Malam itu, suasana rumah Kinan begitu mencekam. Ayah tirinya, Dody, menariknya keluar dari kamar. Kinan meronta memanggil ibunya, berharap wanita itu mau membelanya.
Namun, sang ibu hanya berdiri di sudut ruangan, menatap tanpa ekspresi, seolah tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Ibu... tolong, Bu!" Suara Kinan serak memohon, air matanya berderai tanpa henti.
la menatap ibunya dengan tatapan penuh harap, namun ibunya tetap diam, memalingkan wajah.
"Berhenti meronta, Kinan!" bentak ayah tirinya sambil mencengkeram tangan nya lebih keras, menyeretnya keluar menuju mobil tua yang menunggu di halaman...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Ada perasaan campur aduk dalam hatinya, antara takut dan benci, namun ia tetap berusaha menunjukkan ketenangan di luar.
"Aku tak tahu seberapa lama sikap ini akan bertahan," lanjut Aryo, mengamati ekspresi wajah Kinan, seolah mencari tahu.
"Tapi bisa aku pastikan, kalau kamu berulah lagi, aku akan menghancurkan hidup mu dan keluargamu."
Kinan mengangguk pelan, berusaha menunjukkan bahwa ia mengerti. la tahu, dalam posisi seperti ini, berbicara hanya akan memperkeruh keadaan. Maka, ia memilih diam, membiarkan Aryo berpikir bahwa ia sudah menyerah dan mulai mencoba berdamai.
Aryo menatap Kinan dengan senyum mengejek di wajah nya, seakan puas melihat reaksi kaget yang tergambar jelas di wajahnya.
"Apakah itu artinya, kau sudah mau menurut padaku, Kinan?" tanya Aryo, suaranya terdengar begitu yakin akan jawabannya.
Kinan menghela napas, lalu berdecih sebelum menjawab,
"Jangan harap, Om. Walaupun aku tidak mencoba untuk kabur, itu bukan berarti aku akan menuruti keinginan mu untuk hamil."
Aryo tertawa kecil, tawa yang membuat Kinan semakin jengah.
"Oh, benarkah? Kau yakin tidak akan hamil?" tanyanya, suaranya penuh sindiran.
Kinan mengernyit, merasa bingung dan tak nyaman dengan arah pembicaraan ini.
"Apa maksudmu, Om?"
Dengan nada yang tenang namun penuh makna, Aryo menjawab,
"Kau lupa kalau kita sudah melakukan hubungan berulang kali? Apa kau yakin bahwa kau tidak akan hamil?"
Perkataan Aryo membuat mata Kinan melebar seketika. Ia terdiam, pikiran nya berputar cepat. Benar juga, ia belum memikirkan soal kemungkinan itu. Rasa takut yang tak terduga mulai muncul di benaknya, dan ia hanya bisa menatap Aryo dengan perasaan campur aduk.
Aryo menatap Kinan dengan tatapan serius, mencoba membuat tawaran nya terdengar masuk akal dan menggiurkan.
"Menurut lah padaku, Kinan," ucapnya tenang,
"Maka hidup mu akan lebih tenang. Aku akan menjamin kehidupanmu ke depannya. Aku hanya menginginkan seorang anak darimu. Setelah kau melahirkan anakku nanti, kau bebas pergi kemana pun kau mau. Aku akan tetap menafkahi mu sampai kau menemukan laki-laki yang ingin kau nikahi."
Kinan mendengarkan, hatinya campur aduk. Tawaran Aryo terdengar begitu menarik, seolah menjanjikan kebebasan yang selama ini ia rindukan. Namun, di sisi lain, permintaan itu adalah sesuatu yang berat, sesuatu yang bertentangan dengan dirinya.
Ia terdiam, menunduk sambil berpikir. Ada bagian dari dirinya yang ingin segera menolak, tapi ada juga rasa ragu yang membuatnya tak bisa langsung berkata tidak.
Melihat keraguan di mata Kinan, Aryo melanjutkan, "Aku tidak hanya akan menjamin hidup mu. Setelah kau melahirkan anakku, aku akan memberimu imbalan yang cukup besar. Kau bisa memulai hidup baru, jauh dari sini."
Kinan menelan ludah, pikiran nya semakin bercabang. Tawaran itu mungkin bisa memberinya kebebasan yang selama ini dia perjuangkan, tapi di sisi lain, ada harga yang harus ia bayar. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangkat kepala dan menatap Aryo.
"Aku... aku butuh waktu," ucap Kinan pelan.
"Berikan aku waktu seminggu untuk memikirkannya."
Aryo mengangguk, menerima permintaannya tanpa ragu.
"Baiklah, seminggu. Aku akan menunggu jawabanmu."
