NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:806
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Gosip

Bel berbunyi nyaring, menandakan dimulainya jam pelajaran terakhir. Para siswa mulai bergegas masuk ke kelas masing-masing.

Di tengah koridor yang mulai sepi, Valeria menghampiri Kian. "Terima kasih, Kian," katanya pelan.

...Hanya ilustrasi gambar....

Kian tersenyum lembut. "Sama-sama," jawabnya.

Revan dan Damian melihat interaksi itu dari jauh, saling bertukar pandang penuh tanya. Mereka bertanya-tanya, ada apa sebenarnya antara Kian dan Valeria.

Di sisi lain, Keira dan Naila mendekat. "Ayo, Val. Kita ke kelas," ajak Keira.

Valeria terdiam, keraguan terlihat di matanya. Ia takut untuk masuk dan kembali menghadapi tatapan serta bisik-bisik yang mungkin masih ada.

Melihat keraguannya, Damian, Keira, dan Naila langsung mendekat. "Nggak perlu takut, Val," kata Damian lembut. "Ada kita di sini. Kita bakal temenin lo masuk."

Valeria mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Setelah itu,Valeria, Keira dan Naila berjalan di bersama di depan menuju kelas, sementara Damian mengikuti di belakang mereka, memberikan perlindungan.

Revan dan Aluna melihat mereka pergi. Revan menoleh pada Kian. "Ayo, kita masuk kelas bareng," ajaknya. Mereka pun melangkah bersama-sama, menunjukkan persatuan mereka yang baru.

Dengan mereka yang kini bersatu dan tahu kebenarannya, mereka harus menunggu hingga jam pelajaran selesai untuk melancarkan rencana mereka.

Sepanjang jalan menuju kelas, bisik-bisik dan tatapan mata masih terasa. Namun, kali ini Valeria tidak sendirian. Setiap kali ada yang berbisik, Damian akan menatap mereka dengan tajam, seolah memberikan peringatan.

Sesampainya di depan kelas, bisik-bisik itu kembali terdengar, samar-samar namun menusuk. Melihat keraguan Valeria, Keira dan Naila segera menenangkan.

"Jangan dengerin mereka, Val," kata Keira. "Anggap aja angin lalu."

Mereka berdua mengantar Valeria ke bangkunya, diikuti oleh Damian. Setelah Valeria duduk, Keira dan Naila kembali ke bangku mereka masing-masing. Damian mengambil tempat di samping Valeria, duduk dengan santai namun dengan aura protektif yang kuat.

Tepat setelah mereka semua duduk, guru pun masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Selama satu jam ke depan, mereka semua dipaksa duduk, menunggu hingga bel terakhir berbunyi untuk melanjutkan rencana mereka.

Di dalam kelas, Revan, Kian, dan Aluna sampai. Aluna segera berjalan menuju bangkunya, sementara Revan dan Kian juga melangkah ke arah bangku mereka. Mereka melihat Liam sudah duduk di bangku nya, menunggu. Revan duduk di depan Liam, sementara Kian duduk di samping nya

Liam menatap mereka dengan cemas. "Gimana? Kalian sudah menemukan Valeria? Apa masalahnya?" tanya Liam dengan suara rendah.

Revan dan Kian saling bertukar pandang. Mereka tahu mereka hanya punya sedikit waktu sebelum guru masuk.

"Sudah," jawab Kian, suaranya pelan. "Kami menemukannya. Dia bersembunyi di gudang."

"Masalahnya lebih rumit dari yang kita kira, Li," tambah Revan. "Ini bukan salah paham biasa. Ada orang lain di balik semua ini."

Liam mengerutkan kening. "Siapa?"

"Fara dan Risa," jawab Kian, singkat. "Mereka yang merencanakan semua ini."

Revan menjelaskan dengan cepat, "Fara yang menyuruh Risa menyebarkan gosip. Aluna juga jadi korban, Val sempat mengira dia pelakunya sampai mendorongnya tadi."

"Valeria sudah tahu sekarang," kata Kian. "Kami sudah meluruskan semuanya. Dia sekarang ada di kelas, ditemani Damian, Keira, dan Naila."

Liam terdiam, mencerna informasi yang mengejutkan itu.

Bel sekolah berbunyi nyaring, mengakhiri jam pelajaran terakhir. Suara riuh para siswa yang berhamburan keluar dari kelas masing-masing segera memenuhi koridor. Para guru pun keluar dari kelas, mengakhiri tugas mengajar mereka.

