Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pantai Sokcho pagi itu diselimuti oleh kabut tipis dan aroma garam yang begitu tajam. Suasana di pantai seharusnya memberikan kebebasan dan rasa ketenangan, tetapi bagi Lee Yujin, tempat ini terasa seperti kurungan emas yang terasa dingin.
Mereka menginap di vila mewah milik keluarga Lino, jauh dari keramaian resor utama. Yujin tiba dengan tas kecil yang berisikan pakaian dan buku sketsanya. Sejak tiba, ia menyadari satu fakta yang pahit, yaitu Ayah Lino ternyata tidak ada di sana.
"Ayah mendadak harus tinggal di rumah sakit untuk observasi semalam. Tapi dia berkeras aku tetap datang untuk menyiapkan tempatnya," Lino berbohong dengan tatapan mata yang tampak jujur.
Yujin hanya mengangguk, tidak menyanggah kebohongan yang terlalu jelas itu. Ia sangat tahu jika Lino telah menjebaknya.
Siang hari, Lino membawa Yujin berjalan-jalan di sepanjang garis pantai yang terlihat sepi. Angin laut menerpa rambut mereka, tetapi Yujin tidak merasakan kesegaranya. Ia hanya merasakan beban rasa bersalah dan ketidaknyamanan yang mendalam.
Lino berjalan di sampingnya, mengenakan kaus rajut biru tua yang membuatnya terlihat santai dan menawan. Ia berusaha keras untuk bersikap seperti pria ideal, bercerita lucu, menanyakan tentang apa impian Yujin, dan sesekali memuji keindahan laut di sana.
"Kau tahu, Yujin" kata Lino memecah keheningan yang panjang. "Aku tidak pernah merasa setenang ini saat berada di Seoul. Kau membawa aura damai bersamamu. Kau seperti pemandangan laut ini yang tampak tenang, tetapi menyimpan kedalaman yang tak terduga."
Yujin menjawab dengan nada netral, ia berusaha menjaga percakapan tetap dangkal. "Terima kasih, Oppa. Itu pujian yang sangat bagus. Tapi aku harus memotret ombak ini. Ini bisa menjadi inspirasi fabric printing untuk proyek Desain Pakaian Adatku."
Yujin segera mengeluarkan ponselnya, menggunakannya sebagai perisai, ia memotret objek lain agar tidak ada ruang bagi Lino untuk mencondongkan tubuhnya atau menyentuhnya.
Lino tersenyum kecil, senyuman yang tidak sampai ke matanya. Ia sangat menyadari betul penolakan halus dari Yujin.
"Kau selalu mencari alasan pekerjaan, Yujin," Lino terkekeh. "Itu yang membuatmu sangat unik, tapi juga membuatku sulit untuk mengenalimu secara pribadi. Aku ingin tahu tentang Lee Yujin yang sebenarnya. Yujin yang lemah, yang kulihat di rumah sendirian."
"Aku rasa aku tidaklah lemah, Oppa," Yujin menjawabnya dengan tegas, ia menurunkan ponselnya. "Aku bisa mandiri. Dan Yujin yang sebenarnya adalah Yujin yang selalu fokus pada kariernya. Kau bisa bertanya tentangku pada Jiya. Dia sangat mengenalku dengan baik."
Lino menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Yujin yang jarak di antara mereka hanya sekitar satu lengan.
"Jiya... Jiya adalah gadis yang manis," kata Lino dengan tatapan tajam yang menatap Yujin tanpa berkedip. "Tapi Jiya itu terlalu riang. Dia tidak mengerti beban yang kau pikul seperti apa."
Lino mendekat satu langkah, melanggar batas yang dipertahankan Yujin.
"Aku mengerti, Yujin. Aku tahu bagaimana rasanya harus terus kuat di depan orang lain. Aku tahu bagaimana rasanya harus memikul harapan seluruh keluarga. Kita adalah sama, Yujin. Kita adalah jiwa yang terisolasi di balik topeng kesempurnaan."
Yujin menahan napas. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang karena ketakutan. Lino sedang mencoba menciptakan ikatan emosional yang palsu, Lino menggunakan simpati sebagai jebakan.
