matanya penuh sabar saat melihat istrinya sibuk dengan ekspresi cemberut. Bibirnya menahan senyum, karena ia tahu betul, Olivia tak akan berhasil membuat susu seenak yang biasa ia racik.
Saking fokusnya, Olivia tak sadar sejak tadi diperhatikan. Setelah merasa cukup, ia menuang susu ke gelas, meniup sedikit uap yang mengepul, lalu memberanikan diri meneguknya. Baru satu kali tegukan, wajahnya langsung berubah masam. Rasa susu itu hambar, bahkan sedikit aneh di lidahnya. Tak ada jejak kelembutan dan hangat manis seperti buatan Maalik. Dengan kesal, Olivia menaruh gelas itu begitu saja di meja, tanpa berniat menyentuhnya lagi.
Ketika berbalik, ia terperanjat. Maalik berdiri di sana, menatapnya dengan senyum samar.
Olivia buru-buru membuang muka, melangkah melewatinya dengan gaya masa bodoh. Ia kembali ke sofa dan menjatuhkan diri dengan malas. Maalik menyusul, duduk di sampingnya dengan wajah tenang.
“Kenapa susunya nggak dihabisin? Mubazir, Olivia...” suaranya lembut, tapi berisi.
Olivia mendengus, menatap layar televisi seakan tak peduli. “Nggak. Gue kenyang.” Bohongnya.
Maalik mencondongkan tubuh sedikit. “Beneran kenyang? Atau mau saya buatkan ulang?”
Olivia melirik sekilas, lalu cepat-cepat membuang muka. “Nggak mau. Sana lo pergi... jangan deket-deket gue!” ucapnya ketus, mendorong pelan dada suaminya.
Alih-alih tersinggung, Maalik justru tertawa kecil. Ia sudah hafal betul dengan sikap manja bercampur gengsi istrinya ini.
“Beneran nggak mau saya buatkan ulang?” ulangnya dengan nada menggoda. “Tapi ada syaratnya. Kamu harus ngaji dulu.”
Olivia spontan membalik badan, menatapnya dengan wajah tak percaya. “Nggak mau! Nggak mau! Nggak mauuu! Sana ihh... gue mau sendiri.”
Sekali lagi, Maalik tertawa. Tangannya terulur, mengusap sebentar rambut istrinya yang kusut. “Iya, iya... saya ke kamar dulu. Nanti kalau kamu berubah pikiran, tinggal bilang. Saya bikinkan lagi, tapi jangan lupa, harus ngaji dulu, ya.”
Olivia pura-pura tidak mendengar, matanya tetap fokus ke televisi. Namun di balik tatapan itu, hatinya hangat—meski gengsinya masih lebih besar daripada rasa rindunya pada segelas susu buatan Maalik.
Setelah Maalik masuk ke kamar, tinggallah Olivia sendirian dengan gerutuannya di ruang tengah. Ia menonton televisi sambil mendumel pelan, menahan rasa kesal yang belum juga reda.
Beberapa menit kemudian, langit mendadak bergemuruh. Kilatan cahaya putih menyambar dari balik jendela, dan seketika lampu di seluruh desa padam. Suara petir yang menggelegar memecah keheningan, mengguncang udara hingga terasa di dada.
Olivia terperanjat. Tubuhnya menegang, keringat dingin merembes di pelipis. Suasana rumah seketika gelap gulita, hanya tersisa suara deras hujan yang menghantam genting dan jendela. Rasa takut menelannya bulat-bulat.
Sejak kecil, ia memang tidak pernah berani menghadapi suara petir. Di rumah besarnya dulu, listrik hampir tak pernah mati, dan suara gemuruh langit selalu teredam oleh dinding-dinding kokoh yang tebal. Tapi di rumah sederhana ini, setiap kilat seakan menyusup masuk, setiap petir terasa lebih dekat, menghantam jantungnya tanpa ampun.
Olivia terduduk di lantai, tepat di bawah sofa, lututnya terlipat erat dalam dekapan. Tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan.
Di kamar, Maalik yang sedang merapikan sajadah langsung terkejut mendengar suara petir dan hujan deras yang bertalu-talu. Ia teringat perkataan mertuanya: Olivia sejak kecil sangat takut pada petir, bahkan bisa menangis histeris. Apalagi kini listrik padam, suasana pasti terasa jauh lebih menakutkan bagi istrinya.
Tanpa pikir panjang, Maalik berlari keluar membawa sebuah senter kecil. Cahaya kuning redup menyorot ruang tamu yang kini hanya dihiasi bayangan. Dan benar saja, di sana ia menemukan Olivia—duduk meringkuk di lantai, memeluk lutut sambil terisak. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar, seperti seorang anak kecil yang kehilangan pegangan.
