NovelToon NovelToon
Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Action / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:96
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.

Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak Keempat Belas

# 14

Tubuh Mahali terus melesat ke arah Timur. Tanpa terasa ia sudah menjauh dari Madangkara. Sementara itu, satu tombak di belakangnya, tampak tiga sosok bayangan membuntutinya. Mereka bergerak tanpa suara bagaikan setan bergentayangan di siang bolong. Terkadang dia memiringkan badannya ke kiri dan ke kanan, terkadang membungkuk, terkadang melompat bagai seekor tupai. Saat Mahali berhenti, mereka juga ikut berhenti dan menyelinap di antara dedaunan, menyembunyikan diri sambil mengamati gerak-gerik Mahali, untuk kemudian kembali mengikutinya dari belakang dengan jarak yang cukup jauh.

Sesampai di sebuah tanah lapang yang cukup luas, Mahali berhenti agak lama. Ia tersenyum tipis, sepasang matanya memandang jauh ke depan ke arah lereng-lereng perbukitan dan pegunungan yang berselimut awan tipis.

“Kalian bertiga, mau sampai kapan bersembunyi di tempat itu ? Keluarlah, aku tahu, Permadi menugaskan kalian untuk membunuhku, bukan ?” kata Mahali.

Tidak ada jawaban, sunyi dan sepi. Angin berhembus perlahan menggoyang ranting pepohonan dan menggesek dedaunan. Memainkan tiap helai rambut, pakaian Pendekar dari Hindustan yang lebar dan panjang itu berkibaran bagai bendera. Karena tidak ada jawaban, Mahali membalikkan badan, menatap tajam ke arah rimbunan semak belukar dan ilalang liar di belakangnya, disanalah tiga bayangan hitam itu bersembunyi.

“Baiklah, jika kalian tidak mau keluar, jangan salahkan belatiku yang memaksa kalian keluar. Hhiiaa !!!”

Tiga berkas sinar kuning keemasan melesat keluar dari balik lengan jubahnya, menyambar ke arah ilalang itu.

“SING... SSIINNGG... SSSIIINNNGGG ....”

Tiga sinar itu membelah udara, suaranya bagaikan gesekan kecapi para dewa-dewi yang dimainkan saat senja hari. Pada saat itulah tiga bayangan melompat keluar, berjumpalitan di udara dan berdiri di hadapan Mahali yang berdiri tegak bagaikan karang. Sementara ketiga sinar kuning keemasan itu menerpa udara kosong. Ia tersenyum melihat kehadiran mereka.

“Berapa Permadi membayar kalian untuk kepalaku ?” tanya Mahali, “Aku telah mengamati kalian semenjak di pelataran Istana Madangkara bercampur baur dengan para pejabat teras istana. Di saat Prabu Wanapati gusar, kalian mencuri-curi kesempatan untuk menemui Permadi dan membicarakan tentang apa yang telah terjadi pada Widura, bukan ? Dan, kulihat salah satu dari kalian telah membunuh teman kalian itu, karena kesalahan kecil... banyak bicara,”

Ketiga orang itu saling pandang. Mahali tersenyum lalu kembali berkata, “TIDAK ADA KESALAHAN SEDIKIT PUN, RAPI DAN BERSIH, itulah cara kerja Permadi. Aku paham benar sikap, watak dan karakter Permadi dalam bekerja... ketahuilah, sekalipun aku terbunuh oleh kalian, kalian pun akan dibunuh oleh orang lain suruhannya karena takut kedoknya yang dari depan terlihat ramah tamah, akan tetapi, menusuk dari belakang. Jika aku boleh memberi saran, segera pergi, menghilang dan jangan sampai terlibat oleh Putera Raja Kuntala itu lagi,”

“Tutup mulutmu, Mahali... kami sudah kepalang basah mengikat perjanjian dengan Malaikat maut, apapun yang kau katakan... tidak akan berguna. Jadi, serahkanlah kepalamu agar kami tidak perlu repot-repot mengambilnya darimu,” kata salah seorang dari mereka.

“Itu tergantung dari kemampuanmu. Pertanyaannya, apakah kau sanggup memenggal kepalaku dan menyerahkannya kepada Permadi ?” kata Mahali.

“Kurang ajar, kau meremehkanku, Mahali... kejadian yang sama beberapa waktu yang lalu, tidak akan terulang lagi. Kau sendiri yang melepaskan Widura secara tidak langsung dan membuat Ki Tengkes mati oleh golokmu. Nah, sekaranglah saatnya, kau menyusul Ki Tengkes dari Rajabasa. Hiath !” sambil berkata demikian bayangan itu menerjang ke arah Mahali dengan kaki-kakinya.

“WWUUSSHH ! WWWUUUSSSHHH !!”

Hembusan angin panas menerpa ke arah Mahali, namun, Pendekar dari Hindustan itu hanya melayangkan tangannya untuk menahan ataupun menangkis serangan itu.

“PLAK ! PLAK ! PLAK !”

Dalam sekejab, mereka berdua sudah terlibat dalam pertarungan tangan kosong yang cukup sengit, dua orang yang lain hanya memandanginya sambil menahan nafas. Sekalipun mereka tidak terlibat dalam pertempuran itu, namun dapat merasakan hawa di sekitarnya panas bagaikan dibakar oleh api tak berwujud.

“Kau bukanlah tandinganku, Dursapati,” kata Mahali sambil melompat mundur.

Orang itu tersentak, menarik serangannya dan menatap tajam ke arah Mahali, “Darimana kau tahu, siapa aku ?” tanyanya.

“Hm, siapa yang tidak kenal dengan DURSAPATI, SI KAKI DAN TANGAN API ? Namamu terkenal seantero rimba persilatan, akan tetapi, mengapa kau menjadikan Permadi sebagai junjunganmu. Dia bukanlah orang yang layak dibela mati-matian, Dursapati,” Mahali menandaskan.

