Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Penyelamatan
Suasana di dalam mobil penuh dengan aura kelam milik Jevan. Kedua tangannya memegang setir mobil dengan erat sampai otot lengannya tercetak jelas.
"Kita ke rumah gue dulu, ketemu Papa gue. Lo kabarin Dewi dan Kenzo agar mereka jangan gegabah," pinta Jevan kepada Nadia.
Nadia hanya menganggukkan kepala saja. Percayalah, dia hampir tidak bernapas karena ulah Jevan yang membawa mobil seperti kesetanan.
Hampir satu jam perjalanan menuju ke rumah Jevan, dan mereka berdua sekarang berhenti di depan gerbang yang cukup besar.
Jevan memberikan kode kepada satpam agar membukakan gerbang tersebut.
Setelah gerbang dibuka, mobil Jevan langsung masuk ke pekarangan rumah besar.
Mobil berhenti di garasi rumah. Jevan dan Nadia keluar bersamaan dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Jevan dengan pelan membuka pintu utama rumahnya. Terlihat wanita paruh baya dengan baju rumahan sedang duduk santai menonton TV sambil menikmati camilan.
"Ma, Papa mana?" tanya Jevan yang berjalan menuju Mamanya.
Wanita paruh baya yang bernama Jenita, atau biasa dipanggil Mama Jeni, mendengar suara familiar itu. Ia langsung melihat ke arah Jevan dan tersenyum.
"Ada tuh di ruang kerjanya. Tumben subuh-subuh begini pulang langsung mencari Papa?" tanya Mama Jeni. Ini karena tumben sekali anak semata wayangnya ini ingat pulang ke rumahnya. Terakhir kali pulang hanya mengambil mobilnya, habis itu balik lagi.
"Lagi butuh, Ma. Kalau begitu, Jevan langsung ke ruangan Papa dulu, ya." Setelah mengatakan itu, Jevan langsung pergi ke arah ruang kerja Papanya.
Mama Jeni yang melihat putranya pergi, baru sadar jika Jevan tidak sendirian. Ternyata ada seorang gadis yang sudah duduk santai sambil memegang camilan yang ia makan tadi.
"Terus kamu, kenapa ikut Jevan? Tidak sekolah?" tanya Mama Jeni yang sudah duduk di sebelah Nadia.
"Izin, Tante. Terus kenapa Tante belum tidur?" tanya Nadia yang langsung melihat ke arah Mama Jeni.
"Terbangun tadi. Mau tidur tapi sudah tidak bisa, makanya Tante nonton TV saja," jelas Mama Jeni.
"Oh iya, Na. Kenapa anak Tante auranya seperti mau membantai orang?"
"Oh, biasa. Pacarnya diculik tadi waktu kami main ke pasar malam," ujar Nadia yang masih menikmati camilan tersebut.
"Oh, pacarnya diculik? APAAA...!" Ternyata Mama Jeni kaget mendengar bahwa pacar anak bujangnya diculik.
"Astaga, Tante. Aku kaget tahu!" kata Nadia yang hampir tersedak.
"Si Alena diculik?" tanya Mama Jeni memastikan.
"Iya, Tante. Alena diculik," jawab Nadia yang sudah mulai serius.
"Astaga, kenapa tidak bilang dari tadi? Mantu cantik Tante diculik!" Mama Jeni langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa ke arah Jevan pergi tadi.
Nadia hanya membaringkan tubuhnya ke sofa. Percayalah, Nadia sangat capek dan matanya langsung tertutup.
Sementara itu, di ruangan kerja Papanya Jevan.
"Kenapa, tumben subuh begini kamu datang ke rumah?" tanya Papa Jevan, yang tidak melihat sama sekali Jevan yang berdiri tepat di depan meja kerjanya.
"Pa, Alena diculik, dan Jevan mau minta tolong kepada Papa untuk membantu Jevan menyelamatkan Alena," ujar Jevan dengan wajah serius.
