Kayla lahir dari pernikahan tanpa cinta, hanya karena permintaan sahabat ibunya. Sejak kecil, ia diperlakukan seperti beban oleh sang ayah yang membenci ibunya. Setelah ibunya meninggal karena sakit tanpa bantuan, Kayla diusir dan hidup sebatang kara. Meski hidupnya penuh luka, Kayla tumbuh menjadi gadis kuat, pintar, dan sopan. Berkat beasiswa, ia menjadi dokter anak. Dalam pekerjaannya, takdir mempertemukannya kembali dengan sang ayah yang kini menjadi pasien kritis. Kayla menolongnya… tanpa mengungkap siapa dirinya. Seiring waktu, ia terlibat lebih jauh dalam dunia kekuasaan setelah diminta menjadi dokter pribadi seorang pria misterius, Liam pengusaha dingin yang pernah ia selamatkan. Di tengah dunia yang baru, Kayla terus menjaga prinsip dan ketulusan, ditemani tiga sahabatnya yang setia. Namun masa lalu mulai mengintai kembali, dan cinta tumbuh dari tempat yang tak terduga…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Langkah Kecil Menuju Dunia Kecil
Pagi itu, langit tampak malu-malu menurunkan cahaya. Kayla berdiri di depan gedung besar bertuliskan: RS Pendidikan Nasional — Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Jas putihnya tampak baru, badge identitas terpasang dengan rapi:
“dr. Kayla Putri Anindya — Residen Ilmu Kesehatan Anak”
Tangannya menggenggam map, matanya menatap ke atas gedung seperti seorang anak kecil melihat rumah pohon impiannya.
“Bismillah…” bisiknya.
Di dalam ruang briefing, belasan dokter muda sudah duduk. Ada yang membuka iPad, ada yang sibuk membaca ulang buku. Tak sedikit yang hanya menatap lantai sambil menarik napas gugup.
Dari balik pintu, masuk seorang perempuan paruh baya dengan langkah tegas dan suara khas.
“Pagi!”
“Pagi, Bu Dokter!” sahut mereka serempak.
“Selamat datang di Departemen Anak. Tempat di mana pasien menangis, orangtua panik, dan dokter begadang!” ujar dokter senior itu
Beberapa tertawa gugup.
“Nama saya dr. Ratri, SpA(K). Di sini kalian bukan mahasiswa. Kalian dokter. Tapi kalian juga manusia. Dan anak-anak tidak bisa ditangani hanya dengan rumus. Mereka perlu empati.”
Matanya menatap Kayla sejenak. “Dan saya harap kalian semua tahu, bahwa di sini… kesalahan kecil bisa berdampak besar.”
Satu jam kemudian
Kayla mendapat penempatan pertama: ruang perawatan anak infeksius.
Di sana ia bertemu dua rekan sejawat.
“Eh, kamu residen baru ya? Saya Adin, angkatan atasmu.”
“Kayla,” ucapnya sopan.
“Sama kayak nama anak-anak. Cocok jadi dokter anak,” seloroh rekan satunya yang bernama Hilda.
Kayla tertawa. “Banyak yang bilang begitu.”
Adin menyerahkan chart pasien. “Yang ini kamu tangani. Nama pasien: Salsa, 9 tahun. Suspect lupus, dengan flare yang cukup berat. Pagi ini dia demam tinggi dan mual parah.”
Kayla mengangguk. “Baik.”
Hilda menambahkan, “Oh, dan FYI… Salsa itu tipe pasien yang… agak keras kepala. Susah diajak minum obat. Ibunya juga protektif banget.”
Kamar 17 — Ruang Anak
Kayla membuka pintu pelan. Di atas ranjang, tampak gadis kecil berambut tipis dengan infus di tangan. Matanya tajam namun lesu.
“Hai…” sapa Kayla lembut.
Salsa mengernyit. “Dokter baru?”
“Iya. Aku dokter Kayla. Aku yang akan jaga Salsa sekarang.” jawab Kayla sembari tersenyum lembut
Salsa mendengus. “Kemarin juga bilang gitu. Tapi nyuntik nyakitin terus.”
Kayla duduk di sisi ranjang. “Kalau aku… boleh aku coba tanpa nyakitin?”
Salsa diam. Kayla mengeluarkan boneka kecil dari tasnya.
“Ini teman aku, namanya Dodo. Dia takut jarum, tapi kalau ada Salsa, mungkin dia berani…”
Mata Salsa sedikit melebar. “Aku suka boneka.”
“Kalau gitu, kita tim yang sama.”
Beberapa hari berlalu.
Setiap pagi, Kayla datang dengan boneka Dodo, mainan baru, atau cerita konyol.
Setiap sore, Salsa mulai menyambut dengan senyum, meski kecil.
Suatu pagi, ibunya Salsa mendekat saat Kayla sedang menuliskan laporan.
“Dokter Kayla…”
“Iya, Bu?”