Di kelas Valeria, tatapan yang mengganjal perlahan menghilang saat semua orang fokus membereskan tas. Valeria, Keira, Naila, dan Damian keluar dari kelas mereka, berjalan menuju koridor utama.

Di sisi lain, Revan, Kian, Liam dan Aluna juga keluar dari kelas mereka. Mereka langsung mencari Valeria dan yang lain. Pandangan mereka bertemu di tengah koridor yang padat. Kian mengangguk ke arah Revan, mengisyaratkan bahwa semuanya sudah dijelaskan.

Mereka berdelapan berkumpul. Damian, Keira dan Naila berdiri di samping Valeria, sementara Revan, Kian, Liam dan Aluna berada di depan mereka.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

"Jadi, kita udah tahu siapa pelakunya," kata Revan, suaranya pelan namun tegas.

"Iya, tapi Risa nggak masuk sekolah," timpal Kian.

"Kita nggak bisa biarin ini gitu aja," ujar Damian, matanya penuh tekad.

"Kita harus buat rencana," kata Revan. "Kita temuin Risa dan Fara."

Damian mengepalkan tangannya. "Gue nggak bisa nunggu. Kita samperin aja Fara di rumah Aluna sekarang!" usulnya, matanya penuh amarah.

Namun, Aluna langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang jelas. Revan melihat itu dan segera menolak usul Damian. "Nggak, Dam. Itu terlalu berbahaya. Itu bisa membahayakan Aluna."

Kian, yang sedari tadi berpikir, mengangkat tangannya. "Tunggu. Kita nggak perlu main fisik. Gue rasa gue tahu siapa yang bisa bantu."

Semua mata tertuju padanya.

"Gue akan tanya ke Papa," lanjut Kian. "Ini ada hubungannya dengan salah satu klien Papa. Gue yakin dia akan tahu apa yang harus kita lakukan."

Valeria, yang sudah tenang, menatap Kian dengan penuh keyakinan. "Jadi, kita akan serahkan ke Papa lo?"

"Ya," jawab Kian. "Ini satu-satunya cara kita bisa ngalahin mereka tanpa perlu berhadapan langsung."

"Oke," kata Valeria. Ia kini tidak hanya merasa lega, tetapi juga penasaran. Ia menatap Kian dari samping dan bertanya-tanya dalam hati, Siapa Kian sebenarnya?

Revan melirik Aluna, matanya menunjukkan kekhawatiran. "Gue antar lo pulang," katanya. Aluna mengangguk pelan. Mereka semua mulai berjalan bersama menuju gerbang depan sekolah.

Selama perjalanan, suasana terasa lebih ringan. Bisik-bisik gosip masih ada, tetapi tidak lagi menusuk seperti sebelumnya. Mereka berjalan sebagai satu kesatuan.

Sesampainya di depan sekolah, mereka mulai berpencar. Damian, Kian, Liam, dan Revan berjalan menuju parkiran motor mereka. Tersisa Aluna, Valeria, Keira, dan Naila yang menunggu jemputan mereka.

Setelah percakapan singkat itu, Revan menghampiri Aluna dengan motornya.

"Gue duluan ya, Val," pamit Kian.

"Hati-hati, Ki," jawab Valeria.

Damian dan Liam pun ikut pamit. "Sampai ketemu besok," kata Damian.

Setelah Kian, Damian, dan Liam pergi meninggalkan sekolah dengan motor mereka, jemputan Valeria datang. Valeria menoleh pada Revan dan Aluna.

"Gue duluan ya, Van, Lun," pamitnya.

"Iya, Val. Hati-hati," jawab Revan.

"Makasih ya, Val," kata Aluna, dengan nada tulus.

Valeria tersenyum, lalu masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian, jemputan Naila datang.

"Valeria, hati-hati!" teriak Naila. "Revan, Aluna, kita duluan ya!"

"Iya, hati-hati!" balas Revan.

Setelah Valeria, Naila, dan Keira pergi, hanya tersisa Revan dan Aluna. Revan mengambil helm di motornya, lalu mengulurkannya kepada Aluna.

"Pakai ini," kata Revan.

Aluna menerima helm itu. "Makasih," jawabnya.

Revan memasang helmnya sendiri, lalu naik ke atas motornya. "Ayo, naik," ajaknya. "Gue antar lo pulang."

