Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Suasana hati Arkan Zayden sedang berada di puncak kebahagiaan. Beban berat yang selama beberapa hari ini menghimpit dadanya lenyap seketika, digantikan oleh rasa geli yang tak tertahankan. Fakta bahwa Clara tidak hamil melainkan hanya ingin sedot lemak adalah plot twist terbaik dalam hidupnya.
Arkan duduk di hadapan Keira di sebuah restoran sushi mahal di kawasan Senayan. Dia menatap istrinya yang sedang sibuk mengunyah salmon sashimi dengan lahap. Pria itu menopang dagu, tersenyum jahil.
"Pelan-pelan makannya, Nona Singa. Nanti keselek. Santai aja, tagihannya aman. Kartu kredit gue udah diaktifkan lagi sama Papa karena beliau senang liat gue rajin ke kantor," ledek Arkan.
Keira menelan makanannya lalu meminum ocha hangat. Dia menatap Arkan tajam.
"Gue makan cepet bukan karena takut lo enggak bayar, Arkan. Tapi gue mau cepet pulang. Gue mau lepas jam tangan terkutuk ini. Lo liat tuh pelayan di sana dari tadi senyum-senyum liat jam Power Ranger gue bunyi ninu ninu tiap kali gue ngambil sumpit," omel Keira sambil menunjuk jam tangan merah di pergelangan tangannya.
Arkan tertawa lepas. "Biarin aja. Itu namanya fashion statement. Siapa tau besok jadi tren baru di kalangan sosialita Jakarta."
"Tren gundulmu. Cepetan abisin makanan lo. Kita pulang," desak Keira.
Setelah makan siang yang penuh tawa dan ejekan, mereka pulang ke rumah. Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Musik jazz mengalun lembut di dalam mobil. Sesekali Arkan ikut bersenandung dengan suara pas-pasan yang membuat Keira ingin menyumbat telinganya dengan tisu.
Sesampainya di rumah, hal pertama yang Keira lakukan adalah menagih janji Arkan.
"Mana kuncinya? Lepasin sekarang," Keira menyodorkan tangannya di depan muka Arkan begitu mereka masuk kamar.
Arkan merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci kecil plastik. Dengan gaya sok dramatis, dia membuka kunci jam tangan itu.
"Dengan ini, saya membebaskan tahanan rumah tangga dari belenggu Power Ranger," ucap Arkan khidmat.
Klik. Jam tangan itu terlepas. Keira menghela napas lega sambil mengusap pergelangan tangannya yang sedikit merah.
"Akhirnya. Gue mau bakar jam ini," kata Keira sadis.
"Eh jangan dong. Itu mahal tau. Simpan aja buat anak kita nanti," cegah Arkan sambil mengamankan jam itu ke dalam laci nakas.
Kata 'anak kita' membuat suasana hening sejenak. Keira merasa pipinya memanas. Dia buru-buru membalikkan badan, pura-pura sibuk membereskan tas kerjanya.
"Anak siapa? Bikin aja belum," gumam Keira pelan, namun telinga tajam Arkan menangkapnya.
Arkan menyeringai. Dia berjalan mendekati Keira dari belakang.
"Oh, jadi Kode nih? Minta dibikinin sekarang?" bisik Arkan tepat di telinga Keira.
Keira tersentak kaget. Dia berbalik dan mendorong dada Arkan. "Apaan sih! Mesum! Sana mandi! Bau matahari!"
"Wangi gini dibilang bau matahari. Bilang aja lo grogi deket-deket gue," goda Arkan. Dia tidak mundur, malah semakin memajukan wajahnya.
Keira mundur selangkah demi selangkah sampai lututnya menabrak tepi ranjang. Arkan terus maju dengan tatapan mengintimidasi yang jenaka.
"Arkan, minggir. Gue mau ganti baju," kata Keira memperingatkan.
"Ganti aja. Gue enggak liat kok. Gue cuma ngintip dikit," sahut Arkan asal.
Keira gemas setengah mati. Dia mengambil bantal guling dan memukulkannya ke kepala Arkan.
"Rasain nih! Dasar Buaya Buntung!"
Arkan menangkis serangan itu sambil tertawa. "Woy! KDRT! Tolong ada istri durhaka!"
Terjadilah perang bantal ronde kedua. Arkan menyambar bantal kepalanya dan membalas pukulan Keira. Bulu angsa beterbangan dari salah satu bantal yang jahitannya robek. Mereka tertawa-tawa seperti anak kecil, melupakan sejenak status mereka sebagai CEO dan Manajer yang terhormat.
Dalam satu gerakan cepat, Arkan berhasil menangkap pinggang Keira. Dia bermaksud menjatuhkan Keira ke kasur untuk menggelitikinya sebagai hukuman.
"Kena lo!" seru Arkan.
Dia membanting tubuhnya dan tubuh Keira ke atas kasur queen size itu.
