Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?
"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-
Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.
pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.
#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Dua kejutan•
"Apa? Mengelapkan dana?"
Apa-apaan? Tiba-tiba begini?
Alana mendadak serius.
Menatap Bu Yayun yang dengan santainya mengatakan kalau pak Roy dari bagian keuangan sudah mengundurkan diri dari perusahaan dua pekan lalu.
"Siapa yang bilang begitu?"
"Kepala tim." Kata Bu Yayun.
Yah... ada-ada saja. Sebenarnya aku agak ragu. Aneh sekali.
Alana mengangguk pendek. Yang namanya salah kan memang harus diluruskan.
"Yasudah."
"Bu, aku keluar sebentar."
Sudah jamnya makan siang. Harusnya Alana bisa memesan dari kantor, tapi hari ini ia sedang gelisah, butuh udara segar.
"Bu Owner!"
"Oh, April! Sudah sepekan ya kita tidak bertemu. Apa kamu juga ingin makan siang?" Alana tersenyum menyapa April, kebetulan mereka sama-sama baru masuk ke dalam restoran.
"Iya Bu! Ibu ingin memesan apa? Biar saya pesankan."
April ramah seperti biasa membalas senyum Alana. Gadis itu menyodorkan daftar menu.
"Aku mau gyoza."
Ini restoran Japanese food yang baru launching, banyak orang kantor yang makan disini selain mereka berdua.
"Hmm, Pril, bagaimana kabar pak Roy?"
April duduk santai setelah memesan.
"Dia mengundurkan diri Bu."
Alana mengangguk pendek, tidak lanjut bertanya lagi.
Lagipula April kelihatan langsung serius begitu membaca pesan yang masuk di hp nya
April itu beda ya. Entah kenapa aku merasa dia....
Alana berhenti berpikir sejenak saat melihat April tersenyum membaca sesuatu di hp.
Dia kasmaran ya? Enak ya, pasti sudah punya pasangan.
"Kamu baca apa? Dari someone special? Hmm?" Celetuk Alana blak-blakan.
April mengangkat kepala, masih malu-malu mengulum senyum.
"Anu....ini....pak Steven Kevin....dia mengirim pesan."
Ha? CEO itu?
"Buat apa? Apa kalian punya hubungan?"
Tiba-tiba muncul perasaan aneh dalam lubuk hati terdalam Alana. Selain merasa sedikit kecewa, padahal ia sendiri masih belum tahu identitas asli orang itu.
Seandainya dia Nathan...aku pasti merasa...Sayang sekali?
Alana tidak seharusnya peduli. Toh itu urusan April. Tapi entah kenapa hatinya masih tidak menerima.
Ada keraguan, dan rasa rindu.
"Hmm...apa ya..tidak juga. Entahlah dia menganggap saya apa. Awalnya kami hanya membahas pekerjaan terkait investasi..tapi..dia lebih respek dari yang saya kira." Jawab April.
"Oh begitu."
Alana kembali terdiam.
Perasaannya terombang-ambing, kacau.
Kalau boleh jujur, Ia masih tidak terima kepergian mendadak sosok Nathan dulu. Makanya selalu muncul rasa berharap.
Tak lama kemudian pesanan mereka berdua sudah datang, Masing-masing menikmati makanan tanpa banyak dialog.
Alana makan sambil berusaha menenangkan isi pikirannya yang berkecamuk, sementara April sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari layar hp itu.
***
Pintu itu seolah akan pecah ditatap berlama-lama oleh Alana dengan mata yang tajam.
Sudah pukul lima belas, harusnya yang ia tunggu akan datang sepuluh menit lagi.
Ia tidak sabar, bagaimana kira-kira sosok perempuan itu sekarang? Bagaimana kabarnya? Apa, kenapa, siapa, semuanya berputar dalam pikiran Alana.
Bahkan meja yang ia tempati sekarang sudah dibooking tiga hari lalu hanya demi pertemuan ini, yang menurutnya sangat spesial.
Restoran mewah yang disewa Alana seharga miliaran.
'Tuk,'
Suara langkah kaki seseorang dengan sepatu heels ber-hak seketika membuat Alana mengangkat kepala menatap pintu kaca.
Gadis itu tersenyum lebar, melihat sosok yang ia tunggu akhirnya datang. Mengenakan setelan gaun anggun dibungkus mantel bulu mahal menenteng tas berwarna hitam metalik.
Claudia Rissa merekahkan senyuman khasnya pada gadis manis yang menunggu dirinya.
"Sayang."
Alana refleks berdiri memeluk Claudia, bahkan tanpa sadar matanya mengeluarkan air.
"Tante....Aku kangen..."
"Sayang, aku janji tidak akan pergi lagi. Sudah, kalau menangis kamu tambah cantik." Ucap Claudia disusul tawa renyahnya.
Alana mengangguk kencang. Malahan ia teringat lagi ucapan itu sangat mirip dengan omongan 'Dia'.
Flashback on.
"Eh, kenapa ini bayi gede? Mau peyuk?"
"Jahat Lo! Nathan Lo parah!"
