NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terbukanya Meridian Ke-empat!

Langkah-langkah Xu Hao dan He Lianxue terdengar lirih di bawah naungan hutan pinus. Tanah yang mereka injak dilapisi dedaunan kering yang rapuh, menimbulkan suara halus setiap kali kaki mereka menekan. Udara malam membungkus tubuh dengan kesejukan yang meresap hingga ke tulang, namun ada ketenangan yang menyertai setiap tarikan napas. Bulan separuh menggantung di langit, cahayanya menembus celah-celah dahan, jatuh bagaikan sutra pucat yang menimpa tanah.

Jalan setapak yang mereka lalui hanya sepanjang seratus langkah dari tempat berlatih, tetapi rasanya seperti perjalanan panjang yang menelan seluruh waktu. Setiap langkah membawa pulang rasa letih, keringat, dan pencapaian yang dikumpulkan selama sebulan penuh. Hutan di sekitar begitu sunyi, hanya sesekali terdengar desir angin yang membuat dedaunan berguncang lembut.

Rumah kayu sederhana di ujung jalan sudah terlihat dari balik gelap pohon. Sebuah lentera minyak tergantung di beranda, cahayanya bergetar tertiup angin, memantulkan bayang-bayang panjang di papan lantai. Cahaya itu membuat rumah tampak seperti titik kehidupan di tengah dunia malam yang luas dan dingin.

Di depan beranda, Cuyo berdiri bersandar pada tongkat kayu putih yang diukir motif awan dan petir. Pakaian birunya tergerai tenang, ujungnya bergoyang perlahan saat angin lewat. Rambut hitam yang diikat tinggi memantulkan sedikit cahaya bulan, memberi kesan seperti helaian sutra basah di malam berkabut. Tatapannya tertuju pada Xu Hao. Ada kilasan kepuasan yang tersembunyi di sudut matanya, tipis seperti cahaya bintang di langit yang hampir gelap sepenuhnya.

"Bagus, Hao’er." Suaranya dalam, mengalun pelan, tetapi membawa bobot yang sulit diabaikan. "Pelatihanmu sebulan ini telah membuahkan hasil. Gerak tubuhmu mulai selaras dengan napas. Qi yang kau alirkan tidak lagi goyah seperti awalnya."

Xu Hao menunduk, merasakan denyut bangga di dalam dada. Ingatannya melayang pada minggu-minggu pertama, ketika setiap latihan terasa seperti memaksa tubuh melawan sungai yang mengalir kencang ke arah berlawanan. Setiap napas dulu terasa berat, setiap gerakan selalu diikuti rasa nyeri. Kini, meski tubuhnya masih letih, ia dapat merasakan aliran Qi yang stabil di tiga meridian yang telah terbuka berkat batu Qilin.

Cuyo mengangkat tangan. Dari dalam lengan jubahnya, ia mengeluarkan sebuah botol giok putih. Permukaan giok itu pucat berkilau, seakan menyimpan cahaya bulan di dalamnya. Saat tutupnya dibuka perlahan, aroma harum yang pekat namun menenangkan segera menyusup ke udara malam. Wangi itu bukan sekadar bau obat, melainkan seperti napas hutan di musim semi yang bercampur dengan kelembutan bunga liar.

"Ini Pil Qi Murni," ucapnya, suaranya terdengar jelas di tengah keheningan. "Tidak sekuat batu Qilin yang pernah kau gunakan, tetapi efeknya lebih halus dan berkesinambungan. Batu Qilin telah membuka jalan bagi aliran Qi-mu. Pil ini akan memperluas jalur itu, menebalkan dantianmu."

Xu Hao menerima botol giok itu dengan kedua tangan. Permukaannya dingin, seolah telah menyerap udara malam. Ia membuka tutupnya perlahan. Di dalamnya terbaring sebuah pil bulat seukuran biji kelengkeng, berwarna putih susu dengan semburat emas yang samar-samar memancarkan cahaya. Cahaya itu seperti denyut jantung, menarik Qi di sekitarnya untuk mendekat.

"Telanlah."

Tanpa ragu, Xu Hao memasukkan pil itu ke mulutnya. Begitu menyentuh lidah, rasa manis dan hangat segera mengalir, bukan manis biasa, melainkan manis yang membawa kesejukan pada hati dan kejernihan pada pikiran. Pil itu meleleh tanpa perlu dikunyah, mengalir turun ke tenggorokan dan menuju dantian.