Suara kayu patah terdengar sangat keras dan nyaring. Kasur itu ambles seketika. Rangka tempat tidur bagian tengah patah karena tidak kuat menahan beban hantaman dua orang dewasa yang melompat bersamaan.
Arkan dan Keira terdiam kaku. Posisi mereka sangat ambigu. Arkan menindih Keira di tengah kasur yang kini bentuknya cekung seperti mangkok. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
"Lo ... lo makan apa aja sih Ra sampai kasur aja nyerah nahan beban lo?" tanya Arkan polos di tengah situasi genting.
"Arkan! Ini gara-gara lo banting gue kayak atlet smackdown! Minggir! Berat tau!" teriak Keira sambil memukul bahu Arkan.
Tepat saat mereka sedang berusaha bangkit dari reruntuhan kasur, terdengar suara bel pintu berbunyi.
Lalu disusul suara pintu depan terbuka. Sialnya, mereka lupa kalau sandi pintu rumah sudah disebar ke grup keluarga sebagai antisipasi keadaan darurat.
"Assalamualaikum! Arkan! Keira! Mama datang bawa oleh-oleh!" suara melengking Mama Arkan terdengar dari lantai bawah.
"Keira sayang! Mama juga ikut nih!" suara Mama Keira menimpali.
Arkan dan Keira saling pandang dengan mata melotot. Wajah mereka pucat pasi.
"Mampus. Mama," desis Arkan.
"Arkan! Kita harus turun! Tapi liat penampilan kita!" bisik Keira panik.
Rambut Keira acak-acakan seperti singa. Kemeja Arkan kancing atasnya terlepas satu karena tarikan Keira tadi. Dan yang paling parah, kasur mereka hancur lebur.
Belum sempat mereka merapikan diri, terdengar langkah kaki menaiki tangga.
"Kok sepi ya Jeng? Jangan-jangan mereka lagi tidur siang?" tanya Mama Arkan.
"Namanya juga pengantin baru Jeng. Siang malam dihajar terus," sahut Mama Keira sambil terkikik.
Pintu kamar yang tidak dikunci itu terbuka lebar.
Dua pasang mata ibu-ibu menatap pemandangan di depannya dengan mulut menganga. Mereka melihat Arkan dan Keira yang berantakan di atas kasur yang jebol dan patah rangkanya.
Hening selama tiga detik.
"YA AMPUN ARKAN! KEIRA! GANAS SEKALI KALIAN!" jerit Mama Arkan histeris tapi wajahnya sumringah bahagia.
Mama Keira menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tawa. "Masya Allah. Sampai jebol begitu kasurnya. Semangat banget sih Nak."
Keira rasanya ingin mati saja. Dia ingin berubah jadi butiran debu atau menyublim jadi gas. Wajahnya merah padam sampai ke telinga.
Arkan yang biasanya tebal muka pun kali ini terlihat salah tingkah. Dia buru-buru bangun dan menarik Keira berdiri.
"Ma! Ini enggak seperti yang Mama pikirkan! Ini kecelakaan! Tadi kami cuma main perang bantal terus jatuh!" jelas Arkan panik.
"Iya Ma! Sumpah! Kami enggak ngapa-ngapain!" tambah Keira membela diri.
Mama Arkan mengibas-ngibaskan tangannya. "Halah. Enggak usah malu-malu. Mama ngerti kok. Namanya juga darah muda. Dulu Mama sama Papa juga pernah matahin kaki kursi tamu."
Keira membelalak. Info yang sangat tidak perlu dia ketahui.
"Aduh, maaf ya Mama ganggu 'kegiatannya'. Mama sama Tante cuma mau mampir sebentar nganterin jamu," kata Mama Keira sambil meletakkan bungkusan di meja rias, berusaha tidak menatap kasur yang menyedihkan itu.
"Jamu apa Ma?" tanya Keira lemas.
"Ini jamu Sari Rapet buat kamu, Keira. Biar Arkan makin lengket. Dan ini jamu Kuku Bima Super buat Arkan. Biar kasur berikutnya enggak cuma jebol, tapi tembus sampai lantai bawah," canda Mama Arkan vulgar.
Arkan memijat pelipisnya yang berdenyut. "Ma, please. Arkan masih kuat tanpa jamu. Ini murni kesalahan teknis konstruksi ranjang yang rapuh."
"Iya deh, terserah kamu. Yang penting cucu Mama cepet jadi. Ya sudah, Mama turun dulu ya. Kalian beresin dulu itu ... medan tempurnya. Nanti turun kita makan bareng. Mama bawa asinan Bogor," kata Mama Arkan lalu menarik besannya keluar kamar sambil cekikikan.
Pintu tertutup kembali.
Arkan dan Keira berdiri mematung menatap pintu, lalu menatap kasur yang patah.
"Gara-gara lo," desis Keira menatap Arkan tajam.