Papanya, yaitu Hendrik, yang mendengar perkataan putranya langsung mengalihkan pandangannya—yang awalnya ke dokumen—ke wajah sang anak bujangnya. Ketika dia melihat wajah Jevan, dia baru menyadari bahwa wajah Jevan sangat mirip dengannya saat muda.
"Pa, dengar tidak yang Jevan bilang?" tanya Jevan yang sedikit kesal dengan papanya ini.
"Iya Papa dengar, bidadari kamu diculik, kan?" ujar Hendrik sambil menghela napas pelan.
"Iya, makanya Jevan mau minta tolong kepada Papa."
"Halah, paling balik ke kayangan kali," canda Hendrik. Hey, lihatlah ekspresi anaknya yang semakin suram.
BRAK!
Pintu ruangan terbuka dengan keras akibat ulah Mamanya Jevan.
"Pa!! Gawat! Mantu cantiknya Mama diculik! Mama minta sekarang kerahkan pasukan untuk menyelamatkan Mantunya Mama!" ujar Jeni yang tiba-tiba datang bagaikan angin ribut.
Hendrik dan anaknya, Jevan, kaget bukan main, dan tatapan mereka tertuju ke arah pintu dengan wajah terkejut.
"Pasukan? Memangnya kita mau perang?" kata Hendrik memecahkan keheningan sesaat.
"Ishh, Papa! Bukan itu maksud Mama," ujar Jeni dengan kesal.
"Iya Papa mengerti kok, ini lagi dibahas sama anak kamu."
"Anak kamu juga!"
Jevan hanya melihat jengah drama membosankan ini.
"Pa, Ma, cukup. Kalau kita berdebat terus, Alena bisa terluka," kata Jevan yang mulai jengah.
"Dari mana kamu tahu kalau dia akan terluka?" tanya Hendrik.
BRUK!
BRAKK!!
Jevan mengebrak meja kerja dan membuang dokumen kerja Papanya ke lantai.
"Oh, Anj—" latah Hendrik yang melihat dokumennya sudah berada di lantai dalam keadaan berantakan.
"Oke, baiklah. Papa bantu. Tapi dengan satu syarat dan ini tidak bisa dibantah," tegas Hendrik dengan wajah lelahnya.
"Oke," ujar Jevan tenang.
"Syaratnya, setelah misi penyelamatan ini kamu harus membereskan ini semua. Oke boy? Okelah, masa enggak?" kata Hendrik sambil menunjuk ke lantai di mana kertas-kertas dokumen sudah terletak berantakan.
Jevan yang melihat itu hanya mengangguk pasrah.
Setelah membuat kesepakatan dalam keadaan genting itu.
Hendrik langsung berdiri dari kursi kerjanya dan berjalan ke arah sofa, di mana sang istri sudah duduk terlebih dahulu.
Ia mulai mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Rein, tolong cari seseorang. Datanya akan dikirim oleh Putra saya," pinta Hendrik dengan tegas kepada tangan kanannya.
"Siap!"
"Jev, tolong kirim datanya Alena atau apa pun itu ke Om Rein," ujar Hendrik yang sudah memutuskan sambungan teleponnya.
Jevan yang mendengar hal itu langsung mengambil ponselnya dan mengirimkan data terakhir yang dikirim oleh sahabatnya, Kenzo.
Setelah satu jam lebih, akhirnya Om Rein mengirimkan sesuatu kepada Jevan.
Jevan yang mondar-mandir dengan ekspresi cemas langsung berhenti lalu melihat ponselnya.
Kedua orang tuanya sekarang sedang bermesraan, di mana Hendrik merebahkan tubuhnya di sofa dan kepalanya di paha sang istri, sedangkan sang istri memainkan rambutnya.
Tiba-tiba ponsel Hendrik juga berbunyi, menunjukkan panggilan masuk dari Rein, tangan kanannya.
Hendrik langsung menekan tombol hijau itu.