Sesaat kemudian, Qi dalam tubuhnya bergetar. Aliran yang sudah ia kenal sejak batu Qilin kini berubah menjadi lebih kuat. Bukan seperti ombak besar yang mengguncang, melainkan seperti sungai musim semi yang mengalir deras, menyelimuti segala yang dilaluinya dengan kelembutan. Meridian yang telah terbuka terasa melebar, dan ada dorongan lembut yang perlahan menembus jalur-jalur baru yang sebelumnya tertutup rapat.

Xu Hao duduk bersila di beranda, mengikuti tatapan Cuyo yang mengawasinya. Napasnya teratur, tubuhnya terasa ringan namun kokoh. Dari balik kelopak matanya yang terpejam, ia melihat aliran Qi sebagai cahaya perak yang mengalir di tubuhnya, menyusuri lorong-lorong sempit yang mulai terbuka. Setiap denyut napas membuat cahaya itu lebih terang, setiap detak jantung memperdalam aliran.

He Lianxue berdiri di sisi beranda, tidak ikut berbicara. Cahaya lentera menyorot setengah wajahnya, meninggalkan separuh lainnya tenggelam dalam bayangan. Matanya yang berwarna abu-biru memantulkan kilau samar dari cahaya bulan, seperti permukaan danau yang disapu angin malam. Ia memperhatikan Xu Hao dengan tatapan yang sulit diartikan, ada rasa ingin tahu, ada juga secercah kekhawatiran yang ia sembunyikan.

Sejak awal ia tahu bahwa jalur kultivasi bukanlah jalan yang bisa dilalui hanya dengan tekad. Banyak yang gagal, banyak yang terjebak di tahap awal, tak mampu melangkah lebih jauh. Tetapi bocah ini, yang datang dari desa miskin dan tidak memiliki bakat bawaan, telah menunjukkan perubahan yang terlalu cepat untuk diabaikan.

Hatinya berbisik bahwa ada sesuatu di dalam Xu Hao yang tidak dimiliki orang lain, sesuatu yang mungkin akan membawanya melangkah lebih jauh dari siapa pun di dunia. Namun bersamaan dengan itu, ia juga menyadari bahwa semakin tinggi seseorang mendaki, semakin curam jurang di bawahnya.

Angin malam bertiup lembut, membawa aroma pinus dan tanah basah. Lentera di beranda bergoyang, cahayanya menari di wajah Xu Hao yang diliputi ketenangan. Di kejauhan, hutan tetap sunyi, hanya suara jangkrik yang sesekali memecah keheningan.

Cuyo memandang lama ke arah Xu Hao. Dalam hati ia tahu bahwa bocah ini telah melangkah lebih jauh dari yang ia bayangkan sebulan lalu. Dalam kesunyian malam, ia membiarkan pemandangan itu mengalir tanpa gangguan, seolah seluruh dunia hanya tinggal rumah kayu, cahaya lentera, hutan pinus, dan aliran Qi yang terus berdenyut di dalam tubuh seorang pemuda.

Saat Xu Hao memejamkan mata, dunia di luar mulai memudar. Cahaya lentera di beranda meredup dari ingatan, suara malam yang tadi jelas kini hanya tinggal gema jauh di balik kabut kesadaran. Suara jangkrik di hutan mengecil, desir angin yang membelai pucuk pinus berubah menjadi bisikan samar yang tenggelam di lautan sunyi.

Kesadarannya meluncur turun, menembus lapisan daging dan tulang, memasuki ranah batin yang tidak dapat dijangkau oleh mata manusia biasa. Ia seakan melewati gerbang tak kasatmata, melangkah masuk ke dunia hening yang hanya dimiliki oleh para kultivator.

Di hadapannya terhampar lautan Qi. Airnya bukan air biasa, melainkan cahaya hidup yang terus bergerak. Gelombang putih perak bergulung lembut, memantulkan semburat emas yang seperti meminjam sinar bulan dan mentari sekaligus. Setiap riak mengandung kehangatan yang mengalir dari pusat dantian menuju seluruh penjuru tubuh.

Dantian itu sendiri tampak seperti danau bundar yang mengapung di ruang tanpa batas. Dindingnya terbuat dari cahaya lembut, bergetar halus setiap kali Xu Hao menarik napas. Di dasarnya, pusaran emas berputar perlahan, menyerap setiap tetes Qi yang datang dari segala arah.