Alana tambah kencang menangis. Matanya yang merah jadi kelihatan karena Nathan usil menyingkirkan tangannya yang menutupi muka.
"Hus, jangan digangguin Nat. Lagi sensi dia. Bukannya dihibur." Sela Ola, memukul bahu Nathan.
Yang dipukul malah nyengir, mengangguk pelan.
"Al, Lo kenapa? Sini cerita sama gue."
Nathan menunduk berusaha melihat ekspresi wajah sembap Alana.
"Eh, jadi makin Cantik punya gue! Udah, nanti gue kawinin Lo."
Mendengar kata-kata ngawur Nathan, Alana langsung berhenti, menatap galak.
"Nathan gobl*k!!"
Flashback off.
Alana tersenyum tipis. Dulu itu masa-masa yang seru ternyata.
"Sayang-"
Alana tersentak kaget.
"Oh, eh, iya Tante???"
"Sayang, soal pertanyaan kamu hari itu....apa kamu siap mendengar jawabannya?" Suasana mendadak tegang.
"Iya Tante, aku ingin tahu."
Claudia memalingkan wajah kearah jendela, memulai ceritanya, "Sayang. Ini adalah cerita kami, agar kamu tidak merasa kecewa, aku akan memberi alasannya."
"Pasti kamu dan teman-teman anakku yang lain merasa heran bukan? Mengapa Er menghilang mendadak dari sekolah padahal hanya tinggal sebentar lagi dia lulus?"
Iya. Alana mengangguk.
"Kakek Er saat itu meninggal dengan wasiat. Yang isinya adalah warisan saham perusahaan sepenuhnya milik putraku karena Er adalah cucu beliau satu-satunya. Tapi tidak semudah itu Er bisa mengambil alih kendali dalam waktu dekat. Putraku itu masih muda, perlu banyak persiapan." Tukas Claudia, tersenyum pahit.
"Tapi sayang, banyak bawahan alm.ayahku yang juga menginginkan saham perusahaan. Sedangkan Er yang masih muda dan tidak berpengalaman kesusahan menangani mereka semua. Diluar sana, para pebisnis kotor itu melakukan apa saja demi uang. Persaingan yang berat, putraku Er dan kami sekeluarga mulai mendapat teror kejahatan dari para oknum dibawah orang-orang mantan rekan alm.ayah."
"Dua hari terakhir sebelum kami pindah, Er hampir mati saat berjalan sendirian di jembatan besar kota, kepala belakangnya dipukul seseorang tidak dikenal dari arah belakang dengan benda keras. Untungnya putraku hanya gegar otak ringan. Karena dia semakin Diincar, bahaya kalau kami tetap bersama kalian. Aku takut orang-orang sekitar kami ikut terkena aksi gila mereka."
"Jadi.... akhirnya kami pindah tanpa memberi kabar agar kalian tidak khawatir."
Bibir wanita cantik ini tiba-tiba bergetar.
"Tapi...." Bahkan matanya berair.
"Saat kami baru sepekan menetap di negara tempat alm.ayahku, saat Er sedang mengendarai mobilnya dikawal beberapa bodyguard di belakang, dia malah ditabrak di persimpangan jalan raya dengan mobil lain."
"Dan kamu tahu...? Dia mengalami luka-luka kecil di punggung. Dan yang lebih menyesakkan, Er malah lupa ingatan!"
"Tengkorak kepalanya retak. Bahkan saat bangun dari pingsannya, dia hanya mengingat sedikit apa saja yang dia lakukan terakhir-terakhir sebelum kecelakaan."
"Dari penyelidikan, diketahui semua itu sudah direncanakan oleh salah satu rekan alm.ayahku yang licik. Karena kuatnya bukti dan kesaksian, dia dijatuhi hukuman penjara."
Mendengar itu Alana hanya bisa menahan tangis. Menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Alana. Aku tahu kamu menyukainya."
"Kamu tidak salah. CEO muda itu memang putraku. Kamu pasti merasa heran kan?"
Claudia tersenyum kecil walaupun matanya masih memerah.
"Dia memang akhirnya berhasil mengambil alih sepenuhnya kepemilikan bisnis alm.kakeknya setelah perjuangan selama dua tahun lebih. Tapi Er masih kehilangan ingatannya yang lama. Dia juga mulai merubah penampilan berdasarkan bimbingan sekertaris yang setia dengan alm.ayahku dulu. Cara bicara, sifat, dan perbuatannya berubah total. Seakan-akan dia bukanlah Er yang dulu."
Claudia pindah di samping Alana, mengusap punggungnya.
"Sayang, sudah jangan menangis. Aku yakin suatu hari Er bisa melihatmu dengan perasaan yang sama seperti dulu."
"Kamu tahu, dokter pribadinya mengabarkan bahwa kemungkinan Er bisa memulihkan ingatannya jika terus menjalani terapi psikologis rutin secara berkala. Jadi, kamu harus mulai mendekatinya lagi, aku juga ingin melihat Er seperti dulu lagi. Dia nakal, keras kepala seperti ayahnya,"
Mereka berdua tertawa kecil.