"Maaf, Pak, sudah mengganggu. Hasil dari yang Anda perintahkan sudah saya kirim ke putra Anda. Dari analisis saya, para penculik itu bukan dari kalangan orang biasa. Motifnya saya kurang tahu, tapi secara tiba-tiba mereka melakukan pergerakan lain. Sepertinya mereka mengubah rencana awal mereka," ujar Rein panjang lebar.
Sebenarnya jika bukan karena perintah sang atasan, mana mungkin dia mau mengurus hal seperti ini subuh-subuh begini.
"Oke, terima kasih, Rein. Gaji bulan ini saya naikkan sebagai uang lembur," ujar Hendrik.
"Sama-sama, Pak, dan terima kasih kembali."
Setelah mendengar perkataan Rein, Hendrik langsung mematikan sambungannya.
"Oke boy, jangan lupa kesepakatannya," kata Hendrik sambil melihat ke arah Jevan, tapi sialnya anaknya sudah tidak ada di tempatnya.
"Dasar anak Anj—" Hendrik kesal kepada anaknya itu, yang tidak tahu berterima kasih.
"Apa kamu bilang??" ujar Jeni, sang istri, yang mendengar umpatan Hendrik kepada anaknya.
"Eehh, tidak kok, Ma," dalih Hendrik.
"Aku dengar, ya, tadi kamu bilang!" Jeni yang kesal langsung menarik rambut sang suami.
"Aawww! Ma, lepaskan rambut Papa!" pinta Hendrik sambil menahan tangan sang istri.
Tapi perkataan Hendrik tidak didengar oleh Jeni.
• Mari kita tinggalkan adegan KDRT ini.
Jevan yang sudah berjalan keluar, sampai di ruang keluarga, melihat Nadia sudah tidur di sofa.
Jevan melangkahkan kakinya ke arah Nadia, dan mengangkat tubuh Nadia ke kamar tamu.
Jevan langsung membaringkan tubuh Nadia ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut sebatas lehernya saja.
Jevan kembali keluar, memasuki mobilnya. Setelah mobilnya keluar dari halaman rumah, Jevan menginjak gas dan melaju kencang ke arah lokasi Alena disekap.
"Ken, Lo di mana?" tanya Jevan yang sudah menghubungi Kenzo.
"Gue baru mengantar Dewi ke rumahnya, soalnya dia sangat mengantuk," jawab Kenzo.
"Oke, gue sudah mau menuju lokasi mereka."
"Kirim lokasinya, soalnya gue bakal nyusul."
Setelah itu Jevan langsung mematikan panggilan suara tersebut, dan mengirim lokasi Alena sekarang.
Kenzo yang menerima pesan dari Jevan langsung tersenyum.
Mereka berdua langsung meningkatkan laju kendaraan mereka.
Di tempat lain, atau lebih tepatnya di posisi Alena yang sudah terikat di salah satu tiang, wajahnya memerah akibat menangis, dan terdapat juga bekas tamparan.
"Pa, Ma... Alen takut," lirih Alena sambil menangis pelan.
Alena mendengar suara langkah kaki masuk dan menuju ke arahnya.
Klik. Pintu terbuka, dan terlihat seorang pria seumuran ayahnya melangkah masuk.
Alena yang melihat itu menatap heran, merasa familiar dengan wajah si pria itu.
"Bukankah dia orang yang sama waktu aku tanya letak toilet?" batin Alena. Pria itu ternyata pria ber-hoodie abu-abu di pasar malam.
"Ternyata, cantik juga kamu," ucap si pria itu sambil melihat ke wajah Alena.
Alena yang mendengar itu merasa jijik karena ditatap mesum oleh pria bau tanah ini.
"Hmm. Kata bos saya, jika rencana ini berhasil, kamu bakal jadi jalang saya." Si pria itu menatap penuh gairah ke Alena.
"Najis banget, cih," Alena meludah ke samping dengan wajah terlihat jijik.