Ia mengarahkan pandangan batinnya pada jalur-jalur Qi yang memancar dari danau itu. Tiga jalur utama telah lama terbuka berkat bantuan batu Qilin. Masing-masing bersinar tenang, seperti tiga sungai yang jernih mengalir di tengah padang hijau. Namun kini, di sisi yang belum pernah ia sentuh, muncul sesuatu yang berbeda.

Dari tepi danau Qi, cahaya emas mulai memadat, membentuk arus baru. Jalur itu tampak sempit, tertutup rapat oleh kabut gelap pekat. Kabut itu dingin, berat, dan kaku, seperti batu besar yang menahan aliran sungai. Namun dorongan Qi dari Pil Qi Murni datang bagaikan mata air tak pernah kering. Arus hangat itu menyusup, meresap ke celah-celah penghalang, mengikisnya sedikit demi sedikit.

Rasa nyeri mulai merambat dari titik tersebut, bukan nyeri tajam yang menusuk, melainkan nyeri dalam yang padat dan berat, seperti otot yang dipaksa meregang setelah lama terikat. Xu Hao memusatkan seluruh pikirannya, membiarkan aliran Qi itu terus menghantam kabut gelap.

Suara dalam hatinya bergema: Buka...

Arus hangat menjadi deras, pusaran emas di dantian berputar semakin cepat, mengirimkan gelombang Qi ke seluruh tubuh. Kabut gelap bergetar, retakan kecil mulai muncul. Retakan itu memancarkan cahaya putih yang menusuk, dan dengan satu hentakan besar, penghalang itu pecah.

Seketika, aliran perak yang bercahaya deras masuk ke danau Qi. Jalur keempat terbuka sepenuhnya.

Tubuh Xu Hao bergetar. Sensasi hangat mengalir dari ujung jari kaki hingga puncak kepala, mengusir setiap sisa rasa lelah. Dadanya terasa lapang, napasnya seakan bisa mencapai langit. Ia merasa seperti berada di ruang sempit yang tiba-tiba dibukakan pintu lebar menuju dunia penuh udara segar.

Namun di kejauhan, di balik kabut yang lebih tebal, ia masih dapat merasakan keberadaan jalur-jalur lain yang tertutup rapat. Beberapa berdenyut pelan, seperti menunggu giliran untuk dibebaskan. Ia tahu perjalanan menuju sana akan jauh lebih berat, memerlukan waktu, tekad, dan pengorbanan yang tak sedikit.

Qi dari Pil Qi Murni terus mengalir, tidak terburu-buru namun tak pernah berhenti. Setiap putaran napasnya membawa arus itu berkeliling tubuh, membersihkan kotoran halus yang menempel di meridian. Pori-pori di permukaan kulitnya terasa terbuka, membiarkan energi segar masuk seperti embun menyusup ke tanah kering.

Entah berapa lama ia berada dalam keadaan itu. Mungkin satu jam, mungkin semalam penuh. Saat kesadarannya kembali mengapung ke permukaan, suara hutan kembali jelas di telinganya. Udara malam terasa jernih, seakan setiap tarikan napas adalah tarikan hidup baru.

Xu Hao membuka mata. Cahaya lentera di beranda masih berayun ditiup angin malam. Aroma pinus mengalir lembut bersama hawa dingin yang menyentuh kulit. Namun di dalam tubuhnya, ia merasakan kekuatan baru yang berdenyut, jalur keempat yang terbuka, dan lautan Qi yang kini memiliki arus tambahan yang tidak akan pernah surut.

Ia menggenggam tinjunya perlahan. Ini hanyalah langkah pertama, namun langkah pertama yang akan mengubah takdirnya selamanya.

Udara malam di puncak gunung terasa lembut namun mengandung kesejukan yang menyusup ke tulang. Cahaya bulan perak menimpa daun-daun pohon cemara, memantulkan kilau pucat yang bergetar diterpa angin. Di kejauhan, suara gemericik sungai langit terdengar seperti lantunan guqin yang dimainkan di balik tirai kabut.

Xu Hao membuka mata perlahan. Pandangannya masih sedikit berkabut, seolah kesadarannya baru saja kembali dari kedalaman meditasi panjang. Tubuhnya terasa ringan, namun di dalamnya mengalir kehangatan yang terus bergerak tanpa henti, seperti sungai Qi yang baru saja menemukan jalannya sendiri.

