Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Tamu VIP Yang Rahasia
Persiapan perlombaan anak-anak TK memasuki tahap akhir. Suasana sekolah kian sibuk, setiap sudut dipenuhi dengan aktivitas. Para guru saling berkoordinasi, membahas teknis acara dan memastikan tidak ada satu pun bagian yang terlewat. Pihak yayasan juga turut serta dalam rapat-rapat internal yang digelar hampir setiap hari, menandakan betapa pentingnya acara ini.
Di lahan hijau yang membentang luas di sisi kanan gedung TK, sebuah tenda besar sudah berdiri dengan kokoh. Beberapa tukang terlihat masih sibuk menyelesaikan bagian lantai dan penyangga tambahan. Spanduk warna-warni yang masih tergulung menanti waktunya untuk menghias langit-langit tenda, sementara kotak-kotak dekorasi menumpuk di dekat panggung kecil yang mulai dibentuk.
Sheina berdiri di depan kelasnya, mengamati dari kejauhan proses pemasangan dekorasi. Matanya mengikuti gerakan para pekerja, tapi pikirannya melayang ke daftar kegiatan yang harus ia selesaikan hari itu. Anak-anak yang akan tampil dalam lomba menyanyi belum semua hafal lagu, sementara kostum tari tradisional masih dalam proses penjahitan.
Ia menarik napas panjang dan berbalik hendak masuk kembali ke kelas. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara dua guru dari TK lain yang sedang berbincang di sisi taman bermain, tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Eh, lo udah denger belum?" tanya salah satu dari mereka sambil menyandarkan diri ke tiang pagar.
"Denger apa?" sahut temannya.
"Katanya CEO sponsor utama bakalan dateng ke acara perlombaan nanti. Dia mau lihat langsung. Makanya yayasan jadi lebih niat dekorasinya."
"Serius? Wah, pantesan kemarin rapat sampe dua jam lebih."
"Iya, katanya dia pengin lihat kualitas acara yang disponsorin. Biar bisa lanjut kerja samanya ke depannya."
Sheina berdiri diam. Ia tak sengaja mendengar percakapan itu. Ia tidak berniat mencuri dengar, hanya saja posisi mereka cukup dekat. Ia menunduk pelan dan melangkah menjauh, berusaha tidak menunjukkan bahwa ia baru saja menangkap informasi yang mungkin bersifat rahasia.
Ia tidak merasa perlu tahu siapa CEO yang dimaksud. Ia bahkan tidak penasaran. Dalam pikirannya, sponsor hanyalah sosok formal yang biasanya hanya terlibat di atas kertas. Dan toh, dirinya hanyalah guru TK biasa. Urusan siapa yang datang, siapa yang duduk di deretan tamu undangan, bukan bagiannya.
Apa yang Sheina tidak tahu adalah bahwa nama yang dibicarakan para guru itu adalah nama yang sudah cukup lama tidak ia dengar—Davison.
Menjelang siang, suasana sekolah semakin sibuk. Kotak-kotak besar berisi peralatan panggung mulai dibuka. Suara teriakan ringan guru-guru yang memanggil nama vendor atau panitia bersahut-sahutan. Beberapa anak masih tampak berlarian kecil di halaman, sebelum akhirnya diarahkan masuk ke kelas masing-masing.
“Sheina,” panggil Bu Ratri, salah satu guru senior sekaligus koordinator acara, “kamu sebentar ke ruang rapat, ya. Ada pengarahan tambahan buat hari-H nanti.”
Sheina mengangguk dan segera melangkah ke arah ruang rapat yang berada di sisi bangunan utama. Di dalam ruangan, beberapa guru sudah duduk melingkar, termasuk Merisa—guru dari kelas sebelah yang selalu tampak menonjol dengan penampilannya.
“Jadi gini,” ujar Bu Ratri setelah semua berkumpul. “Untuk hari-H nanti, pihak yayasan minta supaya ada guru yang bertugas menyambut tamu undangan. Tamu VIP juga kemungkinan besar hadir. Kita butuh yang bisa berdiri dengan ramah dan sigap di pintu utama.”
Mata Sheina sedikit membulat. Ia baru saja mendengar soal tamu VIP itu beberapa menit lalu. Tapi ia tidak mengucap apa-apa. Ia hanya menyimak.