Si pria itu yang melihat tindakan meludah itu langsung tersinggung. Dia semakin mendekat dan langsung mencekik leher Alena.
Alena yang menerima serangan tiba-tiba hanya memberontak. Wajahnya mulai memerah karena kekurangan oksigen. Air matanya terus bercucuran deras. Leher, tangan, dan kakinya terasa sakit karena berusaha memberontak, tapi itu sia-sia karena pergerakannya terbatas.
"Makanya sopan kepada yang tua," ujar pria itu, yang mulai melepaskan cekikan di leher Alena.
Alena langsung bernapas tersengal-sengal dan meraup rakus oksigen. Tangannya juga mulai perih dan terluka karena gesekan antara tali yang mengikatnya.
"Hahahaha. Siap-siap jadi jalang saya," pria itu tertawa puas dan membalikkan tubuhnya serta berjalan keluar ruangan.
Alena hanya menangis. Sekarang dia hanya mengharapkan pertolongan dari pacarnya atau sahabatnya, karena orang tuanya pasti tidak peduli.
Tubuhnya juga sudah terasa lemas, kakinya gemetar. Alena berusaha duduk secara perlahan, dan area tangannya mulai terasa perih akibat gesekan di tiang.
Dan saat Alena sudah duduk, kakinya langsung diselonjorkan ke depan untuk meregangkan kaki dan badannya.
"Kenapa? Dan siapa dalang di balik ini? Apa salah aku?" tanya Alena, memikirkan rencana apa yang dilakukan oleh bos dari pria tadi.
Lamunan Alena seketika buyar ketika terdengar suara berisik di luar gedung.
Di luar gedung, beberapa orang berjas hitam masuk dengan senjata di tangan, mulai menembak para penculik yang sedang berjaga.
Jevan yang baru sampai langsung berlari masuk ke dalam gedung berlantai 2 itu.
Tetapi saat akan naik tangga, suara tembakan dari atas menuju dirinya terdengar. Dengan cepat Jevan menghindar, tapi sayang peluru itu tetap melukainya di bagian bahu. Darah mulai keluar dan tercetak jelas di jaket kulitnya yang sudah robek akibat peluru.
Jevan yang merasa keseimbangannya goyah, dengan cepat memegang pembatas tangga, mencari asal peluru yang sudah melukainya.
Matanya menangkap sosok pria ber-hoodie abu-abu, yang akan melepaskan tembakan kedua. Jevan yang melihat itu dengan cepat melompat ke samping dari pembatas tangga. Posisinya saat itu belum tinggi, mungkin baru anak tangga kelima.
DOR!
Suara tembakan melesat mengenai pembatas tangga.
"Sialan," ujar si pria ber-hoodie itu, yang langsung melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
Jevan sudah meringis kesakitan akibat luka tembakan.
"Tuan muda, Anda baik-baik saja?" tanya pengawal yang baru saja datang.
Jevan tidak menjawabnya. Dengan cepat dia menarik dan melepaskan dasi dari leher si pengawal tadi. Ia langsung mencoba menahan aliran darah yang keluar dari bahu. Lukanya tidak terlalu serius, hanya goresan, tapi bisa membuat orang mati karena kehabisan darah.
Setelah itu Jevan mengalihkan kembali pandangannya ke arah pria ber-hoodie abu-abu itu, tetapi sudah tidak ada.
Jevan langsung berdiri tegak, dan merampas kembali senjata tipe pistol Gurza 9 mm milik si kepala keamanan yang dikerahkan oleh Papanya.
"Tuan muda, jangan gegabah. Biarkan kami yang berjalan di depan," pinta si kepala keamanan keluarganya, tapi tidak digubris sama sekali oleh Jevan.
Jevan sudah melangkah naik tangga lagi. Si pengawal langsung memerintahkan anggota lainnya untuk berkumpul.
"Berkumpul, dan beberapa datang ke sini untuk melindungi Tuan muda," perintah pengawal itu menggunakan earpiecenya.