Aluna mengangguk, lalu naik ke boncengan motor Revan.

Di atas motor Revan, hanya ada keheningan. Suara deru mesin dan hembusan angin memecah kesunyian di antara mereka. Revan sesekali melirik Aluna dari kaca spion, melihat wajahnya yang masih terlihat sedih dan lelah. Revan tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya membiarkan Aluna memproses semua yang terjadi. Ia fokus pada jalanan, sesekali memastikan Aluna baik-baik saja melalui pantulan spion.

Sesampainya di rumah, Valeria langsung masuk ke dalam. Pintu ia tutup pelan di belakangnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok seorang wanita yang duduk di ruang tamu. Wanita itu sedang membaca majalah, yang menutupi seluruh wajahnya.

Valeria mengerutkan kening. "Ada tamu, kah?" gumamnya pada diri sendiri. Ia memberanikan diri. "Maaf, Tante, cari siapa ya?"

Wanita itu perlahan menurunkan majalah yang menutupi wajahnya. Seketika, mata Valeria membelalak kaget.

"Tante!" seru Valeria, tak percaya.

Wanita itu tersenyum lembut. "Valeria."

Valeria tersenyum dan mendekati tantenya. Ia memeluk wanita itu erat. "Tante Kiara! Kapan datang?" tanyanya, suaranya dipenuhi kebahagiaan.

"Tebak, Tante datang kapan?" kata Tante Kiara, tersenyum jahil setelah membalas pelukan Valeria.

Valeria melepas pelukannya dan menggelengkan kepala, tertawa kecil. "Nggak tahu, Tante! Dua hari lalu? Atau kemarin?" tanyanya, matanya berbinar. "Kok Tante nggak bilang-bilang mau datang?"

Kiara tersenyum lembut, mengusap pipi Valeria. "Kalau dikasih tahu, namanya bukan kejutan, dong." Tante Kiara menunjuk sofa di ruang tamu. "Ayo, duduk dulu. Tante ke sini karena ada urusan bisnis di Jakarta.

Sekalian lihat-lihat keponakan Tante yang cantik ini."

Valeria mengangguk. Saat duduk, ia menghela napas panjang, teringat kembali pada kejadian di sekolah tadi. Wajahnya kembali terlihat muram.

Kiara yang melihat perubahan ekspresi Valeria langsung mengerutkan kening. "Kenapa, Val? Ada masalah di sekolah?"

Valeria terdiam sejenak, menunduk, lalu menghela napas panjang. Ia mulai menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Suaranya pelan dan bergetar saat ia mengingat kembali rasa sakit yang ia rasakan.

"Awalnya ada gosip, Tante. Gosip itu menyebar cepat di grup sekolah. Gosip itu menjelek-jelekkan aku...." Valeria berhenti sejenak, air matanya mulai menggenang.

Ia melanjutkan ceritanya, menjelaskan bagaimana ia merasa bingung dan dikhianati saat melihat nama Aluna di pesan tersebut. Ia bercerita tentang keputusannya untuk lari dan bersembunyi di gudang, tangisan yang ia tahan, dan perasaannya yang hancur. Kemudian, ia menjelaskan bagaimana Kian dan yang lainnya menemukan dia, dan konfrontasi yang terjadi di koridor.

"Semua orang menatap kami, Tante. Aku sangat malu," bisik Valeria. "Aku mendorong Aluna dan meneriakinya."

Valeria melanjutkan, menceritakan bagaimana teman-temannya membela Aluna dan menjelaskan bahwa itu semua salah paham. Ia akhirnya mengungkapkan kebenaran yang mereka temukan: Risa adalah orang yang menyebarkan gosip itu, dan Fara adalah dalang di baliknya.

Tante Kiara mendengarkan dengan saksama, rahangnya mengeras. Alisnya berkerut saat ia mendengar nama Fara dan detail tentang gosip tersebut.

"Mereka menggunakan Risa untuk menyebarkan berita bohong itu, dan bahkan Fara sampai menginap di rumah Aluna untuk memastikan rencananya berhasil," kata Valeria, suaranya dipenuhi amarah.

Setelah Valeria selesai bercerita, keheningan menyelimuti ruangan. Tante Kiara memejamkan mata, terlihat berpikir keras, lalu menatap Valeria dengan tatapan tajam.