Tapi Alana terlanjur merasa kecewa. Mengingat April yang sering bertukar pesan dengan Nathan, itu berarti bisa saja lama-lama mereka punya hubungan.
Tante kan tidak tahu itu.
"Alana, Aku paham perasaan kamu. Kamu pasti masih tidak menerima. Er mengubah nama dan identitasnya. Itu semua demi keamanan sayang. Setelah mendapat kendali penuh perusahaan, dia harus lebih berhati-hati."
"Dia juga bergabung dengan proyek organisasi kalian untuk menjalin hubungan dengan pebisnis kuat lain. Kalau suatu hari nanti ada tragedi."
"Omong-omong, pesanannya sudah datang. Ayo aku tuangkan minuman."
Gadis muda itu mengangguk. Masih sesenggukan sedikit.
Aku...tidak boleh kan merusak hubungan April? Tapi...aku..sa-
"Oh iya! Kamu ingin melihat Rayden bukan? Sebentar lagi anak itu akan menjemputku diluar. Dia baru selesai les private." Claudia kembali tersenyum. Memutuskan pikiran Alana.
Sepanjang makan, Claudia terus menatap Alana dengan tatapan hangat. Dia juga senang akhirnya bisa mengobrol kembali seperti dulu.
Tapi Alana berusaha menahan rasa yang seakan ingin meledak di dalam hatinya. Dia membalas setiap cerita Claudia.
Beberapa menit kemudian, mereka selesai disana.
Claudia sempat menelfon Eden. Dan akhirnya Alana bisa melihat sempurna sosok bocah yang dulu ia rawat dan jaga sebelum akhirnya menghilang.
Dia sudah tumbuh menjadi remaja bertubuh tinggi. Umurnya tiga belas tahun.
Eden tumbuh bersinar seperti kakaknya. Dia bahkan sangat tampan, seperti malaikat putih bermata merah menyala.
Rayden berdiri di samping mobil asal Eropa yang disetiri sopir pribadinya, dia masih memakai ransel sekolah.
Alana terpesona melihat sosok bocah itu yang benar-benar berubah. Dulu dia hanya seorang bocah cengeng yang suka bertengkar dengan Nathan.
Tapi sekarang tumbuh menawan layaknya perhiasan dunia, tubuh tinggi sempurna dan visualnya semakin tajam.
Dia persis mirip seperti Nathan versi white hair.
Cowok itu menoleh, memandang Alana. Beberapa detik terdiam.
"KAKAK!!"
lihat sekarang. Dia berlari kearah Alana menyalami perempuan yang dulu berperan seperti kakaknya.
"Rayden sudah besar ya....kamu tampan sekali."
Rayden tersenyum malu, bahkan dia juga memiliki gigi taring kecil seperti milik Nathan.
"Kakak, apa kakak kangen aku?" Rayden menatap Alana dari atas sampai bawah.
"Kakak sekarang cantik. Jangan nangis karena aku pergi tiba-tiba ya!"
Claudia tertawa kecil mengacak rambut putranya.
"Stop, kamu malah membuat aku sedih sekarang." Alana pura-pura meninju pundak Eden.
"Justru kamu yang menangis dulu tidak mau aku tinggal saat ke toilet."
"Kan kakak selalu diganggu Kak Nathan. Lebih baik menemani aku kan." Eden masih sok tahu, dari kecil selalu begitu.
"Kamu pasti ketakutan dulu mengobrol begini denganku. Kan awal bertemu aku kamu sombong sekali." Balas Alana.
"Memang aku begitu? Bodoh banget takut dengan perempuan." Timpal Eden yang langsung dicubit Alana.
"Kakak cari kak Nathan ya? Sekarang namanya Steven Kevin. Dia memang aneh mengganti namanya segala."
Claudia melotot pada Rayden, "kan mama sudah bilang alasannya."
"Iya, iya. Aku paham. Just kidding mommy~"
"Anak nakal." Alana menggeleng tak habis pikir.
"Eh ngomong-ngomong kak, kakak sekarang sopan banget ya bahasanya? Ha-ha. Sejak kapan jadi begini?...wkwk." Eden masih sibuk meledek Alana.
"Diam kamu bocah. Ini karena bisnis. Aku jadi biasa bicara formal." Alana berdehem, melihat situasi.
"Lihat nih." Aman, Claudia sudah masuk duluan ke dalam mobil.
"Sial, Gue juga bisa ngomong biasa." Alana tertawa melihat ekspresi Eden berubah ngeri.
Gila, aura palaknya balik lagi.
"Alana, ayo naik. Biar aku antar ke rumahmu." Claudia menawarkan.
Eden seketika ribut menarik paksa tangan Alana.
"Ayo kak! Biar aku traktir permen kapas!"
Dia tertawa, masih ingat dulu Kakaknya, Nathan, membelikan Alana permen kapas bentuk hati.
Alana berdehem malu, mengiyakan tawaran bocah ini.
"Btw, minta no kakak! Aku bisa jadi cupid buat kak Alana lho."
"Banyak gaya."
***