“Maaf, Tuan Mahali... saya terpaksa melakukan ini, karena jika aku menolak, keluargaku dalam bahaya,” kata orang itu hendak menyerang lagi, akan tetapi, Mahali mencegahnya, “Kau kira, dia akan melepasmu setelah berhasil membunuhku ? Tidak. Dia bagaikan seekor lintah, akan terus menghisap darahmu hingga kenyang. Sekalipun kenyang belum tentu lintah itu akan meninggalkan tubuhmu. Itulah sifat Permadi, tidak akan melepasmu begitu saja,”

Orang yang dipanggil dengan nama Dursapati itu menatap ke arah Mahali, sementara, kaki dan tangannya tampak merah membara seakan terbakar oleh api, asap putih tipis mengepul keluar. Tak lama kemudian, ia berteriak dan dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata biasa, tubuhnya berkelebat menyerang ke arah dua orang temannya yang masih terpaku.

“HHIIAATTHH !!”

“BLAR ! BLAR ! BLAR !”

Teriakan Dursapati membahana, tiga ledakan keras itu adalah serangan jarak jauh yang dilancarkan oleh Dursapati ke arah dua orang yang berdiri tak jauh di belakangnya. Salah seorang dari mereka, roboh terkapar di tanah dalam keadaan terpanggang api, sementara yang satunya terpana. Serangan Dursapati itu benar-benar di luar dugaannya.

“Kurang ajar,” kata orang itu gusar, “Bukankah lawan kita adalah Mahali ? Mengapa kau menyerang kawan sendiri ?”

“Aku tak merasa kita berkawan, kaupun tega membunuh teman kita tadi, maka, akupun melakukan hal yang sama. Sekarang juga kau harus mati,” kata Dursapati.

“Kau takkan bisa membunuhku dengan mudah, rasakan ini,” ujar orang itu sambil mengeluarkan seutas tali yang pada salah satu ujungnya digantungi oleh sebuah mata tombak berwarna putih dan runcing. Tanpa banyak bicara lagi, orang itu mengibaskan tangannya ke depan dan mata tombak itu meluncur ke arah Dursapati.

Dursapati dengan tenang mengelak sementara, jari-jemarinya bergerak hendak menangkap mata tombak itu, akan tetapi, sebuah sinar putih keperakan melesat mengembalikan mata tombak kepada pemiliknya.

“TTRRIINNGG !!”

Baik Dursapati maupun lawannya terkejut, ternyata Mahali ikut melibatkan diri dalam pertempuran tersebut.

“Apa yang kau lakukan, Tuan Mahali ?” tanya Dursapati.

“Bukan maksudku ikut campur dalam pertempuran kalian, akan tetapi mata tombak itu dilapisi oleh racun yang amat ganas,” jawab Mahali, “Aku telah menyelamatkan nyawamu,”

“Terima kasih, aku sudah mengetahuinya, Pendekar-pendekar dari wilayah Tenggara ahlinya racun, maka dari itu, aku ingin sekali membuat dia merasakan racunnya sendiri,” ujar Dursapati sembari melompat dan berdiri di hadapan lawannya yang saat itu sudah mempersiapkan serangan berikutnya. Kali ini tali yang digantungi lempengan besi berbentuk pipih itu meliuk-liuk kesana-kemari, bagai seekor ular mematuk. Dursapati sesekali berkelit, sesekali balas menyerang saat lawan menarik kembali senjatanya.

“Maaf, kawan ... sudah saatnya, Malaikat Maut menjemput ajalmu. Selamat tinggal,” bersamaan dengan itu Dursapati melayangkan tapak tangan kanannya yang sudah dialiri oleh tenaga dalam ke arah dada lawannya yang terbuka itu, dan ....

“DASH !”

“AAKKHH !!”

Sepasang mata orang itu terbelalak lebar, penutup wajahnya basah oleh darah merah kehitaman. Pada pakaian bagaian dadanya terkoyak, dagingnya serasa terbakar, tubuhnya limbung sebelum akhirnya roboh dan tidak bergerak-gerak lagi. Setelah memastikan bahwa teman-temannya sudah binasa, Dursapati melepaskan kain penutup wajahnya, sementara, Mahali hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.

“Tuan Mahali, tampaknya, saya sendiri harus menghilang... sebenarnya, saya juga tidak ingin terlibat dengan Permadi, terpaksa, karena .... orang bernama Permadi itu, memanfaatkan kelemahan saya untuk melakukan tugas kotornya. Saya tak ingin keluarga menjadi bagian dari permainan kotornya,” jelas Dursapati.

“Saya berharap, semoga saja orang yang bernama Permadi itu mendapatkan pelajaran yang setimpal dengan perbuatannya. Kita harus segera menyusun rencana untuk bisa menjebak dan mengakhiri semuanya,” ujar Mahali, “Memang, tidak mudah bagi kita untuk menghadapinya secara terang-terangan, licik harus dilawan dengan kelicikan pula. Baiklah, tampaknya kita harus segera pergi dari tempat ini untuk menyusun sebuah siasat,”

Dursapati dan Mahali segera meninggalkan tempat itu. Setelah tempat itu sunyi dan lengang, tampak sebuah bayangan mengendap-endap keluar dari balik rimbunan semak belukar yang jaraknya agak jauh dari tempat Mahali dan Dursapati berdiri. Seorang pemuda dengan tompel sebesar 2 ibu jari orang dewasa melekat pada pipi sebelah kiri persis di samping hidungnya yang pesek. Ia tersenyum, beberapa saat kemudian membalikkan badannya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

..._____ bersambung _____...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!