"Tante mengerti ceritanya," kata Tante Kiara dengan suara serius. "Tapi, ada satu hal yang belum kamu ceritakan pada Tante, Val."

"Apa, Tante?" tanya Valeria.

"Kenapa Fara melakukan ini?" tanya Tante Kiara. "Apa masalahnya denganmu?"

Valeria menunduk sejenak, lalu menjawab pelan. "Fara... dia tidak suka aku dekat dengan Revan dan Damian. Dia iri."

Tante Kiara mengangguk, kini semua potongan puzzle itu terpasang. Ia mengepalkan tangannya. "Valeria, ini bukan sekadar gosip di sekolah," kata Tante Kiara. "Ini adalah tindakan iri hati dan kekerasan."

Tante Kiara berdiri, air mukanya berubah penuh tekad. "Kamu dan teman-temanmu sudah sangat hebat karena menemukan kebenarannya. Sekarang, biarkan Tante yang menyelesaikan sisanya. Tante akan pastikan Fara dan Risa tidak akan pernah berbuat seperti ini lagi."

"Kamu tenang aja, Sayang," kata Tante Kiara, suaranya dipenuhi ketulusan. "Kamu nggak akan sendirian lagi. Ada Tante, yang akan menemani dan tinggal sama kamu dari sekarang dan seterusnya. Tante akan bantu mengatasi setiap masalah kamu."

Valeria merasakan kelegaan yang luar biasa. Air matanya kembali menetes, kali ini karena bahagia. Ia memeluk erat tantenya, dan mereka berpelukan.

Tante Kiara menepuk punggung Valeria dengan lembut. "Yaudah, sekarang kamu masuk kamar, ganti baju. Habis itu kita makan siang bareng. Setelahnya, kamu ada les, kan? Mama kamu udah kasih jadwalnya ke Tante, dan pas Tante lihat... padat banget, ya, jadwal kamu."

Valeria hanya tersenyum, menyembunyikan perasaannya. Tante Kiara mengerti, tetapi ia tidak bisa mengatakan apa-apa dan melawan keputusan kakak iparnya, Diandra.

"Yaudah, Val, kamu ke kamar ya," kata Tante Kiara. "Tante tunggu di ruang makan. Jadwal kamu hari ini ketemu Pak Bimo, kan?"

Ketika Valeria mendengar tantenya menyebut nama Pak Bimo, ia seketika berteriak. "Aduh!" Ia menepuk jidatnya.

"Ada apa?" tanya Tante Kiara, terkejut.

"Aku lupa ada tugas dari Pak Bimo," jawab Valeria.

"Tugas apa?" tanya Tante Kiara.

Valeria menghela napas, lalu menjelaskan. "Aku harus mencari referensi dari buku-buku di perpustakaan atau di internet. Dan temukan contoh kasus nyata di mana klausa seperti itu digunakan. Pelajari bagaimana hal itu terjadi dan bagaimana korbannya bisa lolos atau terperangkap."

Tante Kiara mengerutkan kening. "Maksudnya klausa Kuda Troya?"

Valeria mengangguk. "Iya."

Tante Kiara tersenyum. "Itu sih gampang. Nanti Tante bantuin kamu. Yang penting sekarang kamu ganti baju dulu. Setelah itu kita makan, baru kita kerjain bareng-bareng."

Valeria merasa lega, bebannya seolah terangkat.

"Masih ada waktu satu setengah jam sampai Pak Bimo datang," lanjut Tante Kiara. "Dia bilang tadi datangnya agak telat, ada urusan."

Setelah itu, Valeria berjalan ke kamarnya. Ia merasa sedikit lebih tenang, memikirkan kehadiran Tante Kiara yang kini akan menemaninya. Di ruang makan, Tante Kiara mulai menyiapkan makan siang, dibantu oleh Bi Sari. Suasana di rumah terasa hangat dan nyaman.

Di Rumah Aluna

Sementara itu, sesampainya Revan di rumah Aluna, ia melihat ke dalam pagar dan menyadari sesuatu. Fara tidak terlihat di mana pun. Revan melihat ke arah jendela dan teras, namun Fara tidak ada.

Aluna turun dari motor Revan. "Kenapa, Van?" tanyanya, melihat ekspresi bingung Revan.

"Fara..." Revan menunjuk ke dalam rumah. "Apa dia tidak ada di rumah?"