Tetapi tatapannya tidak lepas dari pergerakan sang tuan mudanya, yang sudah mulai menghilang di lantai dua.
Terdengar langkah kaki dan ada sekitar 5 orang yang datang. Si kepala keamanan, atau kepala departemen keamanan milik Papanya Jevan, memberikan kode ke arah anggotanya untuk segera pergi ke arah lantai 2.
Sebelum itu, dia mengambil senjata berjenis pistol tipe Beretta 30X dari dalam saku jasnya.
Dengan waspada dan setiap langkah penuh perhitungan, mereka mulai menyusul Jevan ke lantai 2, dan terdengar kembali tembakan.
Jevan melepaskan 2 tembakan ke arah 2 orang di depannya.
DOR!
DOR!
PRANG!
Satu musuh terkena tembakan dan tewas di tempat, sedangkan satunya terkena jendela kaca.
Tidak sampai di situ, pihak musuh mulai melakukan perlawanan dan melepaskan tembakan ke arah Jevan.
DOR!
Jevan dengan gesit menghindar dan bersembunyi di balik pilar tembok, dan juga membalas tembakan.
Tidak lama kemudian pahlawan kesiangan datang dan mulai menghujani tembakan ke arah musuh. Ya, mereka pengawal yang baru datang.
DOR!
DOR!
DOR!
Yang berakhir musuh tersebut tewas.
Jevan langsung bernapas lega, tapi tidak sepenuhnya. Dia mulai berlari pelan dan memeriksa semua ruangan yang ada di lantai dua. Akan tetapi, semua ruangan kosong.
Jevan semakin naik pitam, dan melepaskan tembakan secara acak, mengenai satu guci besar di sudut ruangan.
Tiba-tiba si kepala departemen keamanan menerima informasi dari anggotanya yang di luar, yang ditugaskan menyisir area lantai satu.
"Lapor, Ketua. Target ditemukan berada di ruang bawah tanah dalam kondisi sedikit mengenaskan," ujar salah satu anggota.
Si kepala departemen keamanan itu mendengar laporan anggotanya melalui earpiece di telinganya, langsung tersenyum lega.
"Tuan muda, Nona Alena sudah ditemukan di area bawah tanah," lapor kepala keamanan kepada Jevan.
Jevan yang mendengar perkataan pengawalnya itu langsung sedikit tersenyum.
"Langsung bawa ke rumah sakit. Kita lanjut cari pelaku penculikan," pinta Jevan tegas.
Yang diperintahkan langsung memegang earpiece-nya dan mengarahkan dekat mulutnya.
"Bawa Nona Alena ke rumah sakit sekarang, dan jangan lengah sedikit pun," ujar kepala keamanan.
"Siap. Kami mulai bergerak dan langsung menuju ke rumah sakit milik Tuan Besar." Setelah mengatakan itu.
Mereka langsung fokus pada misi selanjutnya.
Jevan berjalan ke setiap sudut gedung tua ini dengan hati-hati, walaupun ada beberapa pengawal yang menjaganya, tetapi dia tetap merasa was-was.
Setiap langkah demi langkah, Jevan terus mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.
Tiba-tiba dia melihat bayangan yang agak buram. Dari posisinya, dia akan melakukan tembakan kembali.
Tapi sebelum si pria ber-hoodie abu-abu itu melepaskan tembakan, Kepala keamanan dengan insting kuatnya langsung berbalik badan dengan cepat dan melepaskan tembakan ke arah pria ber-hoodie itu.
DOR!
Peluru itu mengenai bagian paha pria itu, yang langsung jatuh ke lantai sambil mengerang kesakitan.
Dan mereka bergerak cepat untuk menangkap pria itu.
"Bawa dia, jangan buat dia kehilangan nyawanya," pinta Jevan sambil melemparkan senjata yang dipegangnya ke arah kepala keamanan.
Jevan langsung keluar gedung tersebut, dan mulai menyusul mobil yang dinaiki Alena.