“Terima kasih… sudah sabar. Saya tahu Salsa bukan anak yang mudah…”
Kayla tersenyum. “Salsa anak baik, Bu. Dia cuma butuh teman… yang bukan datang untuk menyuntik.”
Si ibu menahan air mata.
“Saya juga… jadi tidak terlalu takut sekarang. Kalau Bapak Salsa masih hidup, mungkin dia akan senang lihat anaknya tertawa seperti kemarin.”
Malamnya, Kayla mencatat di jurnalnya:
“Anak-anak itu… lebih kuat dari yang terlihat. Tapi dunia sering terlalu keras untuk tubuh kecil mereka.Tugas dokter bukan hanya menyembuhkan… Tapi mengingatkan bahwa mereka tak sendirian.”
...----------------...
Pagi itu, Kayla memasuki ruang anak-anak dengan membawa dua kantong kertas besar. Isinya penuh dengan kertas gambar, spidol warna-warni, gunting kertas aman, dan stiker karakter kartun.
Beberapa suster memandang dengan bingung.
“Suster,” Kayla tersenyum cerah, “boleh pinjam ruang kosong sebelah buat satu jam?”
“Mau buat apa, Dok?”
“Sekolah kecil. Kelas impian buat pasien cilik kita.”
Pukul 10.00
Ruang tunggu bangsal anak disulap jadi kelas dadakan. Ada tulisan warna-warni bertuliskan:
"Kelas Pelangi!" Bersama dr. Kayla
Anak-anak yang cukup sehat keluar dari kamar masing-masing, beberapa dengan kursi roda, sebagian lagi dipapah suster. Salsa duduk paling depan dengan boneka Dodo di pangkuan.
Kayla berdiri di depan “kelas”, memakai celemek bergambar gajah biru dan topi kertas seperti badut.
“Hari ini, kita belajar satu hal penting banget!” jelas Kayla
“Apa, Kak Kaylaaa?” teriak Reyhan dari belakang.
“Cara jadi anak super-kuat!” jawab Kayla
Anak-anak bersorak pelan. Kayla membagikan gambar karakter anak-anak dengan jubah superhero.
“Kalian semua akan warnai versi superhero dari diri kalian sendiri. Dan tulis satu kekuatan yang kalian miliki!”
Beberapa menit kemudian…
Kayla berkeliling mengecek gambar mereka.
Salsa menulis: “Aku kuat karena aku gak takut disuntik kalau Kak Kayla yang suntik.”
Reyhan menulis: “Kekuatanku: bisa buat orang dewasa senyum!”
Anak bernama Yaya yang sangat pemalu menggambar dirinya dengan jubah ungu dan menulis: “Aku kuat karena aku tidak menyerah walau susah napas.”
Kayla menahan air mata.
Dulu, aku berjuang dalam diam.
Tapi mereka... berjuang dengan senyum.
Di pojok ruangan, seorang ibu pasien diam-diam merekam dengan ponsel, lalu membisik ke perawat:
“Saya baru pertama kali lihat anak saya ketawa sejak rawat inap…”
Usai sesi menggambar, Kayla berdiri di tengah anak-anak.
“Siapa yang hari ini merasa dirinya lebih hebat dari kemarin?”
SEMUA ANAK MENGANGKAT TANGAN.
“Siapa yang tahu... bahwa dokter-dokter juga bisa takut?” tanya Kayla
Anak-anak menatap bingung.
Kayla tersenyum. “Tapi karena kalian kuat, kami juga ikut kuat. Kalian adalah guru kami.”
Malamnya, Kayla duduk di balkon staf sambil melihat foto-foto tadi dari ponselnya.
Tak terasa, seseorang duduk di sampingnya.
“Hebat kamu,” ujar suara itu.
Pak Albert, dengan jaket tebal dan teh hangat.
“Mereka lebih hebat dari saya, kek…”
Pak Albert menatap langit.
“Dulu saya pikir… anak-anak hanya tahu main. Tapi ternyata, mereka tahu cara bertahan, meski tanpa tahu cara mengucapkannya.” ujar kakek Albert
Kayla tersenyum.
“Saya cuma ingin mereka tahu satu hal, kek…”
“Apa itu?”tanya kakek Albert
“Bahwa sakit bukan berarti mereka sendirian. Dan dunia masih punya ruang buat tawa mereka.” jawab kakek Albert
Bersambung
mantap 👍
kl orng lain,mngkn g bkln skuat kayla....
ank kcil,brthan hdp s luarn sna pdhl dia msh pnya sseorng yg nmanya ayah.....
😭😭😭
mudah dipahami
mna pas lg,jdinya ga ara th jd nyamuk....😁😁😁.....
Liam niat bgt y mau pdkt,smp kayla prgi kmna pun d ikutin....blngnya sih kbetulan.....tp ha pa2 lh,nmanya jg usaha....smngtttt....
trnyta ank yg d buang,skrng mlah jd kbnggaan orng lain....slain pntr,kayla jg tlus....skrng dia pnya kluarga yg syng dn pduli sm dia....