Aluna menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak tahu. "Gue nggak tahu, Van, tadi pagi pas gue siap-siap berangkat sekolah dia masih tidur," jawab Aluna. "Sekarang gue nggak tahu dia di mana. Mungkin dia keluar."

"Bisa jadi," gumam Revan. "Atau jangan-jangan, dia ketemuan sama Risa."

Revan kemudian menoleh ke arah Aluna, matanya menunjukkan keseriusan.

"Al, lo tahu di mana Fara dan Risa biasa nongkrong?" tanya Revan, suaranya pelan. "Mungkin kita bisa nemuin mereka di sana."

Aluna terdiam, mencoba mengingat. Ia menggelengkan kepalanya. "Gue nggak tahu pasti, Van. Gue nggak pernah diajak ke tempat nongkrong mereka."

"Mereka kan nggak pernah jalan bareng kita," kata Revan. "Tapi lo tahu tempat yang sering mereka omongin?"

Aluna berpikir lagi. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. "Ada satu tempat... mereka sering ngomongin kafe deket taman kota. Katanya tempatnya sepi dan bagus buat ngobrol."

Mata Revan berbinar. "Itu dia!" Ia meraih ponselnya. "Sekarang kita harus hubungin yang lain."

Revan meraih ponselnya dan mulai menghubungi Kian. Tak butuh waktu lama, panggilan itu tersambung.

"Ki, lo lagi di mana?" tanya Revan tanpa basa-basi.

"Lagi di jalan pulang. Kenapa?" jawab Kian.

"Lo sama Damian, kan?"

"Nggak, gue sendirian. Damian kayaknya udah duluan pulang. Kenapa, Van? Ada perkembangan?"

"Dengerin gue. Tadi Aluna bilang Fara sama Risa sering nongkrong di kafe deket taman kota. Kita samperin mereka sekarang," kata Revan, suaranya dipenuhi tekad.

"Serius? Oke, gue siap. Nanti gue juga mau tanya Papa soal masalah ini," jawab Kian. "Lo ke sana sekarang?"

"Gue ke rumah dulu, ganti baju, baru ke sana. Lo juga, siap-siap. Nanti gue telepon Damian biar kita ketemuan di sana," jelas Revan.

"Oke, kabarin gue," kata Kian, lalu menutup telepon.

Revan segera menghubungi Damian.

"Dam, lo udah di mana?" tanya Revan.

"Gue lagi di jalan pulang. Kenapa? Ada apa?" jawab Damian.

"Gue sama Aluna punya petunjuk. Mereka sering nongkrong di kafe deket taman kota. Kita ke sana sekarang!"

"Serius?! Akhirnya! Gue udah gatel pengen labrak mereka," kata Damian, suaranya bersemangat.

"Lo ke rumah dulu, ganti baju. Gue sama Kian juga," kata Revan. "Kita ketemu di kafe itu. Nanti gue kasih kabar kalau kita udah mau jalan."

"Oke! Gue tunggu kabar lo!" balas Damian, lalu menutup telepon.

Revan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia menoleh ke arah Aluna, wajahnya terlihat serius. "Al, gue pulang dulu. Lo hati-hati di sini ya, dan tetap di dalam rumah. Jangan kemana-mana atau keluar rumah kalau nggak ada yang penting, kalau butuh sesuatu lo bisa hubungi gue.

Aluna mengangguk, ia melihat kekhawatiran di mata Revan. "Iya, Van. Hati-hati juga ya."

Revan menyalakan motornya. Dengan helm yang sudah terpasang, ia melambaikan tangan kepada Aluna, lalu melaju pergi meninggalkan halaman rumah Aluna. Ia memutuskan untuk ke rumahnya dulu, ganti baju terlebih dahulu, lalu menemui Fara dan Risa.

Kian masih di perjalanan. Setelah menerima telepon dari Revan, ia berbelok cepat dan membawa motornya menuju rumah. Sesampainya di halaman, ia memarkir motornya dan bergegas masuk.

"Pak," sapa Kian pada kepala pelayan. "Papa di mana?"

Kepala pelayan itu tersenyum. "Tuan ada di ruang kerjanya, Den."

Kian mengerutkan kening. "Tumben. Kian kira Papa masih di perusahaan."

"Tuan bilang mau kerja dari rumah saja, Den. Katanya tidak terlalu sibuk di perusahaan," jawab kepala pelayan itu ramah.