"Kok gue? Lo yang mancing keributan," balas Arkan tak mau kalah.
"Sekarang gimana tidurnya malem ini? Kasurnya miring sebelah gitu kayak perosotan TK," keluh Keira.
Arkan menggaruk kepalanya. "Ya terpaksa kita turunin kasurnya ke lantai. Kita tidur lesehan malam ini. Anggap aja lagi kemping."
Mereka berdua bekerja sama mengangkat kasur busa yang berat itu dari rangkanya yang patah. Arkan mengangkat rangka kayu yang patah dan menyingkirkannya ke sudut ruangan. Sekarang kasur itu tergeletak di lantai karpet.
"Lumayan. Jadi ala-ala Jepang gitu," komentar Arkan mencoba menghibur diri.
Setelah merapikan diri dan berganti baju yang lebih sopan, mereka turun menemui para ibu. Makan sore itu diwarnai dengan sindiran-sindiran halus yang membuat Keira tersedak berkali-kali.
"Arkan, nanti Papa belikan kasur yang rangkanya dari baja ya. Biar tahan gempa lokal," kata Mama Arkan sambil menyendok asinan.
"Ma, udah dong bahas kasurnya. Keira malu tuh mukanya udah kayak kepiting rebus," bela Arkan, meski dia sendiri menahan senyum.
"Iya, iya. Oiya Keira, gimana kantor? Lancar?" Mama Keira mengalihkan topik, membuat Keira bernapas lega.
"Lancar Ma. Proyek hotel di Bali sebentar lagi selesai," jawab Keira.
"Wah, kebetulan dong. Kalau proyeknya selesai, kalian bisa sekalian bulan madu kedua di sana. Siapa tau pulang-pulang bawa kabar baik," sahut Mama Arkan semangat.
Keira dan Arkan saling lirik. Bulan madu lagi? Yang kemarin saja rasanya seperti simulasi tawuran.
Menjelang malam, para ibu akhirnya pulang setelah puas menggoda anak dan menantunya. Rumah kembali sepi. Arkan dan Keira masuk ke kamar dengan langkah gontai.
Mereka menatap kasur lesehan di lantai.
"Aneh banget rasanya tidur di bawah," komentar Keira.
"Udah, tidur aja. Gue capek banget hari ini. Fisik dan mental terkuras," kata Arkan lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur.
Keira ikut berbaring di sebelahnya. Kali ini tidak ada guling pembatas karena gulingnya tadi jatuh entah ke mana saat insiden terjadi. Dan lagi, Keira malas mencarinya.
Mereka berbaring menatap langit-langit kamar. Lampu utama sudah dimatikan, hanya lampu tidur yang menyala redup.
"Ra," panggil Arkan pelan.
"Hmm?"
"Soal Clara," Arkan memulai pembicaraan serius.
Keira menoleh. "Kenapa lagi sama dia? Dia minta sedot lemak otaknya juga?"
Arkan terkekeh pelan. "Bukan. Gue cuma mau bilang, makasih udah mau bertahan sama gue walaupun banyak drama. Gue janji bakal selesaikan masalah Clara ini sampai tuntas. Gue enggak mau dia ganggu hidup kita lagi."
Keira terdiam sejenak. Dia bisa mendengar ketulusan dalam suara Arkan. Perlahan, rasa percaya yang sempat retak kemarin mulai tersambung kembali.
"Gue pegang janji lo. Tapi kalau lo gagal, gue yang bakal maju. Dan cara gue enggak bakal sehalus cara lo," kata Keira.
Arkan memiringkan tubuhnya menghadap Keira. Dia menatap wajah istrinya dalam remang cahaya.
"Galak banget sih. Untung cantik," gumam Arkan.
Tangannya terulur mengusap pipi Keira. Kali ini Keira tidak menepisnya. Dia membiarkan tangan hangat itu menyentuh kulitnya.
"Arkan," panggil Keira.
"Ya?"
"Jangan deket-deket. Gue belum minum jamu Sari Rapetnya. Takut lo khilaf," canda Keira kaku.
Arkan tertawa renyah. "Tenang aja. Gue juga belum minum jamu Kuku Bima-nya. Jadi lo aman malam ini. Tidurlah. Mimpi indah, Nona Singa."
Arkan menarik selimut menutupi tubuh mereka berdua. Keira memejamkan mata dengan senyum tipis di bibirnya. Tragedi kasur jebol hari ini mungkin memalukan, tetapi anehnya hal itu justru membuat jarak di antara mereka semakin terkikis.
Tanpa sadar, tangan Keira bergerak di bawah selimut dan menyentuh ujung jari Arkan. Hanya bersentuhan sedikit, tetapi cukup untuk menghantarkan rasa hangat ke hati masing-masing. Mereka tertidur dengan posisi tangan yang hampir bertautan, di atas kasur lesehan yang menjadi saksi bisu perkembangan cinta mereka yang aneh tapi nyata.