Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_14 Basah Kuyup
Wang Lei_POV
Hanina menarik lenganku saat aku hendak menghajar pria tua bangka sialan disana. Kesabaranku hampir habis, sedikit lagi mungkin aku akan menghancurkan tubuhnya yang tinggal tulang itu, jika saja Hanina tak menahanku.
"Kau harus belajar sabar menghadapi orang tua, tidak semuanya harus di balas dengan otot," kata Hanina menenangkanku.
Aku menelan ludah, mengatur deru napas yang memburu karena amarah yang masih membara.
"Sabar katamu? Sabar itu hanya melemahkanku Hanina, dan aku tidak pernah melatih diriku untuk itu!"
Hanina terdiam sejenak, lalu menggeleng dengan mengulas senyum tipis.
"Kamu salah... Sabar itu bukan lemah. Justru hanya orang kuat yang sanggup menahan diri saat dunia memancing emosinya." ujarnya.
Aku mendecak dengan seringai miring.
"Wah hebat, siapa yang mengajarimu filosofi murahan seperti itu? Orang kuat adalah orang yang sabar? Omong kosong! Justru orang sabar itu orang yang lemah, mudah di tindas , tidak berdaya dan tidak bisa melawan!"
Hanina menggeleng lagi masih dengan senyuman yang diam diam membuat darahku berdesir meski masih dikuasi emosi.
"Sabar bukan berarti diam tanpa tindakan, tapi memilih untuk bertindak dengan cara yang benar, wang Lei. Dan tindakanmu tadi hanya akan merugikan kita. Bayangkan kamu menghajar kakek itu seperti yang kamu lakukan pada temanmu di restoran, kamu akan masuk berita pagi ini dan mungkin akan masuk penjara, kalau kamu dipenjara terus aku sama siapa di sini?"
Perkataannya menancap tepat di dadaku, lebih menusuk daripada pukulan mana pun yang pernah kuterima. Aku menoleh padanya, menatap mata Hanina yang berbinar penuh keyakinan. Senyum tipisnya tak goyah sedikit pun, seolah dia benar-benar percaya pada kata-katanya.
"Kalau aku di penjara... Kamu cari orang lain untuk menemanimu, bosku juga mau."ucapku tak serius, hanya ingin melihat reaksinya dan benar saja dia langsung menekuk muka.
"Bohong!" serunya, matanya menyipit seperti hampir menangis.
"Aku tidak mau orang lain! Aku tidak bisa mempercayai siapapun disini, hanya kamu." lanjutnya, tiba tiba suaranya jadi parau.
Aku menatapnya cukup lama, angin malam berhembus mengibarkan hijabnya, emosiku perlahan mereda digantikan debar aneh yang lagi lagi mengusiku. Sementara dia meremas kantong kertas ke dadanya lalu menunduk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan, hanya kata-katanya seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
Aku mengehela napas berat.
"Baiklah... Kamu belum dapat gaun yang kamu mau, beneran mau pulang?" tanyaku.
Hanina mendongak, menatapku dengan mata yang berkaca.
"Sudah larut malam, pulang saja, lagipula sudah banyak toko yang tutup."
"Baiklah, ayo"
•<•<•<•<• pearlysea•<•<•<••<
Motor ku melaju kencang membelah jalanan malam yang basah. Hujan turun tiba-tiba, deras dan di sertai petir. Tanganku mencengkeram setang erat-erat, berusaha melaju lebih cepat, bahkan menyalib paksa beberapa kendaraan pribadi dan pengangkut, sampai mereka membunyikan klakson.
Sesekali aku melirik ke kaca spion, melihat Hanina yang memeluk pinggangku erat, tubuhnya sedikit gemetar. Dia pasti kedinginan dan ketakutan.
Bertahanlah Hanina, tinggal sebentar lagi.
Tiba tiba aku kepikiran Hanina harus pakai apa jika bajunya basah kuyup begini?
20 Menit kemudian.
Motor akhirnya berhenti tepat di halaman rumah, hujan masih deras mengguyur. Hanina cepat-cepat turun dan berhenti di teras, memeluk kantong kertas yang ia sembunyikan di balik mantelnya yang basah. Tubuhnya bergetar dan mengigil, bibirnya sedikit kebiruan.
Aku melepas helm, lalu mendorong motor ke garasi yang tak jauh dari Hanina berdiri.
••<•<•< Hanina_POV •<•<•<••
Begitu wang Lei memarkirkan motornya, lekas dia mendekatiku. Penampilannya tak jauh dariku, basah kuyup, rambutnya berantakan hampir menutupi setengah wajahnya.
"Kenapa menunggu, bukanya masuk,"
Aku menggeleng.
"Tidak. Kita keluar bersama, masuk juga harus bersama."
Lelaki itu hanya mengangguk,tapi ada senyum samar di bibirnya. Ah entahlah.
"Masuk cepat!" katanya. Aku pun mengikutinya masuk, dengan tubuh yang mengigil.
Begitu masuk, Wang Lei melepas jaketnya, menaruhnya di lantai dengan gerakan santai, tidak Ekspresinya nampak biasa.
"Kamu tidak kedinginan?" tanyaku dengan suara bergetar.
Wang Lei menoleh.
"Tidak. Aku sudah biasa." jawabnya.
"Oh, apa baju yang tadi di beli basah?" tanyanya membuat alisku bertaut. Namun cepat aku merogoh kantong kertas di tanganku, lalu mengeluarkan gaun merah yang membuatku salah tingkah.