Kian mengangguk. Tanpa membuang waktu, ia segera berjalan menuju ruang kerja ayahnya.

Di Ruang Kerja Ayah Kian

Kian mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Setelah mendapat izin, ia membuka pintu dan masuk. Ayahnya sedang duduk di balik meja besar, membaca dokumen dengan kacamata bertengger di hidungnya.

"Papa," sapa Kian.

Ayahnya mendongak, tersenyum saat melihat Kian. "Oh, Kian. Tumben langsung ke sini? Ada apa?"

Melihat ekspresi serius di wajah Kian, senyum ayahnya memudar. Ia melepas kacamatanya dan menaruh dokumen di samping. "Duduk, Ki. Ada apa?"

Kian menarik kursi dan duduk. Namun, sebelum ia memulai, kilas balik kejadian beberapa jam lalu berkelebat dalam benaknya.

Kian tidak mencari nama atau nomor ponsel. Dia tahu, cara paling efektif untuk menemukan pembuat akun anonim adalah melacak alamat IP yang digunakan saat pesan pertama kali dikirim. Dia menyelam lebih dalam, melewati firewall dan server yang rumit, mengikuti jejak digital yang samar.

Kian tersenyum tipis. Dia berhasil. Jejak itu membawanya ke sebuah alamat IP. Namun, saat dia mencoba melacaknya lebih dalam, dia menyadari sesuatu. Alamat IP itu hanyalah sebuah proxy server. Pengirimnya cerdik, menyamarkan identitas asli mereka. Ini bukan pekerjaan amatir, melainkan pekerjaan profesional.

Kian tidak menyerah. Dia melacak lagi, mencari sisa-sisa jejak yang mungkin tertinggal. Matanya terpaku pada detail kecil yang tersembunyi: metode pembayaran yang digunakan untuk menyewa layanan proxy tersebut. Dia berhasil menemukan nama perusahaan yang membayar layanan itu. Sebuah nama yang ia kenal.

PT Cahaya Sukses Mandiri.

Jantung Kian berdetak kencang. Ia mengenali nama itu. Itu adalah nama salah satu perusahaan klien ayahnya. Dan, lebih penting lagi, itu adalah nama perusahaan yang sering disebut-sebut oleh papanya dalam percakapan bisnisnya.

"Risa..." gumam Kian, matanya melebar. Dia punya bukti. Ini bukan hanya gosip biasa, ini adalah bagian dari skema yang jauh lebih besar. Risa bukan dalang utamanya, ia hanyalah alat.

Kian kembali ke masa sekarang, menatap ayahnya. "Pa, aku menemukan bukti."

Ayahnya mengerutkan kening. "Bukti apa?"

"Gosip yang menyebar di sekolah itu bukan cuma ulah iseng. Ini pekerjaan profesional," kata Kian. Ia menceritakan bagaimana ia melacak jejak digital pesan tersebut hingga menemukan perusahaan yang membayar untuk layanan proxy server itu. "Perusahaan itu namanya PT Cahaya Sukses Mandiri. Papa kenal, kan?"

Ekspresi ayahnya membeku. "Ya, Papa kenal."

"PT Cahaya Sukses Mandiri adalah perusahaan milik Tante Tiara. Kalau tidak salah, anaknya bernama Risa," kata ayahnya, suaranya dipenuhi nada serius. "Papa akan menemuinya dan bicara dengannya mengenai ini."

"Terima kasih, Pa," kata Kian.

"Sama-sama, Kian," jawab ayahnya. "Bagaimana kalau kita makan siang bareng?"

"Aku sudah janji sama teman-teman, Pa. Mungkin aku makan siang di luar," jawab Kian.

"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan, ya," kata ayahnya.

"Iya, Pa. Kalau begitu, Kian permisi," pamit Kian.

Ayahnya hanya mengangguk. Kian bergegas keluar dari ruangan dan langsung menuju kamarnya di lantai atas untuk mengganti pakaiannya.

Di Rumah Revan

Revan sudah siap dan selesai mengganti pakaiannya. Ketika turun ke lantai bawah, ia bertemu mamanya.

"Mau ke mana, Revan?" tanya mamanya.

"Mau keluar sebentar, Ma," jawab Revan.

Mamanya bertanya lagi, "Kamu tidak makan siang dulu?"

"Nanti, Ma. Revan makan di sana," jawab Revan, sambil memakai sepatunya.