Setelah itu, Aryo berdiri dan melangkah keluar, meninggalkan Kinan sendirian di dalam kamar. Kinan masih terdiam, pikirannya kini penuh dengan pertimbangan yang berat. Tawaran Aryo mungkin memberinya harapan, tapi jalan yang harus ia tempuh tidaklah mudah.
Sudah beberapa hari ini Kinan tak tenang, terus di hantui rasa resah dan dilema yang tak kunjung reda. Setiap kali memikirkan permintaan Aryo, dadanya terasa sesak. Di satu sisi, ia tak ingin memenuhi permintaan Aryo yang terasa seperti mengkhianati dirinya sendiri.
Namun di sisi lain, ia sadar bahwa melawan takkan memberinya jalan keluar. Aryo terlalu berkuasa, dan setiap usaha kabur hanya akan berakhir dengan hukuman yang lebih berat.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Setelah merenung panjang, Kinan akhirnya sampai pada keputusan yang berat. Dengan perasaan terpaksa, ia menyetujui permintaan Aryo.
"Aku setuju Om, dengan penawaran mu. Asal kau bisa menepati janjimu." Ucap Kinan setengah ragu.
Pilihan ini bukan lah keinginannya, namun lebih pada upaya mengakhiri penderitaannya. Ketika Kinan memberi tahu Aryo tentang keputusannya, wajah Aryo berubah cerah, seolah menemukan kepuasan yang sudah lama ia tunggu.
"Akhirnya," katanya sambil tersenyum puas.
"Aku tahu kamu akan membuat keputusan yang bijak, Kinan. Tenang saja, aku seorang yang selalu menepati janjiku. Aku akan membuatkan surat perjanjian untukmu, agar kau percaya."
Kinan hanya diam dan mengangguk, menahan berbagai perasaan yang bergemuruh dalam hatinya. Aryo pun segera menghubungi sekretarisnya, untuk membuatkan surat perjanjian seperti yang dia inginkan.
Kinan mengangguk perlahan, menatap wajah om Aryo yang serius di hadapannya. la mencoba menyampaikan persetujuannya dengan nada yang tegas, meskipun hatinya masih berdebar cemas.
"Baik, Om. Aku setuju dengan perjanjian ini, tapi dengan syarat-Om tidak boleh mengurung ku lagi di dalam kamar, apalagi memaksaku berhubungan" ujar Kinan, suaranya terdengar penuh ketegasan.
Om Aryo terdiam sejenak, memandang Kinan dengan tatapan yang sulit di artikan. Namun akhirnya ia mengangguk dan tersenyum tipis.
"Baiklah, aku setuju," jawab Om Aryo.
"Tapi kamu tetap tidak boleh keluar rumah. Aku khawatir kamu akan mencoba kabur lagi, Kinan."
Kinan menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak akan terkunci lagi dalam ruangan sempit itu.
"Tidak apa-apa, Om. Aku akan menurut, asal tidak di kurung di dalam kamar."
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Kinan mengambil surat perjanjian di hadapannya. Surat itu tampak sederhana, tetapi isi perjanjiannya sangat jelas dan memiliki konsekuensi yang besar.
Kinan mengambil nafas panjang dan segera menandatangani surat perjanjian itu dengan perasaan campur aduk. Aryo menatapnya, lalu mulai menjelaskan dengan nada datar, seolah-olah mereka sedang membicarakan sesuatu yang sederhana.
"Kau tidak ingin membaca isi surat perjanjian itu dulu?" tanya Aryo memastikan.
Kinan pun menggeleng pelan,
"Tidak!! aku percaya padamu Om. kamu tidak mungkin membohongiku."
"Sepertinya kau begitu yakin padaku Kinan, Kamu tidak takut, kalau aku ternyata seorang pembohong?" Ucap Aryo menggoda Kinan.
Reflek Kinan pun melototkan matanya ke arah Aryo dan berkata," aku akan mengirim santet padamu Om, kalau kau berani membohongiku."
Aryo pun tertawa kecil, mendengar ancaman Kinan padanya. "Seperti yang aku katakan kemarin," ujar Aryo, suaranya tenang namun penuh makna.
"Sampai kamu belum hamil, kamu harus tinggal di sini bersamaku. Aku akan memberikan uang bulanan sesuai yang tertera di perjanjian ini. Setelah kamu melahirkan, kamu akan bebas pergi, sesuai janjiku. Dan aku akan tetap memberikan uang bulanan hingga kamu menikah nanti."
Kinan mengangguk, menerima penjelasan itu meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan yang terpendam. Namun, demi memastikan tidak ada kekurangan, ia bertanya,
"Baiklah. Apakah ada persyaratan lain yang harus aku patuhi, Om?"
tunggu klnjutannya,klw bisa up bnyak ya thor
lanjutkan kk..bgus crtanya ini