Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pagi itu mendung menggantung di langit Jakarta, seperti pertanda bahwa sesuatu akan berubah. Dewa duduk di ruang kerja kecil di dalam studio “Kala Kita”, matanya menatap tajam ke layar laptopnya.
Ada satu e-mail yang membuat napasnya tertahan.
Dari: Reza Wicaksono
Subjek: Penawaran Posisi Strategis
Dewa,
Kami semua tahu kamu punya kapasitas dan pengalaman untuk kembali ke jalur yang sebenarnya.
Keluarga sudah memaafkan insiden kemarin. Dan jika kamu bersedia, kursi Direktur Operasional akan diserahkan padamu kembali.
Kau tinggal mengiyakan, dan seluruh masa lalumu akan kami bersihkan. Mulai dari berita buruk, aset lama, hingga koneksi bisnis.
Tapi dengan satu syarat.
Tinggalkan proyek kecilmu. Dan tinggalkan Dewi Ayu Ningrat.
Kita tidak butuh nama itu bersanding dengan nama kita lagi.
Sementara itu, di tempat lain...
Dewi menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal.
“Putriku.”
Suara berat itu membuat tubuh Dewi menegang.
“Pa?”
“Papamu, Dewi.”
Hening panjang.
“Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang selama ini tidak bisa aku ucapkan. Boleh?” suara itu tidak memaksa, tapi ada luka di baliknya.
Dewi mengiyakan. Perlahan.
---
Di sore yang muram, Dewi bertemu sang ayah di sebuah taman kota yang sepi. Pria itu tampak jauh lebih tua dari terakhir kali ia ingat. Tidak memakai batik mewah seperti biasanya. Hanya kemeja putih dan celana panjang kain. Seperti... ayah biasa.
Mereka duduk tanpa bicara beberapa menit.
Kemudian sang papa membuka suara, pelan. “Kau marah padaku?”
“Aku kecewa,” jawab Dewi jujur.
“Karena perjodohan itu?” tanya papa
“Karena papa memilih mengendalikan hidupku, bukan membimbingku. Karena papa lebih takut pada nama keluarga... daripada kehilangan anak sendiri.”
Pria itu menunduk. “Waktu itu... papa pikir, papa sedang menyelamatkanmu dari dunia yang keras. Tapi ternyata aku hanya membuatmu membenci tempat asalmu.”
Dewi menatap lurus ke depan. “Aku tidak membenci tempat lahirku. Tapi aku membenci cara papa mengabaikan suara hatiku.”
“papa salah,” katanya akhirnya. “Dan kalau kau izinkan... aku ingin menebusnya. Tidak sebagai pemilik nama Ningrat. Tapi hanya sebagai seorang papa.”
Air mata menggenang di sudut mata Dewi. Ia tidak menjawab. Tapi ia tidak pergi. Dan itu cukup untuk hari itu.
---
Malam harinya...
Dewa menunjukkan e-mail Reza pada Dewi. Tanpa menyembunyikan satu pun kata.
Dewi membaca perlahan. Matanya tak berkedip. Tapi ekspresinya datar.
“Apa kamu akan menerimanya?” tanyanya, tanpa tekanan.
Dewa menatap Dewi lama sekali sebelum menjawab.
“Kalau aku bilang iya, aku akan punya kembali segalanya... kecuali kamu.”
Dewi menunduk, lalu bicara pelan. “Dan kalau kamu bilang tidak... kita akan tetap begini. Dengan usaha kecil. Tanpa jaminan.”
Dewa tersenyum, kemudian menutup laptopnya tanpa menjawab e-mail itu.
“Aku lebih memilih usaha kecil denganmu... daripada bisnis besar dengan syarat membuangmu.”
Dewi mengangkat wajah. “Apa kamu yakin?”
“Aku baru belajar memilih dengan jujur. Dan kali ini, aku tidak akan menyesal.”
---
Hari berikutnya, Reza mendapat balasan.
Reza,
Terima kasih atas tawarannya. Aku menghargainya.
Tapi aku bukan orang yang bisa dibeli dengan kursi direktur.
Dan jika harga sebuah jabatan adalah meninggalkan orang yang membuatku menjadi manusia... maka aku memilih menjadi manusia, bukan direktur.
Salam,
Dewa Satria
---
Dewi membaca salinan e-mail itu di mejanya, tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Lalu menulis lagi di buku hariannya:
"Cinta yang tidak bisa dibeli adalah cinta yang layak diperjuangkan.
Dan aku tidak lagi sendiri. Kali ini... kami memilih saling menggenggam, bukan saling melepaskan demi dunia yang palsu"
...----------------...
Tiga bulan berlalu sejak “Kala Kita” berdiri. Tak pernah ada satu hari pun yang benar-benar tenang, tapi Dewi dan Dewa justru menemukan makna di dalam kesibukan itu. Keringat, tawa, kadang air mata... semuanya terasa nyata. Bukan kemewahan yang dibangun dari warisan, tapi dari pilihan yang mereka buat sendiri.
Suatu siang, Dewa sedang merapikan laporan keuangan saat Dewi masuk ke ruangannya dengan wajah cerah.
