NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana Shavira

Besok harinya...

Waktu makan siang tiba, Shavira meregangkan tubuhnya sebentar lalu meletakkan laporan yang baru saja selesai ia buat di atas meja kubikelnya. Tumpukan berkas lain ikut berserakan di sampingnya, seolah menunggu giliran untuk dibereskan.

“Ahhh… guys, makan yuk!” serunya sambil berdiri.

Maya dan Karin yang duduk tak jauh darinya langsung mengangguk setuju. Bertiga mereka berjalan menuju kantin. Namun sebelum sampai, Maya menepuk bahu Shavira.

“Vir, Karin, gue ke toilet dulu ya. Kalian duluan aja,” katanya.

“Yaudah, kita tunggu di kantin,” balas Shavira.

Karin dan Shavira masuk ke kantin yang sudah mulai ramai. Suara sendok beradu dengan piring, aroma tumis kangkung dan ayam goreng bercampur jadi satu, bikin perut semakin keroncongan. Karin sudah lebih dulu mengambil nampan dan memilih lauk, lalu menerima wadah makan stainless dari pelayan kantin.

“Vir,” panggil Karin tiba-tiba sambil menyendok nasi.

Shavira menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Hmm?”

“Menurut lo… Bima orangnya gimana?” tanya Karin dengan nada hati-hati.

“Hm, baik sih. Kenapa emangnya? Tumben nanya begitu.”

Karin diam. Tapi senyum-senyum kecil di wajahnya sudah cukup jadi jawaban.

Shavira yang paham hanya menggeleng pelan sambil mengambil lauknya. Mereka berdua menuju meja kosong di sudut ruangan. Baru saja duduk, Karin menatap Shavira dengan raut ragu-ragu.

“Vir…”

Shavira melirik. “Apa?”

“Gue… kayaknya suka sama Bima.”

“Uhuk!” Shavira hampir keselek tulang ayam. Matanya melebar. “Serius lo?!”

Karin buru-buru mengangguk. “Iya, tapi… sttt. Jangan bilang siapa-siapa ya, termasuk Maya.”

Shavira menatap temannya itu lekat-lekat, lalu tersenyum tipis. “Santai aja, gue gak bakal nyebar-nyebar. Buat apa juga.”

Tak lama kemudian, Maya datang sambil membawa nampan penuh makanan. Ia menarik kursi di sebelah Shavira.

“Sorry lama. Ada antrian,” katanya.

“Gapapa, kita juga baru mulai,” jawab Shavira.

Karin mendengkus, “Lo di toilet ngapain sih, May? Lama banget.”

“Ck, ya pipis lah. Masa kerja rodi?” Maya manyun sambil langsung menyuap sop ayam ke mulutnya.

Shavira hanya menggeleng kecil melihat ulah dua temannya yang selalu ribut-ribut kecil.

Belum sempat suasana kembali tenang, meja mereka tiba-tiba diketuk dari samping. “Hai, boleh gabung gak?”

Mereka menoleh. Anjani berdiri sambil tersenyum, dan di belakangnya ada Bima.

Karin refleks berseri-seri. “Boleh banget!” serunya, bahkan ia sudah menarik kursi kosong untuk Bima. Namun lelaki itu malah duduk di samping Maya, sementara Anjani memilih kursi di sebelahnya.

Karin yang tadinya semangat mendadak kaku, tapi berusaha menutupi rasa kecewanya. Shavira cepat tanggap, ia membuka obrolan agar suasana tidak canggung.

“Jani, gimana rasanya kerja di sini? Betah gak?”

Anjani tersenyum tipis. “So far sih enak, Vir. Walaupun… ya ada kesalnya dikit sama Pak Saiful.”

Maya langsung menimpali, “Ah, itu mah gak usah disebut lagi. Justru aneh kalau ada karyawan yang gak kesel sama tuh orang.”

“Hati-hati, May. Ntar kualat lo,” celetuk Shavira sambil menahan tawa.

Maya hanya mengedikkan bahu, pura-pura cuek.

Anjani yang baru tiga hari kerja hanya bisa ikut tertawa kecil. Dalam hati, ia berharap bisa bertahan menghadapi Pak Saiful, yang konon katanya sudah dapat gelar tidak resmi dari karyawan lama: blasteran Abu Jahal.

---🍃🍂

Angin berhembus pelan di rooftop kantor. Shavira menghirup dalam-dalam aroma pahit americano yang masih mengepul dari gelas kertas di tangannya. Ia duduk di kursi panjang tepat di bawah pohon yang tumbuh sendirian di sudut rooftop—pohon kecil yang daunnya bergetar tiap kali angin menerpa.

Ponselnya bergetar lagi. Ia melirik sekilas: beberapa pesan masuk dari Dinda, bibinya, juga notifikasi pekerjaan. Napasnya keluar berat. Dengan cepat ia masukkan ponsel itu ke saku rok hitam panjangnya.

“Ahh… hari ini gue ngapain ya?” gumamnya sambil menatap langit biru yang mulai pudar.

“Kenapa kamu selalu ingin melakukan sesuatu? Gak capek apa?”

Shavira tidak kaget lagi. Suara berat itu sudah familiar. Ia menoleh ke samping. Seperti biasa, Sam sudah ada di sana—muncul tanpa suara, dengan wajah datar yang entah kenapa selalu bikin dadanya berdebar.

“Terus lo maunya gue gimana?” Shavira menatapnya tajam. “Gue harus ngurung diri di rumah, nangis tiap hari, meratapi nasib gue yang bakal mati dua bulan lagi? Eh—salah, satu bulan lebih maksudnya.”