"Tidak basah." jawabku.
"Bagus. Kamu pakai saja itu untuk sementara, sampai aku menemukan gaun yang kamu mau."
Aku tersentak, apa dia sudah gila?
"Tidak. Mana mungkin aku akan memakai baju menjijikan seperti ini? Tidak, tidak akan!" seruku, menolak keras.
"Melihatnya saja seperti harga diriku dilucuti! Aku tidak mau." protesku.
Wang Lei menajamkan matanya padaku, mode dingin itu lagi, sukses membuatku tak berkutik hanya dengan tatapan matanya yang kelam dan basah.
"Senorita..." suaranya dalam dan rendah.
"Kamu tahu aku sudah sangat lelah berdebat dengan orang-orang sialan di luar sana, kamu mengajakku berdebat lagi? Kamu senang di ancam ya?"
Kata-katanya membuatku semakin menggigil, aura dingin yang dipancarkanya seolah membekukan ruangan ini. Hujan di luar masih deras, dentumannya di atap terdengar seperti irama yang menegaskan ketegangan di antara kami.
Tiba tiba Wang Lei melemparkan satu kunci ke arahku, yang langsung aku tangkap.
"Kunci pintumu dari dalam, pakai baju atau tidak terserah!"
Aku meneguk ludah, menatap gaun merah di tanganku dengan ragu. Wang Lei menatapku tanpa berkedip, matanya gelap, seperti menunggu aku mengucapkan satu kalimat saja untuk membantah, dan dia akan… aku bahkan tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi.
"Aku minta maaf... Aku hanya salah paham padamu... Aku akan pakai," ucapku pada akhirnya.
Terdengar Wang Lei hanya mendengus tanpa menjawab sepatah kata lagi. Lekas aku melenggang dari hadapanya, menapaki anak tangga dengan langkah tergesa.
Setibanya di kamar, aku teringat aku belum sholat isya. Tapi bagaimana, bajuku basah semua. Aku juga sudah menengok isi lemari, bahkan tidak ada satu helai kain pun di sana. Ya Allah bagaimana ini?
Tidak ada jalan lain, aku harus menemui dia lagi. Dengan sedikit ragu aku meletakan lingeri ke atas kasur, turun ke bawah.
Begitu sampai di ruang utama, mataku membelalak dan berteriak.
"Aahhh...Astagfirullah!"
Refleks, kedua tanganku menutup mulut. Jantungku berdegup tak karuan. Wang Lei duduk santai di sofa, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana jenas panjang. Rambutnya basah, setetes air menetes perlahan di lehernya lalu jatuh ke dada bidangnya. Lelaki itu tersentak kecil sebelum menoleh padaku.
"Kamu gila, ya? Kenapa teriak-teriak begitu, hah?" suaranya terdengar kesal, namun justru membuatku makin salah tingkah.
Astagfirullah... Ya Allah, kuatkan iman Hanina... Jangan biarkan mata ini ternoda terlalu jauh...
Aku segera membelakanginya dengan memeluk tubuh yang semakin mengigil.
"Maaf... tadinya aku mau sholat isya, tapi aku bingung, aku tidak bisa sholat dengan baju basah seperti ini, bisa tolong carikan aku kain? Mungkin di kamar lain, atau di gudang?"
Hening. Tidak ada jawaban, hanya terdengar langkah kakinya yang mulai bergerak. Aku memiringkan tubuh sedikit, menatap punggung lelaki itu menuju jendela.
Kenapa dia kesana?
Tiba-tiba dia menarik gorden cokelat yang terpasang di jendela adengan sekuat tenaga. Aku mematung melihat otot-otot lengan dan punggungnya menegang saat membebaskan kain itu. Suara kaitan besi beradu terdengar nyaring, membuatku refleks menutup telinga.
Setelah kaitan lepas, Wang Lei mengibaskan kain lebar itu beberapa kali lalu mendekatiku dengan wajah lelahnya.
"Sudah bebas debu, pakai ini dan jangan ganggu aku lagi." katanya dengan suara lebih lembut, wajahnya sedikit memucat.
Aku menerima kain itu, terasa kasar dan tahu ini bukan yang ku inginkan, tapi melihat perjuanganya aku harus bersyukur. Dia memang keras tapi tidak seburuk yang aku kira. Dia pemarah tapi juga perduli, dia lelah tapi masih berjuang untukku.
Kalau mau dia bisa tidak memperdulikan aku sejauh ini. Aku memeluk kain gorden itu di dadaku, menatapnya dengan mata yang entah kenapa mulai terasa panas. Mungkin karena aku terlalu lelah, atau… karena perhatian kecilnya yang membuatku ingin menangis.
"Terima kasih..." bisikku pelan, hampir tak terdengar.
Wang Lei menghela napas berat sambil mengusap wajahnya yang masih basah. "Cepat ganti, nanti kamu sakit. Jangan bikin aku repot ngurusin kamu besok."
Nada bicaranya tetap dingin, tapi anehnya, aku justru merasa lebih hangat. Seakan kata-katanya adalah bentuk perhatian yang tidak mau diakuinya sendiri.
Aku mengangguk cepat. "Baik..."
Segera aku naik ke kamarku lagi, menutup pintu dan menahan senyum konyol yang tiba-tiba muncul. Kain gorden ini… meski kasar dan mungkin gatal, rasanya seperti hadiah paling tulus yang pernah aku terima. Wang Lei mungkin tidak tahu, tapi dia selalu membuatku merasa aman.