“Kita pikir Sheina bisa,” lanjut Bu Ratri sambil menatap ke arahnya. “Kamu cukup komunikatif dan… kelihatan tenang juga.”
Namun sebelum Sheina sempat memberi jawaban, Merisa mengangkat tangan sedikit. “Bu, kalau boleh, aku aja yang nyambut tamu.”
Semua menoleh.
“Kenapa, Mer?” tanya Bu Ratri dengan nada netral.
“Soalnya aku pernah bantu acara kampus juga, dulu. Jadi agak familiar sama suasana penyambutan tamu penting. Apalagi yah, kalau nanti tamunya orang penting atau media, kan perlu juga penampilan yang siap difoto.”
Sheina menunduk sedikit, menyembunyikan senyum tipis. Ia tahu arah kalimat itu.
Merisa memang selalu tampil dengan riasan yang sempurna. Rambutnya lurus halus dan berelombang, selalu wangi, dan ia tidak pernah terlihat ke luar kelas tanpa mengenakan makeup ringan. Dibandingkan dengan Sheina yang hanya memakai lip balm dan bedak tabur seadanya, perbandingan itu jelas. Tapi Sheina tidak tersinggung.
Ia tahu posisinya. Ia tahu siapa dirinya.
“Gimana, Sheina?” tanya Bu Ratri lembut.
“Nggak masalah, Bu. Merisa aja nggak apa-apa. Aku bisa bantu di bagian lain.”
Merisa tersenyum, puas. “Makasih ya, Shein.”
Tapi sebelum pembahasan selesai, Merisa kembali angkat suara. “Kalau gitu, Sheina mungkin bisa bantuin bagian konsumsi? Biar anak-anak yang ikut lomba tetap dapet snack dan minumannya tepat waktu.”
“Sheina?” tanya Bu Ratri lagi.
Sheina mengangguk. “Boleh. Aku senang kok bagi-bagiin makanan ke anak-anak.”
Kesepakatan pun dibuat. Tak ada perdebatan.
Namun dalam hati, Sheina mengerti bahwa Merisa bukannya sekadar ingin membantu. Ada ketakutan di balik senyum manisnya. Takut bahwa kalau Sheina yang menyambut tamu, dengan pembawaannya yang tenang dan lembut, sesuatu bisa terlihat—bahwa mungkin, Sheina punya pesona yang tidak perlu dipoles.
Toh selama ini Sheina memang tidak percaya diri pada penampilannya. Ia selalu merasa bahwa yang ia punya hanyalah kecerdasan dan kesabaran. Tapi bukan berarti ia tidak cantik. Jika saja ia belajar sedikit berdandan, jika saja ia meluangkan waktu untuk mencatok rambut atau memilih lipstik yang tepat, ia tahu bahwa wajahnya bisa menyala. Ia tahu itu.
Tapi Sheina tidak peduli.
Membagikan makanan pada anak-anak dan memastikan mereka kenyang sebelum tampil jauh lebih penting baginya dibanding berdiri di bawah sorotan kamera, menyapa orang-orang kaya yang mungkin takkan mengingat namanya.
Sore hari mulai merambat ke senja. Langit sudah memerah, tapi masih menyisakan sedikit cahaya hangat. Sheina melangkah keluar dari gerbang sekolah sambil menenteng tote bag lusuh yang isinya penuh berkas dan catatan kecil soal konsumsi anak-anak. Hari ini melelahkan, tapi entah kenapa langkahnya terasa ringan.
Ia sempat membuka aplikasi ojek online, tapi langsung mengernyit ketika melihat tarifnya.
“Lima puluh ribu?” gumamnya pelan, agak miris.
Ia menghela napas pelan, lalu memutuskan untuk jalan kaki saja ke halte besar di perempatan. Ia tidak bisa asal naik ojek semahal itu.
Saat sampai di halte, ia duduk sebentar di bangku besi yang catnya sudah mengelupas. Angin sore berembus pelan, membawa aroma debu dan gorengan dari warung terdekat.
Tiba-tiba, sebuah mobil sedan berwarna abu-abu gelap berhenti tepat di depannya. Kaca jendela depan perlahan terbuka, memperlihatkan seorang perempuan tua yang elegan dengan kacamata besar dan senyum ramah.