Sam menahan napas sebentar. “Aku rasa begitu. Lebih baik kamu diam di rumah, perbanyak amal.”

“Hahh… enggak! Gue pengen bahagiain diri gue selagi masih bisa. Gue gak bakal nyia-nyiain waktu yang tinggal sedikit ini.” Shavira lalu mencondongkan tubuh, menatap lekat lelaki di sampingnya. “Dan lo—hari ini temenin gue.”

Sam mengernyit, suaranya berat. “Ngapain?”

“Nonton,” bisik Shavira sambil tersenyum, menampilkan lesung pipi manisnya.

Sam terdiam. Sejenak pandangannya luruh pada senyum itu, seperti lupa siapa dirinya. Lalu ia cepat-cepat menegakkan bahu. “Ehm… saya gak ada waktu!”

Shavira mendengus, bibir atasnya terangkat sebelah. “Dih, gaya lo! Padahal tiap hari lo ngikutin gue kayak bayangan.”

“Itu karena—”

“Shhh!” Shavira menempelkan telunjuk di bibir Sam. “Diam. Ngomong terus kayak cewek. Cerewet!” Ia berbisik tegas, “Pokoknya hari ini lo ikut apa kata gue. Kalau enggak, jangan pernah coba masuk ke rumah gue lagi. dan, Sem… bakal gue usir dari rumah!”

Nada suaranya begitu serius sampai Sam mendadak bungkam.

Shavira menengok jam di pergelangan tangannya. “Udah, gue balik kerja dulu. Awas kalau lo lupa janji gue!”

Ia bangkit, melangkah cepat menuju pintu rooftop. Sebelum masuk, suara lantangnya kembali menggema. “Sam! Jangan lupa!”

Pintu tertutup, meninggalkan keheningan.

Sam masih berdiri di tempatnya, menatap pintu yang baru saja dilalui Shavira. Wajahnya menegang, tapi bibirnya bergetar tipis. “Aku ini malaikat maut,” bisiknya lirih, “tapi di depan gadis itu… rasanya aku gak punya harga diri sama sekali.”

Tangannya merogoh saku celana. Keluar sebuah liontin putih berbentuk hati. Saat dibuka, tampak batu ruby merah yang berkilau cantik di dalamnya.

Untuk pertama kalinya, wajah dingin itu melunak. Senyum—senyum yang bukan sekadar formal, tapi benar-benar bahagia—muncul di bibir Sam.

 

Jarum jam di layar komputer sudah menunjuk pukul empat sore. Bunyi keyboard masih terdengar dari meja Shavira, jari-jemarinya menari cepat seolah berpacu dengan waktu. Satu demi satu karyawan mulai membereskan barang-barangnya, kantor pun perlahan kosong.

Shavira akhirnya menutup layar, mengambil slim bag hitamnya, lalu ikut keluar. Begitu sampai di halaman kantor, kepalanya langsung celingak-celinguk. Alisnya berkerut.

“Ah, kemana sih orang itu?” gumamnya sambil menghentak-hentakkan kaki di atas semen.

Tangannya otomatis merogoh ponsel dari tas. Beberapa detik menatap layar kosong, ia mendengus. “Bodoh banget. Dia kan gak punya HP.”

Kesal, Shavira mendecak. “Ck! Ya udah lah. Gue pergi sendiri aja!”

Langkahnya terdengar berdentum, setiap hentakan sepatu menunjukkan kekesalan yang menumpuk. Sesampainya di halte, wajahnya kusut. Ditambah lagi semua kursi penuh, membuatnya harus berdiri sambil tetap mengedarkan pandangan, mencari sosok lelaki yang sama sekali tak menampakkan batang hidung.

Hingga bus tujuan mereka datang. Shavira segera naik, bergegas duduk di kursi belakang dekat jendela. Belum sempat menyandarkan kepala, seorang ibu hamil berdiri di depannya.

“Dek, boleh tukeran tempat? Lagi ngidam banget pengen duduk di samping jendela,” pinta ibu itu sambil mengelus perutnya.

Mau tak mau, Shavira mengalah. Ia berdiri, memberi senyum kaku. “Iya, Bu. Silakan.”

Ia mencari kursi lain, dan akhirnya menemukan satu kosong. Namun baru saja hendak duduk—

Grep!

“Hehe, sorry. Gue duluan ya, Mbak,” ucap seorang perempuan berambut pendek yang tiba-tiba menyerobot tanpa rasa bersalah.

Shavira mendengus, wajahnya memerah. Mulutnya sudah siap melontarkan sumpah serapah, tapi ditahannya. Hhh… sabar, Vir. Sabar. Bentar lagi lo mati. Anggap aja pahala sabar buat lo, batinnya.

Bus tiba-tiba mengerem keras. Screettt!

“Aaa!” tubuh Shavira hampir terhuyung jatuh, tapi seseorang menahannya dari belakang.

Ia membuka mata, mendongak. “Sam?”

Lelaki itu menatapnya singkat, lalu melepaskan pelan. Namun tangannya masih menggenggam jemari Shavira erat-erat.

“Ngapain lo?” tanya Shavira, wajahnya bingung.

Sam tak menjawab. Pandangannya lurus ke jendela, wajahnya datar.

“Hah… serius deh. Lo bikin emosi gue aja.” Shavira berusaha melepaskan genggaman itu, tapi percuma. Cengkeraman Sam terlalu kuat.

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!