Maalik berdiri sejenak, menatap dengan sendu. Lalu ia berjongkok perlahan di samping Olivia, menaruh senter di lantai agar kedua tangannya bebas untuk meraih bahu istrinya.
“Olivia...” bisiknya lembut, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Olivia langsung meringsut ke pelukan suaminya, kedua tangannya mencengkeram erat tubuh Maalik seakan takut dilepas. Getaran halus dari tubuh mungil itu terasa jelas di dada Maalik. Dengan penuh kesabaran, ia membalas pelukan itu, menenangkan istrinya dengan kehangatan.
“Ssttt… nggak apa-apa, Olivia. Sama saya di sini,” ucapnya lembut sambil mengusap punggung istrinya dengan gerakan menenangkan.
Namun tiba-tiba langit kembali pecah. Petir menyambar begitu keras, cahayanya menyorot liar dari balik jendela kaca besar ruang tengah, diikuti suara menggelegar yang membuat lantai seakan bergetar. Olivia sontak terlonjak, tangisnya pecah lagi, dan wajahnya semakin ia sembunyikan dalam dekapan Maalik.
Ruang tengah rumah Maalik memang sederhana. Jendela-jendela kacanya besar dengan ventilasi terbuka di bagian atas agar udara bebas mengalir. Di siang hari suasana terasa terang dan segar, tapi di malam hujan deras seperti ini, kilatan petir tampak masuk dengan jelas, seakan menerobos ke dalam rumah. Suara gemuruh pun terdengar lebih dekat, menambah kengerian bagi Olivia yang sejak dulu takut dengan petir.
Maalik menatap wajah istrinya yang memucat, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, membiarkan Olivia di ruang tengah hanya akan membuatnya semakin ketakutan. Dengan hati-hati, ia menggeser posisi, lalu menyelipkan kedua tangannya di bawah tubuh istrinya.
“Peluk saya kuat-kuat, ya,” bisiknya lembut.
Olivia menurut, merapatkan diri semakin erat. Dalam sekejap, Maalik mengangkat tubuhnya, menggendong Olivia seolah ia tidak berbobot sama sekali. Gadis itu menempel erat, wajahnya terkubur di dada Maalik, seakan hanya di sana ia bisa merasa aman.
Langkah-langkah Maalik cepat namun hati-hati. Setiap kilat menyambar, Olivia semakin erat menggenggam baju suaminya, membuat Maalik semakin mantap untuk segera membawanya ke kamar.
Sesampainya di sana, Maalik menutup pintu, lalu meletakkan Olivia perlahan di atas ranjang. Namun gadis itu sama sekali tak mau melepaskan pelukan. Tangannya mencengkeram lengan Maalik kuat-kuat, seakan takut ia akan ditinggalkan.
“Tenang, Olivia… saya di sini. Saya nggak akan pergi,” ucap Maalik lembut, menatap wajah istrinya yang masih basah oleh air mata.
Ia ikut merebahkan diri, membiarkan Olivia tetap menempel padanya. Dengan hati-hati, ia menarik selimut tebal lalu menyelimuti mereka berdua. Kehangatan selimut dan tubuh Maalik menjadi benteng perlindungan di tengah riuhnya suara hujan dan gelegar petir.
Setiap kali petir menyambar, Olivia meringis dan menggenggam Maalik semakin kuat. Dan setiap kali itu pula, Maalik membalasnya dengan usapan lembut di rambut dan memastikan ia benar-benar merasa aman.
“Tidurlah,… nggak ada apa-apa. Semua baik-baik saja. Ada saya, Olivia… selalu ada,” bisik Maalik dengan suara yang nyaris seperti doa.
Pelukan itu berlangsung lama. Di luar, hujan masih mengguyur deras, petir sesekali menyambar dengan suara yang membuat hati bergetar. Namun di balik selimut, dalam dekapan Maalik, Olivia perlahan menemukan ketenangan. Isakannya mereda, hanya tersisa sesenggukan kecil yang semakin lama semakin jarang.
Maalik terus membelai rambut istrinya, mengusap pelan dari ujung kepala hingga punggungnya. Sesekali ia mengecup kepala Olivia, seperti menegaskan bahwa dirinya tak akan ke mana-mana.
“Capek nangisnya?” bisiknya lembut.
Olivia hanya menggeleng pelan tanpa mengangkat wajahnya. Matanya mulai terasa berat, tubuhnya pun lelah oleh rasa takut yang mendera sejak tadi. Akhirnya, dalam kehangatan itu, kelopak matanya tertutup juga. Napasnya mulai teratur, perlahan terlelap di dada suaminya.
Maalik melihat istrinya yang akhirnya tertidur pulas. Ada senyum kecil yang tersungging di wajahnya. Ia menarik selimut lebih rapat, lalu memeluk Olivia erat, membiarkan gadis itu tidur dalam ketenangan hingga pagi datang.