Ia mundur selangkah untuk menjaga jarak. Ia mengingat Jiya. Ia ingat bagaimana ia meyakinkan Jiya bahwa perjalanannya ke Sokcho adalah demi Ayah Lino.
𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘩𝘪𝘢𝘯𝘢𝘵𝘪 𝘑𝘪𝘺𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘓𝘪𝘯𝘰.
"Aku sangat menghargai rasa empatimu, Oppa. Tapi kau tidak perlu terlalu khawatir padaku. Aku sungguh baik-baik saja," kata Yujin dingin. "Jika kau sungguh ingin membantuku, kau bisa memberikanku ruangan yang tenang untuk mengerjakan tugas Visual Merchandisingku. Itu adalah satu-satunya yang membuatku stres."
Mendengar itu, wajah Lino seketika menampakkan kekecewaan yang mendalam yang dengan cepat ia tutupi dengan senyuman palsu. Ia merasa frustrasi karena Yujin terlalu pintar dalam membuat dinding pertahanannya.
"Kau benar, kau adalah desainer yang sangat fokus dan teliti," Lino memaksakan senyumnya. "Baiklah. Ayo kita kembali ke vila. Kau bisa bekerja di ruang kerjaku di sana. Aku akan memesankanmu kopi dan makanan."
Sepanjang jalan mereka kembali ke vila, Lino mencoba mengendalikan frustrasinya. Ia telah merancang skenario romantis ini, ia sudah menghilangkan Christopher dan Jiya dari persamaan hanya untuk ditolak oleh benteng profesionalitas Yujin?
Malam harinya, Yujin mengunci diri di kamar tamu dan berpura-pura serius bekerja di meja kerjanya. Lino yang tidak berani mendobrak pintu, berkali-kali mengiriminya pesan.
Lino Lee :
Yujin, kau sudah makan? Aku membuat pasta carbonara. Kau harus makan ya.
Lee Yujin:
Terima kasih, Oppa. Aku sudah makan bekal yang ku bawa.
Lino Lee :
Kau yakin sudah makan? Aku merasa bersalah karena membuatmu bekerja di akhir pekan. Aku janji, jika kau keluar sebentar saja, kita bisa minum teh bersama. Kita bisa bahas Ayahku.
Yujin mengabaikan pesan terakhir itu, ia mematikan notifikasi. Ia meraih ponselnya dan mengirim pesan ke Christopher: Aku sudah aman. Lino terus mencoba untuk mendekatiku, tapi aku sudah mengurung diri di dalam kamar. Dia bilang Ayahnya tidak ada di sini.
Christopher segera membalas: Kunci pintunya. Jangan keluar. Aku akan segera kembali besok sore. Telepon aku jika ada yang mencurigakan.
Pesan dari Christopher adalah satu-satunya obat penawar bagi kegelisahan Yujin.
Di ruang tamu vila, Lino duduk sendirian sambil memegang ponselnya. Ia menatap pesan Yujin yang tidak dijawab. Seketika membuat wajahnya dipenuhi oleh amarah yang terpendam.
"Dia menolak pasta carbonaraku? Dia menolak kehangatanku? Dia lebih memilih Christopher yang dingin itu, dan pekerjaan bodohnya itu?"
Lino minum wine merahnya dengan cepat. Kepalanya mulai dipenuhi rencana yang lebih gelap. Ia harus membuat Yujin merasa takut dan berhutang padanya. Hanya dengan begitu, Yujin akan melihatnya sebagai satu-satunya pelindung untuknya.
Lino berdiri, berjalan ke kamar tidurnya. Ia membuka laptop dan mulai mencari file yang ia curi dari ponsel Christopher—foto-foto desain arsitektur Christopher.
Ia tahu, ada satu kelemahan Yujin yang paling fatal, yaitu keinginannya untuk melindungi Jiya.
Lino tersenyum dingin.
"Kau tidak mau berbagi kehangatan denganku, Yujin? Baiklah. Aku akan menciptakan drama yang akan membuatmu lari langsung ke pelukanku dan menjauh dari semua orang yang kau sayangi."
.
.
.
.
.
.
.
— Bersambung —