Cuyo berdiri di depannya. Jubah birunya berkibar tipis tertiup angin malam, dan cahaya bulan membuat wajahnya tampak lebih tegas. Sorot matanya tajam namun hangat, seolah mampu menembus tubuh muridnya dan melihat langsung aliran Qi yang berputar di dalamnya.

“Bagaimana perasaanmu, Hao’er?” suara Cuyo tenang, namun mengandung getaran halus yang membuat Xu Hao secara naluriah menegakkan tubuhnya.

Xu Hao menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala sedikit. “Ini hebat, Paman. Aku berhasil membuka meridian keempat.”

Senyum tipis muncul di wajah Cuyo. “Ini langkah yang bagus, Hao’er. Jadi, besok kau istirahat saja dulu. Kau telah berlatih sebulan penuh tanpa henti. Untuk seorang pemula, tidak baik terlalu memaksakan diri. Tubuh dan Qi harus tumbuh seimbang. Jika salah satunya terbebani, pondasi akan retak, dan itu akan menjadi masalah seumur hidup.”

Xu Hao mengangguk patuh. “Baiklah, Paman.”

Namun sebelum Xu Hao sempat merasa bangga, suara Lianxue terdengar dari samping. Ia berdiri bersedekap, mata phoenix abu-birunya memandang tajam namun menyimpan kelembutan. “Jangan terlalu senang dulu, Xu Hao. Jalanmu masih panjang. Membuka meridian keempat hanyalah langkah awal. Masih ada delapan meridian utama lainnya yang harus dibuka sebelum pondasi terbentuk dengan sempurna.”

Xu Hao menatapnya sambil tersenyum tipis. “Iya, Kakak. Aku mengerti.”

Tatapan Lianxue melunak, bibirnya membentuk senyum samar. Angin malam mengibaskan ujung rambut hitamnya, membuat bayangannya di tanah tampak seperti tarian air.

Cuyo lalu menatap keduanya, terutama Lianxue. “Paman akan kembali ke klan dulu. Ini sudah larut malam.” Suaranya tidak meninggi, namun mengandung nada perintah yang tak bisa dibantah.

Xu Hao menjawab pelan, “Baiklah, Paman.”

Sebelum beranjak, Cuyo menatap putrinya. “Besok, kembalilah ke klan sebentar. Ibumu memanggilmu.”

Lianxue sedikit terkejut. “Tapi, Ayah... Bagaimana dengan Xu Hao?”

Xu Hao tersenyum tipis. “Aku di sini saja, Kakak. Tidak perlu mengkhawatirkan aku.”

Lianxue memandangnya sesaat, lalu menghela napas pelan. “Baiklah, Ayah. Besok pagi aku akan pulang.”

Cuyo mengangguk singkat, lalu mengangkat tangan kirinya. Dari dalam cincin penyimpanan, sebuah pedang panjang dengan bilah tipis dan kilau perak muncul, melayang perlahan di udara. Ukiran awan dan petir berkelok di permukaannya, memancarkan cahaya redup seperti kilatan jauh di balik awan badai.

Dengan satu gerakan ringan, Cuyo melangkah ke atas pedang. Bilah itu menahan tubuhnya dengan mantap. Angin di sekitarnya berputar, menyapu dedaunan di tanah dan membuatnya berputar seperti hujan daun musim gugur. Dalam sekejap, tubuh Cuyo melesat ke langit malam, meninggalkan jejak kilatan biru samar yang segera menghilang di balik awan tipis.

Xu Hao dan Lianxue berdiri memandangi langit sebentar. Hening. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang mengisi kesunyian. Setelah itu, Lianxue menoleh ke arah Xu Hao. “Ayo masuk. Malam ini udara terlalu dingin.”

Mereka melangkah masuk ke rumah kayu sederhana itu. Pintu bergeser dengan bunyi lirih, dan aroma kayu tua bercampur sedikit wangi teh memenuhi ruangan. Xu Hao duduk di dekat tungku kecil yang masih menyala redup, sementara Lianxue menutup pintu rapat-rapat agar angin malam tidak masuk.

Di luar, bulan terus memancarkan cahaya peraknya, menyinari atap rumah mereka yang sederhana. Malam itu, langit Tianhe tampak lebih luas dari biasanya, seakan menyimpan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terus berjalan di jalan panjang kultivasi.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!