“Sheina?”
Sheina langsung berdiri, wajahnya berubah cerah seketika.
“Nenek?” ucapnya sambil melangkah mendekat ke sisi mobil. “Kenapa nenek ke sini?”
Wajah sang nenek tampak terkejut. “Loh… kok kamu masih nanya?” jawabnya, heran sekaligus geli. “Kamu kan menantu nenek.”
Detik itu juga, wajah Sheina menegang sepersekian detik sebelum cepat-cepat tersenyum. Ia baru ingat—identitasnya sebagai istri rahasia Davison masih hidup di mata sang nenek. Tidak ada yang berubah. Ia harus tetap pura-pura, harus tetap memerankan peran itu dengan mulus.
“Ah iya, iya maksudnya, nenek ngapain ke daerah sini sore-sore,” kilahnya sambil tersenyum lebar, mencoba menutupi kegugupan kecil di matanya.
Sang nenek tersenyum simpul. “Lagi mampir ke tempat temen nenek. Tapi malah ketemu kamu. Kamu habis dari mana?”
“Baru pulang kerja, Nek.”
“Ooo, kerja di mana kamu sekarang?”
Sheina menunduk sedikit, lalu menjawab pelan tapi jelas, “Ngajar, Nek. Aku guru TK.”
Mata nenek Davison langsung berbinar. Senyum lebarnya merekah, seakan mendengar kabar paling menyenangkan sepanjang hari itu.
“Ya Allah, guru TK? Aduh, nenek bangga banget,” katanya sambil menatap Sheina penuh kagum. “Lembut, penyabar, pinter ngurus anak-anak… cocok banget jadi istri Davison. Nenek suka sama perempuan yang bisa didik anak dari kecil. Kamu punya sabar yang nggak semua orang bisa punya.”
Sheina tertawa kecil, sedikit canggung tapi juga hangat mendengar pujian yang tulus itu. Ia nggak pernah menyangka profesinya bisa membuat seseorang—apalagi nenek Davison—terkesan sedalam itu.
Senyuman neneknya belum pudar saat ia mengamati lagi Sheina dari atas ke bawah. “Tapi kamu pulang sendiri?”
Sheina buru-buru mengangguk kecil. “Iya."
“Nggak dijemput Davison?” potong neneknya tajam.
Sheina cepat-cepat menyusun alasan. “Dia lagi sibuk Nek, banyak kerjaan banget katanya.”
Wajah sang nenek langsung berubah. “Sibuk? Astaga, itu anak udah nikah, masih aja sibuk-sibuk nggak karuan. Kamu istri sahnya, Sheina. Harusnya dia yang jemput kamu, bukan kamu jalan kaki begini. Mau nenek telepon dia sekarang juga?”
“Eh jangan, Nek,” Sheina buru-buru menenangkan. “Beneran kok, aku nggak apa-apa. Dia juga tadi bilang nyusul mungkin lagi di jalan.”
Tapi tatapan nenek Davison tak mudah diredakan. Ia sudah mengambil ponsel dari tas tangan kecilnya dan tampak siap membuka kontak cucunya. Sheina segera membuka ponsel di balik tasnya, jempolnya cepat mengetik pesan:
Sheina: Pak Dev, aku ketemu nenek kamu barusan di halte. Dia kira aku dijemput kamu. Sekarang mau nelpon kamu langsung. Tolong banget tangani ya. Aku pura-pura bilang kamu sibuk kerja.
Sheina menekan tombol kirim dan menahan napas. Ia melirik ke arah sang nenek yang masih mendelik, seolah marah besar pada seseorang yang bahkan belum muncul.
“Sheina, naik ke mobil ya. Kita ke rumah nenek dulu. Nenek mau ngomong sama Davison langsung.”
“Oh boleh, Nek. Tapi boleh nggak aku minta waktu sebentar buat balas chat kerjaan dulu?”
“Cepetan ya. Tapi kamu tetep ikut nenek pulang.”
Sheina mengangguk patuh. Dalam hatinya, ia berdoa semoga Davison membaca pesannya dalam waktu lima detik dan tahu cara ‘menjinakkan’ neneknya yang sudah siap meledak.