Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Yasmin berjalan dengan langkah ringan dan riang di samping kiri Hannah. Kedua tangannya sesekali berayun ke depan dan belakang, seperti menari mengikuti semangat hatinya yang meluap-luap. Baginya, hari ini adalah hari spesial—bisa jalan-jalan bersama Mama dan Kakek ke acara besar di pusat kota. Mata kecilnya bersinar antusias, memandangi stan demi stan yang memamerkan aneka kerajinan dan jajanan lokal.
"Mama, lihat ada wayang golek! Ayo, ke sana!" serunya tiba-tiba, menunjuk penuh semangat ke arah stan kecil yang dihias ornamen warna-warni dan memamerkan kerajinan khas Sunda. Suaranya yang melengking penuh antusiasme membuat beberapa pengunjung menoleh dan tersenyum melihat tingkah lucunya.
Hannah dan Pak Baharuddin mengikuti arah jari mungil Yasmin. Meski Hannah berjalan dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, sorot matanya memancarkan kegembiraan. Senyum hangat menghiasi wajahnya, seolah lelah dan keterbatasan fisik bukan penghalang untuk menikmati momen sederhana ini.
Di stan wayang itu, Yasmin langsung terpikat pada salah satu karakter yang mencolok—Cepot, dengan gigi dua besar dan sarung kotak-kotak. Dia memeluk mainan itu seolah menemukan teman baru.
"Lucu sekali wayang ini." Yasmin tertawa kecil sambil menggerakkan kayu pengatur tangan wayangnya. "Namaku Cepot. Punya gigi dua dan sarung kotak-kotak!" ucapnya menirukan gaya suara khas karakter tersebut, membuat Hannah dan Pak Baharuddin tak kuasa menahan tawa.
Meskipun hidup Yasmin jauh dari kata sempurna, dengan ibu yang memiliki keterbatasan dan tanpa sosok ayah di sisinya, namun cahaya di wajahnya tidak pernah padam. Ia seperti bunga kecil yang tetap mekar walau tumbuh di tanah yang keras. Kebahagiaan sederhana semacam inilah yang membuat Pak Baharuddin merasa perjuangannya tidak sia-sia.
Melihat anak dan cucunya begitu menikmati waktu bersama, Pak Baharuddin mengusap lembut puncak kepala Yasmin. Saat Hannah memberi isyarat menunjuk ke arah stan es doger, dia langsung menangkap maksudnya.
“Yah, beli itu!” ujar Hannah melalui bahasa tubuh dan tangan yang sudah biasa dipahami ayahnya.
"Aku mau es cincau!" seru Yasmin sambil melompat kecil melihat papan menu stan di sebelah yang penuh minuman segar berwarna-warni. Matanya tak berhenti bergerak, seperti ingin mencicipi semuanya.
Pak Baharuddin tertawa pelan. “Kalau begitu, ayo kita ke sana!” ucapnya sambil menggandeng tangan cucunya menuju stan minuman. Pria tua itu tak pernah merasa lelah jika itu demi membahagiakan mereka berdua. Hatinya seperti penuh energi setiap kali melihat senyum di wajah Hannah dan Yasmin.
Di samping stan penjual minuman, ada pagar tembok yang cukup rendah dan bersih. Hannah dan Yasmin memilih duduk di sana sambil menunggu es yang sedang dibuat oleh penjual.
Angin semilir mengusap pipi Hannah yang berkeringat halus. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan, menikmati suasana riuh dan hangat dari hiruk-pikuk pengunjung pameran.
“Eh, ada Om Arka!” seru Yasmin tiba-tiba, matanya membelalak penuh kegirangan. Jari telunjuknya mengarah ke sosok pria yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Hannah langsung menoleh, mengikuti arah tunjuk Yasmin. Sosok Arka berdiri di depan stan keripik singkong, berbicara dengan penjual. Wajahnya tampak serius, namun tetap memancarkan karisma yang membuatnya mencolok di antara kerumunan. Hannah menatapnya sejenak, mencoba membaca alasan pria itu bisa muncul di tempat yang sama, di waktu yang tak disangka.
Dalam dadanya, ada sesuatu yang tiba-tiba bergetar—entah itu rasa penasaran, bahagia, atau gugup. Dia pun menarik napas dalam-dalam untuk menormalkan perasaannya.
"Pekerjaan dia itu apa, ya?" batin Hannah sambil memperhatikan sosok Arka yang tampak begitu rapi dengan setelan formalnya. Wajahnya serius, tetapi tetap karismatik, dan itu justru membuat Hannah semakin penasaran. "Kenapa dia berpakaian seperti orang kantoran?"
Sementara itu, Yasmin yang duduk di samping ibunya langsung melompat kegirangan sambil melambaikan tangan kecilnya. Suaranya melengking ceria, memanggil pria yang diam-diam disukainya karena perhatian dan kelembutannya.
"Om Arka!" serunya riang.
Arka yang sedang berdiri di depan stan keripik lokal menghentikan pembicaraan sejenak dan mengedarkan pandangannya. Suara itu terdengar begitu familiar dan penuh semangat.
"Hannah ... Yasmin?" gumam Arka dengan wajah yang langsung berubah sumringah.