“Dewa, kita diundang jadi pembicara di pelatihan kreatif untuk anak-anak di Sekolah Rakyat Nusantara,” ujarnya penuh semangat.
Dewa menoleh. “Sekolah non formal itu?”
“Iya. Katanya mereka tertarik dengan konsep kita. Bukan cuma bisnis, tapi juga pemberdayaan.”
Dewa tersenyum kecil. “Itu berita bagus.”
Dewi mengangguk. “Aku bilang sama mereka, kamu yang akan ngajar desain branding ke anak-anak. Jadi, siapin mental dikerubungi bocah ya.”
Dewa menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau aku lebih jago bikin mereka tidur daripada bikin mereka antusias.”
Dewi tertawa.
---
Beberapa hari kemudian…
Dewi berdiri di depan belasan anak dengan wajah-wajah lugu dan penuh rasa ingin tahu. Dewa, dengan kaus polos dan ransel berisi alat gambar, duduk di lantai bersama anak-anak, menjelaskan soal warna, bentuk, dan makna dari sebuah desain.
Dewi mengamati dari kejauhan dan dalam diamnya, ia merasa sesuatu tumbuh dalam dada. Mungkin rasa bangga. Atau mungkin, rasa cinta yang semakin dalam.
Namun hari itu tidak berakhir hanya dengan senyuman.
Saat mereka hendak meninggalkan sekolah, seseorang menunggu di luar gerbang. Sosok yang tidak asing dan tidak diundang.
Nadine.
Dengan mantel mewah, tas branded, dan tatapan licik yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu.
Dewi berdiri di hadapannya, tidak sedikit pun surut.
“Ada perlu apa kau ke sini?” tanya Dewi dingin.
“Aku tidak datang untuk bertengkar,” jawab Nadine santai. “Aku datang membawa… sesuatu.”
Ia membuka tas tangannya, mengeluarkan sebuah map dokumen. “Ini laporan yang mungkin akan menarik perhatianmu, Dewa.”
Dewa menerima map itu dengan ragu. Ia membukanya, membaca pelan-pelan dan wajahnya perlahan berubah.
“Apa maksudmu dengan ini?” suaranya rendah namun menegang.
“Laporan keuangan proyek kamu di awal tahun. Aku punya bukti bahwa dana awal yang kamu pakai berasal dari rekening keluarga Wicaksono. Itu artinya, jika kau mengklaim bahwa bisnismu ini mandiri... kau sudah berbohong. Bahkan bisa dianggap menyalahgunakan aset keluarga,” jawab Nadine.
Dewi menoleh tajam. “Itu tidak mungkin. Kami menggunakan dana dari penjualan mobil pribadi Dewa dan tabungan pribadinya.”
Nadine tersenyum miring. “Sayangnya, transfer itu terjadi sebelum mobil dijual. Dan uangnya berasal dari rekening investasi milik keluarga. Dewa pasti lupa. Tapi... pengacara kami tidak lupa.”
Dewa menatap dokumen itu lekat-lekat.
Ia tahu benar transfer itu. Saat ia kabur dari rumah, salah satu rekeningnya memang masih terhubung ke dana keluarga. Ia tidak pernah berniat mengambil apa pun—tapi sistem belum dipisahkan. Dan kini... dijadikan senjata.
“Kalau kau mengungkit ini ke media atau ke hukum, kamu hanya akan mempermalukan keluarga sendiri,” kata Dewa dengan suara tegas.
Nadine tertawa pelan. “Aku tidak perlu mempermalukan siapa pun. Aku hanya ingin kalian tahu… betapa mudahnya mimpi kecil kalian bisa diruntuhkan.”
“Kenapa?” tanya Dewi, kali ini serius. “Kenapa kamu masih peduli pada hidup kami? Kamu sudah menang. Kamu punya semua yang kamu inginkan.”
“Karena kalian bahagia,” jawab Nadine, suaranya dingin. “Dan aku benci melihat itu.”
---
Setelah Nadine pergi, Dewi dan Dewa duduk diam di dalam studio.
Dewa memijat pelipisnya. “Aku bodoh. Aku terlalu terburu-buru waktu itu. Aku hanya ingin kabur dari semuanya.”
“Tidak apa-apa,” ujar Dewi tenang. “Kita akan urus ini. Kita bisa tunjukkan semua catatan, bukti penjualan mobil, kronologi lengkap.”
“Tapi dia benar. Secara teknis, uang itu—”
Dewi memotongnya. “Secara niat, kamu tidak pernah mencuri. Dan kalau pun ada yang menuntut, kita akan hadapi sama-sama.”
Dewa menoleh padanya. “Kau yakin masih mau berdiri di sisiku?”
Dewi tersenyum.
“Kalau aku hanya berdiri saat kamu di atas... maka aku tak pantas berdiri di sampingmu sekarang.”
---
Malam itu, Dewi menulis:
Kebahagiaan kami tidak sempurna, dan mungkin tak pernah aman sepenuhnya. Tapi setiap kali badai datang, kami belajar berteduh di bawah payung yang sama.
Dan saat aku melihat matanya—aku tahu, tidak ada uang warisan yang bisa mengganti rasa ini.
Bersambung