Ia pun pamit

* Kalau begitu Revan pamit, Ma." kata Revan.

" Iya, kamu hati-hati jalannya. Jangan ngebut! " ucap Mamanya.

Revan tersenyum dan berjalan menuju tempat motornya terparkir.

Sebelum melaju, Revan mengambil ponselnya dan menelepon Damian. Panggilan itu tersambung setelah beberapa dering.

"Halo, Dam?"

"Van, kenapa? Lo udah mau jalan?" tanya Damian. Suaranya terdengar tidak sabar.

"Iya, gue udah di motor sekarang. Kian juga udah gue telepon, dia udah di rumahnya," jawab Revan. "Gue kasih tahu lagi, kita ketemuan di kafe deket taman kota, ya."

"Oke, siap! Gue lagi siap-siap juga, langsung ke sana," kata Damian bersemangat.

"Lo langsung ke sana aja, Dam. Nanti gue sama Kian kabarin lagi kalau udah mau sampai," kata Revan.

"Sip. Hati-hati di jalan, Van."

"Lo juga."

Revan menutup telepon. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku, menyalakan mesin motornya, dan melaju meninggalkan halaman rumahnya. Ia melajukan motornya menuju kafe yang disebutkan Aluna, berharap Fara dan Risa benar-benar ada di sana.

Di perjalanan, Revan melajukan motornya dengan cepat. Tiba-tiba, ponselnya berdering, menampilkan nama Kian. Revan segera menepikan motornya dan mengangkat panggilan itu.

"Van, gue udah di jalan," kata Kian di seberang telepon.

"Gue juga, Ki. Lo di mana sekarang?" tanya Revan.

"Gue baru keluar dari rumah. Tadi gue sempat ngobrol sama Papa," jawab Kian. "Papa gue bilang PT Cahaya Sukses Mandiri itu punya nyokapnya Risa, dan Papa gue bilang dia akan temui dan bicara sama nyokapnya."

"Oh, oke. Thanks, Ki," kata Revan. "Kita ketemu di sana. Lo hati-hati."

"Iya, lo juga," balas Kian. "Semoga kita nemuin mereka di sana dan mereka belum pergi. Nanti setelah kita sampai sana, langsung temui mereka dan kita kasih tahu kalau kita sudah tahu semua kebenarannya. Kalau lo sudah sampai sana, kabarin gue."

"Oke," jawab Revan. Ia menutup telepon, menyalakan kembali motornya, dan melaju lebih cepat, pikirannya kini hanya fokus pada rencana untuk menghadapi Fara dan Risa.

Misi Pengintaian di Kafe

Revan tiba di kafe yang dimaksud. Ia melihat Damian sudah berada di parkiran, menunggu. Revan menjalankan motornya ke samping motor Damian, lalu mereka berdua menunggu. Tidak lama kemudian, Kian tiba. Setelah memarkirkan motornya, mereka bertiga berjalan masuk ke dalam kafe.

Mereka melihat sekeliling, mencari keberadaan Fara dan Risa. Kian adalah yang pertama kali melihat mereka. Ia menyenggol lengan Revan, memberi isyarat.

"Itu mereka," bisik Kian.

Revan dan Damian mengikuti arah pandang Kian. Mereka melihat Fara dan Risa duduk di pojok, di balik sebuah rak buku, seolah sengaja mencari tempat tersembunyi.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Damian mengepalkan tangannya dan hendak berjalan menghampiri mereka. Namun, Kian menahannya.

"Tahan, Dam," bisik Kian. "Jangan langsung ke sana."

"Kenapa? Kita udah nemuin mereka, Ki," kata Damian, tidak sabar.

Kian menarik napas, mencoba menenangkan Damian.

"Kita nggak bisa langsung labrak mereka. Kita cari tempat duduk yang tidak jauh dari mereka, tapi jangan sampai mereka ketahuan."

"Untuk apa?" tanya Revan.

"Untuk mendengar pembicaraan mereka," jawab Kian.

"Kalau kita langsung konfrontasi, mereka bisa mengelak dan berbohong. Tapi kalau kita punya rekaman atau tahu apa yang mereka bicarakan, itu bisa jadi bukti tambahan yang tidak bisa mereka sangkal."

Mereka bertiga mengangguk, menyetujui rencana Kian. Mereka pun mencari tempat duduk yang strategis, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk mendengar percakapan Fara dan Risa.

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!