Sebelum beranjak, dia menyelesaikan urusan kerjanya dengan profesional. "Ibu bisa datang ke kantor untuk kontrak kerja sama. Semoga dengan kerja sama ini, penjualan produksi keripik buatan ibu bisa meningkat," ucap Arka sambil tersenyum ramah.
"Terima kasih banyak, Pak! Besok siang saya akan datang ke kantor," jawab wanita paruh baya itu, wajahnya bersinar penuh harapan.
Tanpa membuang waktu, Arka segera berlari kecil menuju tempat Hannah dan Yasmin duduk. Langkahnya ringan seperti anak remaja yang hendak bertemu pujaan hati. Senyum lebarnya tak bisa disembunyikan.
"Kalian datang juga ke sini?" tanya Arka antusias, seolah tak percaya dengan kebetulan yang begitu menyenangkan ini.
"Iya, Om. Kan, jarang ada kegiatan seperti ini," jawab Yasmin ceria sambil menunjuk ke arah stan wayang di kejauhan.
Mata Arka dan Hannah sempat bertemu sesaat, namun Hannah dengan cepat menunduk. Arka agak kecewa—dia ingin menatap lebih lama, ingin menyelami mata perempuan itu, mencari tahu lebih dalam perasaan yang tumbuh diam-diam.
Sementara itu, jantung Hannah berdetak tak karuan. Ada getaran aneh setiap kali mata mereka bersirobok. "Kenapa jantungku deg-degan?" batinnya. “Kenapa kehadirannya membuatku gugup?" Wanita itu seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta.
Di sisi lain, Arka justru merasa takjub. "Ya Tuhan! Kenapa Hannah bisa secantik dan semenggemaskan seperti itu?" pikirnya takjub. "Apa ini yang disebut virus cinta? Tidak bisa ditolak dan membuat orang seperti gila."
Perasaannya pada Hannah terasa jauh berbeda dibandingkan saat bersama Inggrid, mantan kekasih yang dulu sempat dia puja. Walau awalnya tampak baik dan sabar, Inggrid perlahan berubah setelah mengenal Dion. Meski begitu Arka tetap bertahan dalam hubungan itu. Sampai akhirnya, saat kedok mereka terbongkar, barulah dia mengakhiri segalanya.
Arka tak pernah menyangka akan merasakan getaran yang lebih tulus hanya dengan menatap seorang Hannah. Setelah lima tahun menutup hatinya
"Kenapa Om Arka lihatin Mama terus?" celetuk Yasmin polos, membuat Arka langsung tersedak udara dan salah tingkah.
Hannah pun reflek menoleh, memastikan apakah benar pria itu sedang menatapnya. Dan benar saja, mata mereka kembali bertemu—kali ini sedikit lebih lama, dan keduanya saling membaca kecanggungan yang sama. Hannah menunduk lagi, pipinya bersemu merah dan jari-jari tangannya saling bertautan.
"Loh, Arka?" suara bariton khas Pak Baharuddin menyadarkan mereka. Pria tua itu datang sambil membawa tiga gelas minuman dingin—es dawet dan es cincau yang tampak menggoda di bawah sinar matahari sore.
"Sedang apa di sini?"
"Iya, Pak. Kebetulan sedang ada urusan kerja sama UMKM. Cari mitra usaha baru," jawab Arka sambil tersenyum sopan. Entah kenapa, setiap kali berbicara dengan keluarga Hannah, dia merasa lebih rileks, lebih damai.
"Apa Arka sedang tidak sibuk?" tanya Pak Baharuddin.
"Tidak, Pak. Saya memang ingin menikmati acara ini juga. Sekalian cuci mata," jawab Arka. Dalam hati, dia berkata, "Dan cuci hati juga, karena melihat Hannah saja sudah seperti di cas semangat bagiku."
"Kalau begitu, ayo, kita jalan-jalan bersama lihat-lihat stan," ajak Pak Baharuddin ramah.
Arka nyaris loncat kegirangan. Akan tetapi, dia harus jaga imeh, jadi hanya tersenyum dan mengangguk dengan tenang. "Boleh, Pak," jawabnya sopan. Lalu, ia menoleh ke Yasmin. "Yasmin, digandeng sama Om, ya?"
"Emang boleh, Om?" tanya Yasmin dengan wajah penuh harap dan mata berbinar.
"Tentu saja boleh." Arka menyambut tangan mungil itu dengan lembut.
Arka masa bodoh dengan pekerjaan di kantornya. Ada Arman di sana.
Yasmin melangkah sambil menggenggam tangan Arka. Di belakang mereka, Hannah berjalan bersama Pak Baharuddin. Sesekali mata Hannah memandangi sosok pria itu yang tampak menyatu dengan putrinya. Hatinya hangat, tapi juga bingung. Ada rasa tak biasa yang mengalir dalam dadanya.
Baru saja mereka akan menikmati kebersamaan itu, sebuah suara menghentikan langkah mereka.
"Arka, siapa mereka?"
Langkah keempat orang itu terhenti seketika. Seorang wanita muda berdiri di hadapan mereka. Postur tegak dan cara berpakaiannya menunjukkan kalau dia bukan orang sembarangan.
Hannah dan yang lainnya menoleh, mencoba mengenali siapa sosok itu. Sudut mata Hannah melihat tangan Arka mengepal.
***
Sambil menunggu bab berikutnya, yuk baca juga karya novel Mama Reni yang terbaru.
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